Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH. CO – Membaca judul tulisan ini saja, saya yakin pembaca penasaran dan sulit menebak. Apa lagi diksi “Tanda koma” bagi pembaca yang memiliki pikiran “liar” bisa jadi arah dugaannya adalah sesuatu yang terjadi dalam ruang medis atau tepatnya ruang ICU (Intensive Care Unit). Namun, akhirnya pembaca kaget bahwa ternyata yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tanda koma (,) yang memang sering dijumpai dalam tulisan. Termasuk dalam tulisan ini.
Tidak berhenti di sini, setelah dijelaskan pun bahwa “tanda koma” yang dimaksud benar adalah tanda koma (,) sebagai salah satu tanda baca, pembaca pasti masih heran dan penasaran, “Apa maksudnya sehingga tanda koma itu menghentikan langkahnya”. Sebesar apa pengaruh atau sepenting itukah tanda koma, sehingga langkahnya pun bisa dihentikan.
Tulisan ini tidak hanya mengungkap sedikit untuk menjawab keheranan dan rasa penasaran pembaca. Atau pasti, tulisan ini bukan hanya berisi tentang aturan penggunaan tanda koma dalam tulisan. Meskipun, saya merasa mendapatkan pemantik ide untuk menulis tema ini dari peristiwa yang benar-benar terkait aturan penggunaan tanda koma tersebut, sebagai salah satu tanda baca.
Kemarin. Ya kemarin, tanggal 2 Mei 2025, seseorang mengirim tulisan ke saya untuk diterbitkan di Khittah.co (media resmi milik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, yang secara teknis berada dalam tanggung jawab Majelis Pustaka dan Informasi-nya). Setelah beberapa menit memprosesnya, saya selaku Redaktur Opini Khittah.co sudah melakukan proses penerbitan atau telah diunggah di website dan link-nya telah dikirim ke penulisnya. Anak saya pun meminta agar dirinya diantar—sahabat pembaca tidak perlu penasaran, untuk yang satu ini, dan bertanya dalam hati “Diantar ke mana?”
Pada waktu, saya akan berangkat untuk mengantar anak, saya melihat ternyata ada tanda koma (,) yang belum saya hapus dalam tulisan tersebut. Saya pun menghentikan langkah untuk membunyikan motor dan selanjutnya segera membuka link menembus dashboard website, ruang untuk melakukan peng-edit-an atau menghapus tanda koma tersebut. Apakah seperti itu tingkat urgensi tanda koma?
Sebenarnya, khusus dalam tulisan tersebut tanda koma yang saya hilangkan tidak merusak makna jika pun tetap ada atau tidak dihilangkan. Saya melakukannya karena ada komitmen, kepedulian, dan harapan untuk senantiasa memberikan yang terbaik, mengikuti aturan yang telah ada, dan sebisa mungkin meminimalisir kekurangan-kekurangan yang ada. Meskipun, tidak semua pembaca akan memahami dan menyadarinya bahwa itu adalah kekeliruan dan kekurangan.
Tanda koma, memang memiliki banyak aturan dalam penggunaannya. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karya Tim Prima Pena, yang dilengkapi (salah satunya) Ejaan Bahasa Indonesia, begitu pun dalam buku EYD: Ejaan Yang Disempurnakan yang disunting oleh As’ad Sungguh (2015) dari sekian banyak aturan penggunaan tanda koma, satu di antaranya “Digunakan di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan”.
Dari dua sumber di atas, khusus untuk penggunaan tanda koma di antara unsur-unsur yang dimaksud tidak dijelaskan lebih detail. Saya mendapat pencerahan tambahan dari Uu Suhardi (Pakar bahasa dan mantan koordinator dan editor senior media Tempo). Melalui pertanyaan pribadi saya via inbox messenger, dijelaskan bahwa “tanda koma di antara unsur-unsur itu digunakan jika lebih dari dua unsur”. Jadi, jika cuma dua unsur berarti tidak menggunakan tanda koma. Contoh, “Saya membeli buku dan pulpen”. Kalimat ini tidak menggunakan tanda koma karena cuma dua unsur yaitu “buku” dan “pulpen”. Berbeda untuk kalimat ini “Saya membeli buku, tas, pensil, dan pulpen”. Menggunakan tanda koma.
Penggunaan tanda koma dari dua contoh kalimat di atas, tampak sangat teknis saja, tidak merusak makna. Sebenarnya tanda koma untuk dalam konteks kalimat lain—sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh Uu Suhardi, dalam buku karyanya Celetuk Bahasa, itu bisa mengubah makna. “Menurut kabar burung Joni sakit”, jika kalimat ini terungkap melalui bahasa lisan yang tidak disertai penekanan intonasi tertentu, berpotensi multimakna. Dalam tulisan, dengan peletakan tanda koma yang berbeda akan menimbulkan makna berbeda. Bandingkan kedua kalimat ini: Pertama, “Menurut kabar burung, Joni sakit” dan kedua, “Menurut kabar, burung Joni sakit”.
Substansi tulisan ini tidak hanya menggiring pembaca untuk memahami hal teknis penggunaan tanda koma seperti contoh di atas. Begitu pun, saya tidak hanya ingin menunjukkan bahwa peletakan tanda koma bisa mengubah makna. Beyond, melampaui dari itu, saya ingin menegaskan bahwa dalam hal kecil pun—sebagaimana kemarin saya menghentikan langkah hanya persoalan aturan teknis penggunaan tanda koma—kita semua semestinya meletakkan komitmen, kepedulian, harapan, dan semangat. Harus diingat dan dipahami bahwa sering kali, kita tersandung di batu kecil, bukan di batu yang besar.
Hari ini di tengah zaman semakin modern yang ditandai revolusi teknologi digital yang berkembang pesat, kita sedang tergiring dan terpola pada kecendrungan dan karakter instan dan serba cepat atau terburu-buru. Yang lebih parah lagi, terkadang kita tidak peduli lagi, bukan hanya pada hal-hal besar, pada hal kecil sekali pun. Kita sudah sangat jauh dari narasi besar yang sejatinya dalam menghadapi kehidupan yang semakin kompleks, membutuhkan komitmen dan kepedulian di dalamnya. Bahkan, narasi kecil pun, kita cenderung hanya berada dalam permukaan, terjebak dan tetap asyik di kedangkalan.
Saya sering menjumpai hal-hal yang menunjukkan lemah dan rendahnya komitmen serta kepedulian terhadap sesuatu yang melekat pada diri kita, bahkan yang menjadi identitas, kepribadian, tanggung jawab dan/atau (minimal) sesuatu yang ingin kita capai sebagai skill atau kecakapan diri.
Contoh sederhana terlebih dahulu, dalam hal menulis. Saya masih sering menemukan tulisan, seorang penulis tidak bisa membedakan atau minimal tidak konsisten dan peduli pada penggunaan “di” yang pada konteks tertentu berperan sebagai kata depan sehingga aturan penulisannya harus dipisahkan (menggunakan spasi) dengan kata yang mengikutinya dan pada konteks sebagai imbuhan atau awalan yang aturannya, ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. “Di mana” dan “Ditusuk”, ini sebagai contoh.
Lebih fatal dari itu, jika menggunakan kata yang tidak tepat maknanya. Saya pernah menjumpai tulisan tepatnya berita di suatu media tertentu. Saya paham betul bahwa inti yang dimaksud dalam berita itu adalah sekelompok orang yang hadir memenuhi undangan kegiatan seorang anggota dewan. Untuk menunjukkan sekelompok orang, penulisnya atau jurnalisnya menggunakan istilah “konstitusi”. Saya yakin betul bahwa maksudnya adalah istilah (yang benar) “konstituen”. Saya lanjut membacanya untuk memastikan bahwa hanya salah ketik. Ternyata tidak, istilah itu (baca: konstitusi) digunakan beberapa kali yang menjadi penanda “sekelompok orang”. Artinya, memang tidak mengetahui dan tidak bisa membedakannya.
Saya terkadang sedih—tidak benci kepada mereka—jika hal sederhana seperti itu saja masih sering berulang. Apa lagi dilakukan oleh orang yang pada dirinya melekat tanggung jawab dari produk tersebut atau sebagai skill yang ingin dijadikannya personal branding. Lebih menyedihkan lagi jika itu adalah produk dari institusi pendidikan, institusi pemerintahan daerah, dan/atau institusi negara.
