KHITTAH.co, Sidrap – Tidak banyak warga Muhammadiyah yang mengetahui sejarah awal perkembangan Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Ternyata, hari ini, Ahad 2 Sepetember 2018 yang bertepatan dengan 21 Zulhijjah 1439 Hijriyah bertepatan dengan hari peresmian grup Muhammadiyah pertama di Sulsel. Gerakan dakwah pencerahan ini lahir pada 21 Zulhijjah 1344 Hijriyah di Makassar.
Berdasarkan buku yang ditulis Mustari Bosra dkk (2015), peresmian Muhammadiyah Group Makassar yang merupakan cikal bakal Muhammadiyah Sulsel dilakukan dalam suatu pertemuan umum terbuka bertempat di salah satu gedung Bioskop G. Wienland di Jalan Komedian (sekarang Jalan Bontolempangan) Kota Makassar.
Dalam buku yang berjudul “Menapak Jejak Menata Langkah Sejarah Gerakan dan Biografi Ketua-Ketua Muhammadiyah Sulawesi Selatan (2015)” itu, Sejarawan Universitas Negeri Makassar, Mustari Bosra, menjelaskan bahwa kegiatan pertama yang dilakukan Muhammadiyah Cabang Makassar adalah menyelenggarakan rapat umum mengenai pengembangan organisasi, dan penyebaran dakwah agama Islam, yang dikenal dengan istilah tablig. Orang Makassar menyebutnya tabale’.
“Dahulu, ulama-ulama Muhammadiyah sering mendapat tantangan debat dari para ulama tradisional yang menentang Muhammadiyah. Masalah yang diperdebatkan biasanya berkisar pada masalah-masalah keagamaan yang dinilai bidah, seperti salat tarwih dua puluh rakaat, qunut subuh terus-menerus, baca talkin di kuburan, dan lain-lain,” ulas Mustari, yang juga Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sulsel.
Sementara itu, Abd. Rahman Getteng dalam disertasinya menyatakan bahwa tersusunnya struktur Muhammadiyah di Makassar, diprakarsai oleh Mansur Yamani, seorang pedagang keturunan Arab asal Sumenep, Madura. Yamani tidak siap untuk menjadi ketua dalam struktur kepengurusan karena selain seorang pendatang yang belum mengetahui kondisi Makassar, ia juga tetap ingin konsentrasi pada usaha batiknya.
Sejak awal berdirinya Muhammadiyah di Makassar Sulawesi Selatan, para pengurus senantiasa memperoleh tantangan dari kaum adat, terutama dari raja-raja karena Muhammadiyah dituduh hendak merubah agama Islam, serta adat istiadat orang Bugis-Makassar yang sudah berakar. Namun mereka berusaha membesarkan Muhammadiyah dengan resiko apapun yang dihadapinya.
Akhirnya, Muhammadiyah mampu menembus daerah-daerah pedalaman Sulawesi Selatan, melalui pendirian cabang-cabang dan grup Muhammadiyah. Dengan meluasnya Muhammadiyah ke berbagai daerah, didirikanlah masjid/musalah, serta sekolah-sekolah dan madrasah diniyah sesuai konsep pendidikan Muhammadiyah. Adanya sekolah-sekolah tersebut, kelihatan mendapat perhatian masyarakat melebihi sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda saat itu, sebab selain diajarkan pendidikan Islam, juga diajarkan pendidikan umum sebagaimana di sekolah-sekolah Belanda.