Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

TERNYATA TIDAK ADA “PAHALA” DAN “DOSA” DALAM AL QUR’AN

×

TERNYATA TIDAK ADA “PAHALA” DAN “DOSA” DALAM AL QUR’AN

Share this article

Oleh: Nur Alam

Tulisan ini bukan kajian tafsir,atau teologi melainkan hanya berupa kajian  etimologis ringan. Tulisan ini tidak bermaksud memberi penilaian apalagi “menjudge” term-term dan tradisi keagamaan yang sudah mengakar dikalangan ummat Islam Indonesia.

Salah satu kata yang menjadi trending di kalangan ummat Islam pada bulan suci Ramadhan adalah “pahala”. Ummat Islam berbondong-bondong melaksanakan ibadah dan melakukan kebaikan dengan harapan mendapat limpahan pahala dari Allah azza wa jallah. Termasuk didalamnya aktifitas membaca Alqur’an (tadarrus) dan berbagi (bersedekah) yang marak dilakukan pada bulan suci Ramadahan motifnya adalah pahala. Para muballigh  melalui mimbar dan berbagai saluran media yang tersedia menyeru ummat untuk mengumpukan pahala sebanyak-banyaknya karena pada bulan ini pahala digandakan oleh Allah swt. Seruan untuk melakukan perbuatan yang akan meperoleh ganjaran pahala tersebut sentiasa beriringan dengan seruan untuk meninggalkan atau menjauhi perbuatan- perbuatan yang akan mendapatkan ganjaran “dosa” disisi Allah swt. Kedua istilah tersebut merupakan term keagaamaan yang lazim diucapkan oleh umat Islam khususnya di Indonesia. Lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan pahala dan dosa itu?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pahala adalah kata benda yang diartikan sebagai balasan atas perbuatan baik yang dilakuakan oleh manusia. Bentuk kata kerjanya adalah berpahala artinya mengandung pahala atau melakukan kebaikan yang akan diganjar dengan pahala. Sedangkan dalam kamus bahasa Arab menggunakan istilah “ajrun” atau “tsawab” Jika istlah tersebut bukan berasal dari bahasa Arab apakah istilah tersebut terdapat di dalam kitab suci Al qur’an?

Jika ditelusuri di dalam Al qur’an, ternyata kita tidak  menemukan kata pahala itu. Al Qur’an menggunakan kata “ajrun” dan beberapa kata lain seperti “jaza” , “tsawab” dan “amtsal“ dengan berbagai bentuk turunan morfologis (sharafnya) serta kata lain yang  belum sempat terdeteksi (karena keterbatasan penulis). Kata-kata tersebut banyak digunakan untuk makna yang sama meskipun berbeda dalam kajian semantik dan pragmatik, apalagi dalam ilmu kajian tafsir. Lalu dari manakah kata itu diambil dan menjadi sebuah term keagamaan dalam Islam?

Mungkin sebagian diantara kita menganggap istilah-istilah keagamaan yang lazim kita gunkan dalam Islam itu berasal dari bahasa Arab. Ternyata kata pahala diserap dari bahasa Sansekerta oleh bahasa Indonesia dan Melayu. Sependek penelusuran, penulis tidak menemukan kata dasar (asli) kata tersebut dalam bahasa Sansekerta boleh jadi kata itu memang begitu aslinya lalu diserap langsung tanpa perubahan atau boleh jadi kata ini  berasal dari kata “phala” sebagaimana dalam konsep “karmaphala” agama Hindu yang juga diartikan sebagai buah atau balasan atas perbuatan seseorang (penulis belum menemukan sumber yang otentik). Hanya saja phala dalam konsep agama Hindu digunakan untuk balasan perbuatan baik maupun buruk yang dapat berimplikasi pada kehidupan sekarang (dunia). sedangkan dalam Islam kata pahala khusus digunakan untuk balasan perbuatan baik yang hanya akan diperoleh pada kehidupan setelahnya (akhirat). Untuk balasan perbuatan buruk digunakan istilah “dosa” yang oleh KBBI diartikan sebagai perbuatan melanggar hukun Tuhan atau hukum agama bisa juaga diartikan perbuatan salah. dengan turunan kata “berdosa” yang berarti berbuat dosa atau berbuat salah dan “pendosa” yang merujuk kepada pelaku perbuatan dosa. Sama dengan pahala, dosa juga dapat diartikan sebagai balasan atas perbuatan  buruk manusia, terutama hal yang buruk dalam pandangan agama. Kata ini juga rupanya tidak ditemukan dalam kosakata Aqur’an. Kosakata yang digunakan dalam Al qur’an antara lain adalah “zanb”, “itsm”, fujur”dan “jarm”, dengan segala turunan morfologisnya, meski memiliki penekanan makna yang berbeda dalam konteksnya masing-masing khususnya dalam perspektif ilmu tafsir. Disamping itu juga terdapat beberapa kata lain yang digunakan secara interchangeable untuk merujuk pada perbuatan buruk atau perbuatan yang melanggar hukum agama, meski masing-masing memiliki  arti tersendiri secara spesisik. Dan ternyata kata dosa ini juga merupakan serapan yang ditemukan dalam daftar kata-kata serapan dari bahasa Sansekerta  serta beberapa kata lain seperti surga, neraka, dll.

