Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, – Dalam kehidupan tanpa kecuali dalam diri, seringkali ada sesuatu hal yang sering kita lakukan, hanya saja luput dari kesadaran bahwa hal tersebut mengandung power (kekuatan). Sepele tetapi bermakna dan berefek. Bahkan seringkali hal ini pula diinterpretasikan dan sekaligus representasikan dalam ungkapan lain, salah satunya “lebih baik 3 x 2 daripada 2 x 3”. Ungkapan sederhana ini, kita sering temukan/mendengarkan dalam lingkup dunia pendidikan dan konteks sekaligus sebagai motivasi “urgensi ketekunan belajar”.
Dalam realitas empirik ada hal menarik meskipun–sekali lagi–sering luput dari kesadaran. Dan hal ini dalam forum-forum perkaderan dan latihan dasar kepemimpinan, saya sering mengajukan rentetan pertanyaan kepada peserta. “Siapa yang pernah masuk kebun?” Pada umumnya, hampir semuanya menjawab “pernah”. Saya kembali bertanya, “Apakah yang ditandai sehingga bisa kembali pulang ke rumah?” Jawabannya adalah “jalanan”. Tidak berhenti hanya sampai di sini, saya kembali bertanya “Apakah dirinya, bapaknya, mamanya, kakek, nenek, tante, dan/atau omnya, pernah secara sengaja atau sadar membuat jalanan tersebut?”. Jawabannya “tidak”. Lalu saya mengajukan pertanyaan terakhir “Mengapa terbentuk jalanan itu?” Mereka semua menjawab “karena sering dijalani”.
Kedua hal tersebut di dalamnya mengandung apa yang dimaknai sebagai habit (kebiasaan) atau habits (kebiasaan-kebiasaan). Dan secara implisit, kita menemukan pemahaman bahwa ternyata dalam habits mengandung power (kekuatan) atau minimal dimaknai meninggal jejak/bekas yang dahsyat. Power dari habits inilah yang menginspirasi saya untuk menyelesaikan tulisan ini dengan judul “The Power of Habits”. Namun sesungguhnya, terkait judul saya terinspirasi dari Charles Duhigg melalui buku karyanya yang berjudul “The Power of Habit” (tanpa huruf “s”). Buku Duhigg ini, belum saya miliki hanya pernah melihat sampul bukunya melalui postingan teman Facebook.
Sebelum terinspirasi dari Duhigg, saya banyak memahami habits dari buku karya Felix Y. Siauw “How To Master Your Habits”, yang telah menjadi bagian dari perpustakaan pribadi, yang saya beri nama “Cahaya Inspirasi”. Meskipun bukan hanya dari mereka berdua, saya pun memahami habits, di antaranya dari Erbe Sentanu, Rhonda Byrne, dan Andri Hakim (penulis buku Dahsyatnya Pikiran Bawah Sadar).
Seringkali kita kagum dan memberikan apresiasi yang luar biasa terhadap para pesulap, aktor sirkus dan akrobatik. Atraksi-atraksi yang mereka lakukan, seakan dinilai sebagai sesuatu yang mustahil bisa dilakukan, andaikan kita tidak melihat langsung dari orang-orang tersebut. Ternyata atraksi-atraksi yang memantik kekaguman tersebut, di dalamnya mengandung modal utama yang disebut “habit”.
Mustahil mereka akan mampu melakukannya dengan baik, tepat, dan benar, jika seandainya mereka tidak menerapkan dalam prosesnya, apa yang dimaknai sebagai “habit”. Ada yang sedikit mengganggu dan sekaligus menghambat kita selama ini, kita seringkali jika menyaksikan kehebatan pesulap atau aktor sirkus dan akrobatik, ditautkan dengan kekuatan magis atau ghaib. Dalam keyakinan sebagian orang Makassar, ditautkan dengan kemampuan bekerjasama dengan Jin. Padahal kemampuan itu, khususnya (seperti) para pesulap modern dan profesional murni adalah skill yang lahir dari habit.
Habits dan Skill
Saya pernah menyaksikan via Youtube, seorang perempuan dengan skill dan kemampuan yang luar biasa, mampu melewati kolong dari puluhan mobil yang diparkir secara berentetan. Pembaca pun bisa menyaksikan dengan meng-searching saja di Youtube. Begitu pun beberapa skill yang mengagumkan kita bisa saksikan melalui kanal tersebut. Selain itu, saya pun pribadi, sejak tahun 2001 sampai sekarang, bisa mengetik dengan menggunakan sepuluh jari tanpa melihat tuts keyboard komputer/laptop.
Dari kemampuan atau skill yang dimiliki berdasarkan uraian di atas, sekali lagi saya menegaskan bahwa modal utamanya adalah habit atau habits. Jadi kebiasaan atau pun kebiasaan-kebiasaan atau bisa pula dimaknai sesuatu yang dilakukan berulang-ulang akan mampu memantik skill yang luar biasa. Ketika, kita memahami perspektif Erbe Sentanu, kita pun bisa menginterpretasikan bahwa kebiasaan (habit) memiliki posisi strategis sebagai penghubung utama dan penting agar apa yang dimaknai sikap kelak bisa menjadi karakter dan bahkan menentukan nasib seseorang. Terkait hal ini, saya pernah tuliskan pada tulisan lain yang sudah terbit.
Habit yang mengandung power dan mampu memengaruhi lahirnya skill luar biasa, tentunya jangan hanya dimaknai sebagai pengulangan semata. Beyond, melampaui dari itu, saya tertarik dengan perspektif Felix bahwa di dalam apa yang dimaknai habits, mengandung dua hal urgen. Dan Felix memberikan pengandaian yang tepat dan menunjukkan urgensi yang besar. Pengandaianya yaitu sebagai “ayah” dan “ibu”. Felix menegaskan dalam bentuk pengandaian, ibarat sesuatu yang yang dilahirkan, habits yang didalamnya mengandung skill yang mengagumkan atau menakjubkan tidak akan bisa lahir tanpa “ayahnya” dan “ibunya”.
Yang diandaikan sebagai “ayah” dari habits adalah latihan (practice), dan yang diandaikan sebagai “ibu”-nya adalah pengulangan (repetition). Jadi kedua hal ini harus dilakukan agar melahirkan habits atau skill yang luar biasa itu. Contoh sederhana saja, sebagaimana yang telah saya dijelaskan di atas bahwa, saya sejak tahun 2001 sampai sekarang bisa mengetik dengan sepuluh jari tanpa melihat tuts keyboard komputer/laptop.
Apa yang saya lakukan sehingga bisa melakukan hal tersebut? Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, saya tegaskan bahwa apa yang saya lakukan dan menjadi kemampuan personal ini, jauh sebelum memiliki dan membaca karya Felix dan beberapa pakar pada bidangnya masing-masing yang saya sebutkan di atas. Saya melakukan, apa yang menjadi pengandaian sebagai “ayah” dan “ibu” dari habits.
Pertama, saya melakukan practice (latihan), dengan cara memahami posisi atau tuts dasar, selain itu memperhatikan dan memahami posisi dan letak jari-jari yang tepat (meskipun ketika kita sudah mahir, tidak perlu lagi terlalu memperhatikan kedua hal ini, karena semua bergerak alami). Kedua, setelah hal pertama dipahami dengan baik, maka saya melakukan pengulangan (repetition). Mungkin di sinilah, pada diri saya pribadi, pernyataan Felix menemukan ruang pembuktian empirisnya, “practice makes right, repetition makes perfect”.
Terkait repetition (pengulangan) yang diandaikan sebagai “ibu” dari habits dan sekaligus sebagai prasyarat terwujudnya perfect (kesempurnaan), ada hal yang menarik. Dan hal menarik ini mungkin luput dari pemahaman dan kesadaran Felix, tetapi bagi Andrew Matthews, penulis buku Being Happy, sangat memahami dan menyadarinya. Dan saya pun mencoba menarik garis relasi dengan teknologi sains yang telah diwujudkan secara praksis oleh negara Barat (atau bisa minimal menyebutnya negara Maju), meskipun saya sendiri, belum tahu, apakah negara Maju tersebut menerapkannya berdasarkan kesadaran filosofis akan–apa yang saya maknai sebagai “hal menarik” dari repetition tersebut.
Hal menarik dari repetition
Hal menarik dari repetition sebagai sesuatu yang diandaikan sebagai “ibu” dari habits adalah bahwa pengulangan itu bukan hanya dalam bentuk tindakan fisik, tetapi yang terpenting adalah aktivitas mental. Matthews menyimpulkan dan bahkan berdasarkan hasil riset bahwa “Latihan mental lebih utama daripada latihan fisik”.
Saya masih ingat dari buku Being Happy karyanya itu–meskipun buku luar biasa yang pernah menjadi pustaka pribadiku ini, telah dipinjam seseorang dan sudah puluhan tahun belum dikembalikan, bahkan tidak jelas lagi rimbanya–Matthews menyampakan:
“Suatu ketika dilakukan riset, untuk mengetahui yang mana di antara dua regu basket yang paling unggul. Regu A, terlebih diinstruksikan untuk latihan selama tujuh hari (berarti ini repetition), dengan cara setiap hari ke lapangan, bawa bola dan melemparkan bola. Sedangkan regu B, latihan dan repetition-nya dengan cara masuk kamar, baring-baring sambil mengimajinasikan dirinya melempar bola. Regu B pun melakukan ini, setiap hari selama tujuh hari. Setelah tujuh hari kedu regu itu diuji, ternyata yang paling unggul adalah regu B”. ilustrasi ini, adalah sepercik ingatan saya dari buku Matthews yang saya baca puluhan lebih lima belas tahun yang lalu.
Apakah yang disimpulkan oleh Matthews itu adalah mitos atau tidak rasional? Bagi saya itu bukan mitos tetapi itu rasional, saya bisa menunjukkan realitas empiriknya dalam kehidupan, meskipun tentunya saya pun harus menegaskan terlebih dahulu bahwa practice untuk menghasilkan right tetapi dilakukan secara empiris/nyata, sedangkan repetition untuk menghasilkan perfect aktivitas mental lebih utama.
Bukti empirisnya, terkait kesimpulan Matthews adalah, bahwa saya pada saat itu, dalam melakukan repetition, saya lebih banyak melakukan aktivitas mental, karena saya tidak punya komputer atau laptop pada saat itu untuk menguasai skill mengetik sepuluh jari tanpa melihat tuts. Sedangkan pelajaran komputer di sekolah hanya satu kali dalam sepekan, itu pun paling lama dua jam pelajaran (2 x 45 menit). Cara latihan mental saya, setiap hari, terutama jika berangkat dan berjalan kaki ke sekolah, begitupun pada saat balik ke rumah, saya mengimajinasikan diri sedang mengetik depan komputer, termasuk pada malam hari, saya melakukan hal tersebut.
Ternyata kesadaran akan hal tersebut, meskipun–sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, saya tidak bisa memastikan apakah mereka berpijak pada pemahaman dan kesadaran yang sama dengan saya dan Matthews–negara Maju, menciptakan alat simulator. Sebagaimana yang pernah saya lihat di Youtube, ada satu alat simulator yang luar biasa yang digunakan oleh para pembalap mobil untuk meningkatkan skill-nya dan dalam rangka memenangkan perlombaan/atau balapan tersebut.
Alat simulator ini yang didukung teknologi-sains dan canggih, pembalap tersebut latihan dan melakukan repetition setiap hari hanya dalam ruangan terbatas. Pembalap tersebut, tidak sedang benar-benat melajukan mobilnya dalam sirkuit yang sebenarnya. Alat simulator itu didesain hampir mirip mobil, lengkap dengan setir, gas, rem, kopling, dan lain-lain, hanya saja tidak benar-benar bergerak, karena yang bergerak hanya mobil simulasi berbentuk video dilayar dan sirkuit dengan kecanggihan teknologi digital, persis sama jarak, kelokan, dan lain-lainnya, meskipun sifatnya hanya virtual. Keunggulan alat simulator ini, adalah para pembalap yang sedang latihan melakukan repetition aman dari cedera fisik, karena ketika dirinya tabrakan, maka yang tertabrak hanya mobil simulasi, mobil virtual dalam sirkuit virtual pula. Tetapi efeknya dalam peningkatan skill terbukti.
Alat simulator yang saya ilustrasikan di atas, bahwa sesungguhnya yang terpenting adalah, bahwa apa yang dilakukan “tercetak” meninggalkan jejak di alam mental atau dalam alam bawah sadar. Dari Andri Hakim, saya memahami mekanisme, fungsi dan kedahsyatan alam bawah sadar. Bahwa sesuatu bisa tersimpan di dalam alam bawah sadar, jika sesuatu itu, sering diulang-ulang (repetition). Selain itu bahwa apa yang telah tersimpan di dalam alam bawah sadar sifatnya refleks atau spontan.
Jadi jika alat simulator tersebut, kesannya hanya melewati sirkuit virtual, tetapi sesungguhnya dalam mekanisme kerja alam bawah sadar, hal itu terkesan “tetap nyata”, gerakan setir, injakan gas, rem atau kopling pada saat melewati sirkuit virtual tersebut, terekam dan tersimpan dengan baik di dalam alam bawah sadar. Ingat segala sesuatu yang tersimpan di dalam alam bawah sadar sifatnya refleks/spontan, dalam bahasa yang tepat untuk konteks balapan ini, adalah “gerakannya cepat”. Pada saat si pembalap tersebut yang telah latihan dan melakukan repetition berhar-hari dengan alat simulatornya dalam kamar/ruangan, maka melewati sirkuit yang sebenarnya, semuanya akan mudah dilakukan karena rekaman alam bawah sadarnya yang mengendalikan gerakan fisiknya secara cepat, baik dalam mengendalikan setir, injakan gas, rem dan memainkan koplingnya.
Jika pernah membaca tulisan saya yang membahas tentang film The Karate Kid atau pernah menonton filmnya, lihatlah jenis latihan yang dilakukan secara berulang-ulang oleh anak tersebut, sangat sederhana dan tidak sesuai dengan jurus-jurus yang diharapkan, tetapi secara filosofis dan pemahaman habits dan relevansinya dengan alam bawah sadar, itu sangat bermanfaat.
Jadi habits mengandung power (kekuatan) itu sudah sunnatullah dan ini berlaku di makrokosmos maupun mikrokosmos. Dan khususnya pada diri manusia, Allah pun memberikan software yang luar biasa canggihnya yang telah built-in dalam diri sebagai satu paket penciptaan-Nya. Software itu adalah alam bawah sadar.
Pada bagian terakhir tulisan ini saya ingin menegaskan–meskipun sesungguhnya masih banyak hal yang relevan dengan habits. Pertama, kita harus hati-hati memperhatikan sikap dan perilaku kita yang berpotensi menjadi habits. Karena habits–sebagaimana ditegaskan oleh Felix–karena jika kita tidak mampu mengendalikan habits, kita akan menjadi robot yang akan dikendalikan oleh habits. Mungkin terkait pembahasan pengendalian habits pada kesempatan lain, saya akan tuliskan. Kedua, jangan pernah menyimpulkan bahwa untuk kepentingan habit, lalu kita menggeneralisir bahwa kita butuh dan mutlak satu spesifikasi keilmuan atau skill saja. Pembahasan itu tidak bermaksud seperti itu, karena jika kita pahami memori otak kita, sesungguhnya memungkinkan kita pun memiliki lebih dari satu habit dan mungkin inilah yang disebut habits (pakai huruf “s” yang menunjukkan jamak/lebih dari satu). Ketiga, saya mencermati perilaku orang-orang yang sering saya temui, masih banyak yang tidak memperhatikan sikap dan perilakunya yang berpotensi menjadi habits, dan di antaranya berpotensi menjadi habits yang negatif.
* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023