Sekali lagi, ini hal sederhana. Maksud saya sederhana di sini, bukan berarti tidak perlu dikoreksi. Maksudnya, ilmu untuk membenarkannya itu sangat sederhana, mudah dipelajari, dikuasai, dan dipahami. Hanya saja, kita membutuhkan komitmen dan kepedulian.
Kepedulian itu semestinya bukan sebagai “kata pasif”. Itu harus menjadi “kata aktif”. Kepedulian juga jangan sering dibawa ke makna sempit bahwa yang ranahnya hanya berada pada ceklist-ceklist atau isian rupiah pada donasi kemanusiaan dan lain-lain. Nah, di sinilah dibutuhkan komitmen.
Kepedulian dan komitmen pada suatu harapan dan nilai yang ingin dicapai atau ingin dipersembahkan dalam hidup dipastikan itu akan senantiasa menumbuhkan semangat belajar yang tinggi. Bukan hanya itu, di dalamnya pun mengandung semangat untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Saya sangat merasakan—mungkin sahabat pembaca pun ikut dan/atau mampu merasakannya—bahwa sepertinya, kita sedang krisis minimal dalam dua hal “kepedulian” dan “komitmen”. Bukan hanya dalam ruang-ruang karya tulis, termasuk dalam ruang yang lingkupnya lebih luas dan besar.
Sama halnya ketika seseorang atau sekelompok aktivis telah menggunakan ruangan milik bersama, kemudian setelah kegiatan selesai dan meninggalkannya begitu saja tanpa membersihkannya, sebenarnya mereka dan kita pun semua (yang mengaku sebagai senior) sedang berada pada (potensi) masalah besar. Mungkin dampaknya tidak terjadi hari ini, atau dampaknya hanya kecil hari ini, misalnya, terpaksa senior yang membersihkannya sebagai pengguna ruangan berikutnya. Pada masa yang akan datang, itu sangat besar dampaknya dan berpotensi berbahaya jika tidak segera dipahami, disadari, dan diubah.
Masalah besarnya adalah krisis kepedulian dan komitmen. Berorganisasi itu adalah ruang untuk belajar banyak hal. Bukan hanya meningkatkan dan memperdalam kecakapan intelektualitas dan (mungkin) termasuk kemampuan retorika atau public speaking. Organisasi pun adalah ruang untuk menanam, memupuk, dan menumbuhkan nilai dan makna kehidupan.
Berorganisasi termasuk sebagai ruang untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan berikutnya yang lebih kompleks dan membutuhkan kecakapan hidup dalam multidimensi. Jika seorang perempuan. misalnya saja, ikut berorganisasi di sana pun mereka bisa belajar memasak karena kelak di kehidupan berikutnya, mereka akan menghadapi kondisi yang skill seperti itu dibutuhkan demi diri dan keluarganya.
Ingat! kita hanya akan semangat untuk belajar banyak hal, ketika dalam diri ada kepedulian dan komitmen untuk mempersembahkan yang terbaik atau mengubah kondisi kehidupan menjadi lebih baik. Hanya dengan kepedulian dan komitmenlah kita bisa senantiasa meletakkan nilai dan makna dalam kehidupan untuk episode yang lebih baik.
Hanya kepedulian dan komitmenlah, yang bisa menumbuhkan semangat khususnya para aktivis, bahwa dalam rangka memperdalam wawasan dan meningkatkan kecakapan intelektualitas, modalnya bukan hanya diskusi dari forum yang satu ke forum yang lain, dalam makna bahwa belajar bukan hanya dengan modal mendengarkan tetapi cara terbaik adalah membaca buku dan mengurangi ketergantungan penuh pada AI dalam menumbuhkan intelektualitas diri, mengasah otak, dan merawat kalbu.
Terkait komitmen, Brian Klemmer dalam bukunya The Compassionate Samurai, menegaskan dan menempatkan “Komitmen” sebagai karakter pertama dan utama dari sepuluh karakter yang dimiliki oleh seorang samurai, terutama bagi Samurai Pengasih.
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Redaktur Opini Khittah.co