Banyaknya kata yang berasal dari bahasa Sansekerta diserap menjadi istilah keagamaan dalam Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari fakta sosio historis bangsa ini menujukkan bahwa sebelum datangnya Islam, agama Hindu yang menggunakan bahasa Sansekerta sebagai bahasa keagamaan lebih dahulu sampai ke nusantara dan memiliki pengaruh yang cukup kuat di nusantara dengan dukungan dua kerajaan besar yaitu kerajaan Majapahit di Jawa dan kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Disamping itu strategi dakwah para penyebar agama Islam periode awal yang menggunakan pendekatan kultural dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat lokal. 

Jadi istilah keagamaan seperti pahala dan dosa atau surga dan neraka kemungkinan hanya dikenal di Indonesia dan negara-negara yang menggunakan rumpun bahasa Melayu dengan perbedaan aksen masing-masing, serta di India sendiri sebagai asal agama Hindu dan bahasa Sansekerta. Sedangkan di belahan dunia lain menggunakan istllah lain yang bersumber dari bahasa mereka sendiri. Misalnya di negara-negara di Timur Tengah menggunakan istilah ajrun atau tsawab untuk pahala dan zanb atau itsm untuk dosa  dan negara-negara berbahasa Inggris menggunakan istliah reward untuk pahala dan sin untuk dosa.

Salahkah kita yang selama ini menggunkan istilah itu? Kajian ini tidak ingin masuk area semantik dan pragmatik apalagi wilayah teologis jadi tidak sampai pada kapasitas untuk menjudge. Menurut teori linguistik, terbentuknya kata atau bahasa itu secara arbitrary (suka-suka). Dalam pandangan teori pemerolehan bahasa kedua, pinjam meminjam kata dan istilah (word borrowing) seperti itu  adalah hal yang biasa terjadi bukan semata karena pengguna bahasa tertentu tidak dapat melepaskan pengaruh bahasa pertama (bahasa ibu)nya. Akan tetapi juga bisa terjadi karena kontak yang intens antara pengguna bahasa yang berbeda 

Penggunaan istilah keagamaan yang identik dengan agama lain tidak masalah jika kata itu  memiliki rujukan makna tunggal yang sama-sama dipahami oleh penggunanya atau memiliki definisi yang jelas. Tetapi  akan bermasalah jika istilah tersebut memiliki implikasi teologis (aqidah) Misalnya tidak memilik batalasan makna yang jelas  atau multi interpretaif (musytarak) sehingga dapat menimbukan bias dalam pemahaman atau dapat terjadi simpang siur dengan definisi dalam konsep teologis agama lain. Untuk menilai pengggunaan suatu istilah memiliki implikasi teologis atau tidak itu  merupakan otoritas kajian teologis.  

Point yang dapat kita tarik dari tulisan ini adalah bahwa ternyata tidak semua term keagamaan yang lazim digunakan dalam Islam (khususnya di Indonesia) berasal dari Al qur’an dan hadits ataupun dari akar kultural bangsa Arab dimana diturunkannya agama yang kita anut ini. Demikian pula term-term berbau Arab bukan monopoli milik orang Islam. Boleh jadi sebagian term itu juga digunakan oleh ummat lain yang berdomisili di jazirah Arab. Oleh karena itu beragama bukan monopoli suatu bangsa, etnis, ataupun kelompok masyarakat tertentu. Menjadi Islam tidak harus menjadi orang Arab atau ke-Arab-araban. Demikian pula sebaliknya menjadi  orang Indonesia tidak harus alergi dengan istilah-istilah yang berbau Arab. Itulah kira-kira yang dimaksud oleh firman Allah swt. dalam Q.S. Alhujurat (49): 13 bahwasanya kemuliaan tidak ditentukan oleh dari bangsa mana seseorang berasal melainkan seberapa taqwa ia kepada Allah. Dan hanya Allah swt yang memiliki otoritas untuk menilai kadar ketaqwaan seseorang. 

Wallahu a’lam. 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply