Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipLiterasiNasionalOpiniPendidikanSastra

Teologi Pena

×

Teologi Pena

Share this article
Sumber : Internet

Oleh : Muh. Asratillah Senge

 

KHITTAH.co _ Mungkin judul tulisan ini terkesan ambisius, terkesan ingin mengaitkan antara “pena” dengan diskursus keagamaan yang rasional. Atau mungkin di antara pembaca yang budiman, ada yang memaknainya sebagai ikhtiar penulis, untuk mempertautkan aktivitas literasi, dalam hal ini baca dan tulis, dengan dasar-dasar agama secara rasional.Tapi jujur saya tidak punya ambisi seperti itu, walaupun punya, kapasitas penulis sangat tidak mumpuni.

Teologi yang penulis maksud di sini, bukanlah sebuah pendasaran sistematis dasar-dasar keimanan pada sebuah rangkaian argumentasi atau proposisi yang rasional. Tapi teologi yang dimaksud di sini adalah sebuah usaha untuk memberikan tafsir yang bernuansa religius pada sebuah objek, peristiwa atau situasi tertentu. Teologi yang saya maksud di sini adalah ihktiar untuk mecoba mengintip semacam “ultimate being” ataupun “ultimate meaning” melalui objek atau peristiwa keseharian yang mungkin nampak sepele dan tak mencolok.

Ultimate being” yang penulis maksud , bukanlah konsepsi doktrinal tentang Dia yang kebenarannya absolut. Tapi lebih pada Dia sebagai yang dibalik batas cakrawala pikir dan rasa, apalagi sekedar cakrawala pengalaman empirik yang terbatasi oleh lemahnya indera manusia. “Ultimate Being” yang dimaksud di sini ialah keberadaan yang menghadirkan semacam getaran (tremor) dalam hati (mysterium trememdum), sekaligus rasa takjub (mysterium fascinocum) dalam momen yang hampir bersamaan.

Begitu pula dengan “ultimate meaning”, bukan berarti rumusan makna yang final dan paling benar, tapi lebih pada situasi bermakna yang mentransendesi eksistensi. Situasi yang bisa menempatkan peristiwa atau ojek tertentu dalam keseluruhan “tarian kosmik”, situasi yang menghadirkan “sense of unity”, situasi yang dapat merombak kesempitan ego pribadi, situasi yang berusaha menjabat dan merangkul Yang Lain (The Others).

Dalam tulisan ini, saya mencoba menggunakan khazanah mistisisme Islam untuk berusaha memaknai dan membaca benda sederhana, yaitu Pena (qalam). Kenapa harus menggunakan khzanah mistisisme Islam, barangkali bukan “ruangnya” di sini untuk menjelaskannya. Tapi yang pertanyaan yang saya bisa jawab saat ini adalah “Kenapa pena ?”. Itu karena bagi saya, pena bukan sekedar benda bertinta yang dapat digunakan untuk menggurat aksara, tapi pena merupakan simbolisasi dari literasi (baik menggunakan media konvensional maupun digital), simbolisasi transformasi pengetahuan antar generasi, simbolisasi usaha manusia agar gagasannya tak sependek umur dirinya.

Pena dan Kosmik

Kosmik dalam khzanah pemikiran Islam di abad pertengahan, bukanlah sekedar tatanan benda-benda materil dalam konstelasi alam semesta. Tapi lebih dari itu, kosmik juga merupakanan tatanan pemaknaan soal posisi manusia di tengah keluasan semesta yang tak terperi ini. Dengan kata lain kosmologi (baik klasik dan mungkin juga modern) tak lebih dari usaha manusia untuk mengatasi sumber kecemasannya yaitu “sepi”, dan “sepi adalah akar dari Jiwa” kata Muhammad Iqbal.

Dalam khzanah pemikiran Islam (apapun bentuk epistemologinya), segala sesuatu “ada” dalam rangka untuk mengabarkan ke-ber-ada-an-Nya. Dengan kata lain segala sesuatu, sekecil apapun itu adalah tanda-tanda (ayat-ayat)-Nya. Dan dalam sebuah hadits qudsi, ada pernyataan menarik dari-Nya, soal alasan mengapa Dia menciptakan saya, anda semua dan segala sesuatunya, “Aku adalah khzanah tersembunyi dan Aku ingin diketahui. Karena itu, Aku lalu menciptakan makhlukh agar aku bisa diketahui”. Dengan kata lain Dia membutuhkan Yang Lain (the others) agar Dia dikenal sebagai Dia. Dan mungkin pernyataan sebagian fenomenolog bahwa “jalan pintas untuk mengenali diri sendiri adalah melalui Yang Lain” ada benarnya.

Walaupun banyak bagian yang harus direvisi dan difalsifikasi, tapi ada yang menarik dalam kosmologi klasik Islam abad pertengahaan, yaitu tentang penciptaan ulang kosmos secara terus menerus. Dalam beberapa aliran teologi Islam, termasuk Asy’ariyyah mengatakan, bahwa tak ada satu pun yang “diam” dalam ciptaan (mirip dengan gagasan Heraclitus) , dan tidak satu fenomena pun yang konstan di tempatnya selama dua momen waktu berturut-turut. Interaksi antar segala sesuatu di dalam kosmik tak lain dan tak bukan adalah interkasi yang diliputi oleh perubahan (harakah) dan transmutasi (istihala) secara terus menerus. Ini serupa dengan perkataan Cuang Tzu “Eksistensi segala sesuatu itu bagaikan seekor kuda yang berlari cepat. Dengan setiap gerakan, eksistensi pun berubah. Pada setiap detik, ia mengalami transformasi”.

Kosmos adalah pola interaksi yang senantiasa bergeser di antara tanda-tanda (ayat-ayat) atau nama-namaNya. Kosmos dipelihara olehNya melalui pertentangan-pertentangan dialektis, “Dan Segala Sesuatu Kami Ciptakan berpasang-pasangan” kata sang Khalik dalam Qur’an yang agung. Dan menurut mistisisme Islam, salah satu pasangan yang diciptakaNya, memiliki arti penting dalam proses penciptaan, pasangan itu adalah Pena (al-qalam) dan Lembaran (al-lawh).

Pena dan Lembaran, beberapa kali disebutkan dalam Qur’an. ”Demi Pena dan apa yang mereka tuliskan” (QS 68: 1), “Bacalah! Dan Tuhanmu adlah Maha Pemurah, yang mengajar melalaui perantaraan Pena” (QS 96: 1- 4), “Bahkan itu adalah Al-Qur’an mulia, dalam lembaran yang terjaga” (QS 85:21-22). Di tambah lagi adanya beberapa hadits yang menyebutkan bahwa Pena (Al-Qalam) adalah makhlukh pertama yang diciptakan, dan berdasar pada hadits ini sebagian besar ahli kosmolgi Islam abad pertengahan, mengsinonimkan antara Pena dengan Akal Pertama, dalam skema hirarki penciptaan.

Tuhan pun “Menulis”

Semua realitas merupakan manifestasi (tajalli/mazhar) dari sifat-sifatNya kata Ibnu Arabi. Jika menjelaskan alam semesta dalam aras empirik, tak ada satu pun studi ilmu pengetahuan yang bisa mengklaim telah selesai dalam hal tersebut. Apatah lagi jika berusaha menjelaskan atau mendekatiNya, dan di sinilah titik problematik jika ada doktrin, teori, konsepsi yang mendaku telah total serta final dalam menerangkanNya. Dan tak heranlah jika Ibnu Arabi pernah berkata bahwa barangsiapa yang bingung maka sesungguh dekat denganNya, dan barangsiapa merasa beriman maka sesungguhnya menjauh dariNya.

Dalam prosesi tanpa akhir, pe-manifestasi-an sifat-sifatNya ke dalam realitas semesta, Pena dan Lembaran punya posisi signifikan. Pena (al-Qalam) mewakili sifat ke “pengaturan”Nya sedangkan Lembaran (al-lawh) mewakili sifat ke “Pembedaan”Nya. Sachiko Murata dalam “The Tao Of Islam” mengungkapkan bahwa Pena mempunyai peran “aktif” (maskulin/yang), sedangkan Lembaran mempunyai peran “pasif” (feminim/ying).

Jika dalam skema Hegelian, manusia hanya dapat berdialektika dengan pikiran atau gagasannya, setelah gagasannya di materialisasikan, setelah pikirannya diterjemahkan dalam bentuk kerja atau karya kebudayaan (tulisan, buku, patung, lukisan, benda-benda teknologi dll.), manusia hanya bisa melakukan refleksi terhadap dirinya, setelah dia menobjektivikasi dirinya. Tapi manusia hanya dapat berkarya jika dan hanya jika, “ada” yang selain kesadarannya, dalam hal ini raga dan dunianya.

Begitu pula dengan Pena (al-qalam) dia tidak akan mamapu menulis tanpa kebaradaan Lembaran (al-lawh). Saat Pena secara ontologis menorehkan tintanya pada Lembaran, maka tinta yang semula jadinya tampak seragam dalam semua bagiannya, menjadi beragam penampakannya di atas Lembaran. Dalam Pena itu sendiri kita tak dapat memebedakan “huruf”, tapi setelah dituliskan maka antara satu huruf dengan huruf lainnya, antara satu kata dengan kata lainnya, antara satu kalimat dengan kalimat lainnya menjadi terbedakan, terjadi peralihan dari kesatuan (unitas) ke pelbagaian atau kemajemukan ciptaan (multiplisitas). Pena menuliskan kata-kata ilahiah (“kun faya kun”) di atas lembaran penciptaan. Dan aktifitas “menuliskan” ini, merupakan simbolisme tentang proses kreatif Tuhan dalam menciptakan makhlukhnya.

Dan Akhirnya Pena (al-qalam) adalah sebuah mitologi. Yang saya maksud dengan mitologi di sini bukanlah dongeng atau cerita palsu tentang masa lalu. Tapi mitologi yang saya maksud adalah dalam pengertiannya yang fenomenologis. Karen Armstrong mengatakan bahwa mitologi atau mitos adalah sebuah narasi tentang peristiwa, yang pada hakikatnya juga menceritakan situasi dan peristiwa eksistensial manusia yang abadi. Mitologi Pena, Lembaran dan apa yang dituliskannya dalam narasi mistisisme Islam, adalah narasi yang sebenarnya berbicara soal perjalanan eksistensial manusia itu sendiri.

Narasi Pena (al-qalam) adalah narasi tentang penciptaan kreatif terus- menerus, bukan hanya dalam artian teologis-ontologis tapi juga dalam artian historis. Saya teringat dengan tesis Marxian yang mengatakan bahwa manusialah yang membentuk sejarahnya melalui kerja. Dengan kata lain sejarah (dan manusia ditandai dengan historitasnya), bukanlah sesuatu yang at-given. Begitu pula situasi sosial-ekonomi-politik (kemiskinan,  penindasan, pengangguran, kebodohan), yang melingkupi manusia, bukanlah ibarat besi pejal yang tak bisa dibentuk ulang. Sejarah adalah sesuatu yang dituliskan dan dituliskan ulang terus menerus.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply