Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Terorisme dan Kemunafikan Kita

×

Terorisme dan Kemunafikan Kita

Share this article

Oleh: Hadisaputra *)

Senin, 26 April 2021, saya diundang sebagai salah satu peserta kegiatan diseminasi hasil penelitian “Inovasi Pembelajaran Moderasi Beragama Melalui Media Kreatif di Kawasan Timur Indonesia” yang digelar Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar.

Menurut saya, kegiatan ini cukup progresif. Alasannya sederhana, sudah mulai ada tindakan nyata menghentikan laju radikalisme, bukan sekadar dengan pendekatan deradikalisasi sebagaimana didengungkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) selama ini.

Tindakan pencegahan radikalisme tidak lagi dilakukan secara reaksioner. Melainkan diawali dengan penguatan latensi (dalam istilah Sosiolog Talcott Parsons), dengan penguatan pendidikan “moderasi beragama”.

Dalam penafsiran Kementerian Agama, moderasi agama diterjemahkan ke dalam empat indikator: Pertama, komitmen kebangsaan; Kedua, toleransi; Ketiga; anti kekerasan; dan keempat akomodatif terhadap budaya lokal.

Kegiatan ini dapat disebut progresif, karena selama ini, respon kita terhadap terorisme hanya sebatas kutukan. Setelah mengutuk, kita seolah-olah telah menunaikan tanggung jawab sosial. Seakan-akan kita berkata kepada mahkamah sejarah: “Saya telah melakukan sesuatu.”

Rukun Anti Teror

Kutukan adalah rukun pertama yang biasanya dilakukan setiap ada aksi terorisme. “Kami mengutuk tindakan teror yang dilakukan di … Tindakan tersebut adalah tindakan amoral yang tidak berprikemanusiaan,” kira-kira begitu template rukun pertama.

Saya yakin istilah ‘kutukan’ ini tidak ada kaitannya dengan kisah Malin Kundang. Saya tidak pernah mendengar para pengutuk teroris mengatakan “Kami kutuk teroris itu menjadi batu”.

Tapi, betulkah ‘kutukan’ itu adalah tindakan mulia? Bukankah kutukan itu lahir dari suasana kebatinan berbasis emosi negatif. Kutukan adalah salah satu bentuk kekerasan verbal.

Jika meminjam istilah Dom Helder Camara, ‘setiap kekerasan akan melahirkan kekerasan baru’ atau spiral kekerasan. Pantas saja, aksi teror tak kunjung berakhir. Seolah rumusnya: “teror – kutukan – teror – kutukan – dan seterusnya”.

Rukun kedua, adalah ‘bela sungkawa’. “Kami turut prihatin dan berbela sungkawa terhadap para korban tidak berdosa yang menjadi tumbal para teroris,” bunyi rukun kedua. Lalu dilengkapi dengan tagar #PrayFor.

Tentu rukun kedua ini bagian dari simpati kemanusiaan. Tapi saya jarang mendengar, ada yang berkomentar, “Kami turut berduka atas meninggalnya para teroris, sesungguhnya mereka juga korban ‘cuci otak’, atau korban ‘salah pengajian’.”

Nah, rukun ketiga “cuci tangan”. Rukun ketiga ini banyak diamalkan oleh para agamawan. “Tindakan teror tidak ada kaitannya dengan ajaran agama apapun. Tidak ada agama yang mengajarkan tindakan terorisme,” tegas mereka.

Tidak banyak agamawan yang bersikap gentlement, seperti yang ditunjukkan Cendekiawan NU, Ulil Absar Abdallah. Ia bilang, “Umat Islam harus mengakui dengan jujur, bahwa memang ada ayat-ayat dan hadis yang potensial dijadikan pembenar untuk terorisme. Ayat-ayat perang dalam Qur’an sudah sering dijadikan sebagai pembenaran. Begitu juga sejumlah hadis tentang jihad.”

Selama ini, kita selalu cuci tangan, padahal memang ada ajaran agama yang potensial dibajak sebagai basis teologis tindakan terorisme. Jika ingin menggunakan lirik lagu, sebenarnya Kiai Ulil mau bilang, “Jangan ada dusta di antara kita”. Bukankah dusta adalah salah satu wajah kemunafikan?

Argumen Teologis Terorisme

Ayat-ayat yang dijadikan legitimasi tindakan teror pernah dihimpun Imam Samudera dalam Buku “Aku Melawan Teror”.

Misalnya, ia menyitir Al-Baqarah ayat 216: “diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci; boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu: Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Imam Samudera juga mengutip At-Taubah ayat 5, “… maka bunuhlah orang-orang musyrik dimana saja kamu jumpai mereka.”

Bukan hanya menafsirkan ayat, hadits-hadits pun menjadi basis moral tindakan terorisme yang dilakukan. Sebut saja hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Aku diperintahkan untuk memerangi orang-orang sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, dan untuk menunikan shalat lima waktu dan menunaikan zakat.”

Masih banyak lagi ayat dan hadits lain, yang kerap jadi bahan kajian kelompok yang mengklaim berjihad di jalan Allah.

Ramadan: Peneguhan Moderasi Beragama

Pada titik itulah, kehadiran Ramadan mesti dimaksimalkan sebagai ruang sosialisasi tafsir Islam rahmatan lil ‘alamin. Mimbar-mimbar ceramah tarawih, pengajian subuh, hingga ruang-ruang kontemplasi Ramadan lainnya mesti menjadi wadah untuk menjelaskan wajah Islam yang kompatibel dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Ayat-ayat jihad, memang perlu diberi porsi khusus. Agar tafsirnya, bisa lebih populer ditengah umat. Jangan justru dihindari dengan tidak membahasnya sama sekali. Akibatnya jelas, tafsir ayat dan hadits jihad didominasi kelompok yang menjadikan kitab suci sebagai basis tindakan kekerasan.

Apakah setelah itu persoalan telah selesai? Belum tentu. Persoalan terorisme memang kompleks. Ada narasi ekonomi-politik yang cukup rumit juga di sana.  Tapi biarlah itu urusan negara.

Tugas utama para agamawan adalah menyosialisasikan tafsir jihad dan ajaran-ajaran agama yang berpotensi dimonopoli para teroris. Mumpung Ramadan, banyak orang yang lagi semangat belajar agama, meskipun musiman.

Jika tidak, ‘rukun anti-teror’ harus kita amalkan entah sampai kapan. Atau mungkin kita perlu mendengar gugatan “Untuk apa agama yang benar, jika tidak mampu memengaruhi kehidupan pemeluknya?”

*) Hadisaputra, Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply