Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Transformasi RIB sebagai Personal Calling dan Mekanisme Algoritmik Guru Muhammadiyah

×

Transformasi RIB sebagai Personal Calling dan Mekanisme Algoritmik Guru Muhammadiyah

Share this article
Berbagi ilmu
Penulis sedang membahas Risalah Islam Berkemajuan (RIB) secara online di hadapan ratusan kader IMM Kepulauan Selayar

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH. CO –Saya ingin mengungkapkan terlebih dahulu dalam bahasa sederhana, bahwa hal konkret dan material itu digerakkan oleh sesuatu yang abstrak dan/atau immaterial. Kursi tetap bertahan karena di dalamnya ada energi yang terus bergerak di dalam inti atom. Tuts atau tombol keyboard yang saya tekan satu persatu untuk menghasilkan narasi dan diksi inspiratif ini, itu menghasilkan efek karena ada sesuatu yang abstrak yang menggerakkan di dalamnya, minimal berupa bahasa program dilengkapi dengan “langkah metodis” yang dikenal pula sebagai algoritma.

Diri ini pun tergerak duduk, kemudian membuka dan menyalakan laptop sambil mengetik sampai tulisan ini tuntas karena ada suatu hal yang mengalami mekanisme psikologis-spiritualitas yang menggerakkan dimensi fisik-biologis diri ini. Sahabat pembaca pun tergerak dan mengklik link untuk membaca tulisan ini karena ada hal abstrak dan/atau immaterial—saya menyebut dan mengistilahkannya seperti ini saja—dalam  dirinya.

Kita pun, mungkin, pernah membuat fisik-biologis diri masing-masing bertahan tidak merasa lapar meskipun tidak makan berhari-hari. Atau, membuat mata tidak mengantuk meskipun tidak tidur beberapa hari. Padahal yang membuat fisik-biologis kita bisa bertahan hanya karena hati kita yang sedang galau dengan berbagai faktor, atau mungkin terlalu semangat menyelesaikan sesuatu.

Kehidupan ini semakin maju dalam berbagai bentuk peradaban, itu berawal dari sesuatu yang abstrak atau immaterial, bisa berupa pemikiran, nilai, ajaran, dan paradigma yang menggerakkan dan mengalami transformasi dalam bentuk amal, kerja nyata, dan kerja cerdas serta terwujud dalam monumen-monumen yang menandai kemajuan peradaban tersebut. Islam sebagai risalah, yang tentu awalnya berupa firman Allah, mengandung ajaran, tuntunan, nilai, dan pandangan telah terbukti berhasil membentuk peradaban maju, bahkan tercatat dalam sejarah dunia telah menjadi penyelamat “Era Kegelapan Eropa” pada saat itu.

Catatan awal di atas penting untuk diungkapkan karena saya ingin menegaskan dari awal bahwa modal utama dan pertama dalam kehidupan bukanlah sesuatu yang bersifat material. Dalam hal ini, bukan hanya kemampuan teknis, metodis, administratif, dan prosedural, tetapi sesuatu yang mengandung nilai, makna, berupa pandangan dan ajaran penting untuk terlebih dahulu dilekatkan dalam diri.

Sama halnya modal menjadi guru sesungguhnya bukan hanya pengetahuan dan keterampilan yang berwujud kemampuan teknis, metodis, administratif, dan prosedural yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan substansial pendidikan dan/atau membentuk anak/peserta didik menjadi generasi emas. Apalagi, mengajar di lingkungan atau lembaga pendidikan Muhammadiyah, seringkali target material, finansial, dan kesuksesan personal duniawi sulit dicapai. Belum lagi, setiap personal guru tentu saja diperhadapkan pada godaan material dan duniawi.

Sesuatu yang bisa menjadi personal calling dan sesuatu yang mengalami mekanisme algoritmik dalam diri manusia, terutama guru, penting untuk dipahami, diupayakan, dan diinternalisasi dalam diri, tentu pula harapan utamanya, setelah ini mengalami eksternalisasi atau terimplementasi dalam kehidupan. Bagi guru, ini akan menjadi bingkai yang akan memandu setiap langkahnya menjalankan amanah mulia sebagai pengajar sekaligus pendidik.

Guru Muhammadiyah sejatinya—jika betul-betul merasa bagian dari Muhammadiyah dan di dalamnya mengalami dinamika—tidak akan kesulitan menemukan sesuatu yang bisa menjadi personal calling (panggilan jiwa)nya. Termasuk yang akan menjadi bagian dari mekanisme algoritmik atau bisa pula dimaknai sebagai sesuatu yang akan mengalami mekanisme psikologis-spiritualitas, itu sudah ada dalam tubuh Muhammadiyah. Persoalan berikutnya, apakah kita menyadari dan berupaya melakukan internalisasi (menyerap) nilai, ajaran, tuntunan, dan pandanga-pandangan yang ada tersebut.

Di Muhammadiyah, kita bisa menemukan sesuatu yang secara resmi disebut Risalah Islam Berkemajuan (RIB). Tentu saja, RIB ini “diperas dari nilai-nilai dan ajaran Islam yang memang diyakini secara esensial mengandung ajaran yang berkemajuan dan memberikan manfaat bagi semesta kehidupan. RIB mengandung nilai manfaat dan utama bagi siapa saja yang secara serius melakukan internalisasi dan selanjutnya melakukan eksternalisasi/implementasi dalam kehidupan kesehariannya.

Risalah Islam Berkemajuan (RIB) ini, saya meyakini bahwa di dalamnya ada sesuatu yang bisa menjadi atau minimal sebagai pemantik personal calling (panggilan jiwa). Pandangan sederhana terkait panggilan jiwa sahabat pembaca bisa menemukan dalam tulisan saya, dengan mengklik link ini: Personal Calling dan Algoritma Guru Ideal. RIB secara garis besar mengandung tiga hal: Konsep dasar Islam Berkemajuan; Gerakan Islam Berkemajuan; dan Perkhidmatan Islam Berkemajuan.

Dari tiga kerangka dasar RIB di atas, tentu saja yang bisa ditransformasikan menjadi atau sebagai personal calling dan mengalami mekanisme algoritmik adalah bagian yang berada dalam poin “Konsep dasar Islam Berkemajuan”. Di dalam ini pun ada dua: ada Karakteristik Lima dan ada Manhaj Islam Berkemajuan. Tetapi, saya hanya cukup fokus di antara Karakteristik Lima. Menginternalisasi Karakteristik Lima dalam diri Guru-guru Muhammadiyah, itu bisa menjadi personal calling dan mengalami mekanisme algoritmik yang bisa memengaruhi dan sekaligus mengubah kualitas dirinya sebagai guru menjadi lebih baik dan berkemajuan. Menjadi guru berkemajuan.

Karakteristik Lima menuntun diri kita untuk fokus utamanya pada tauhid. Jika tautan utama diri kita pada tauhid, itu bukan hanya membuat diri kita percaya tentang keberadaan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang harus disembah dan meyakini sebagai pencipta alam semesta. Tauhid yang menyala melahirkan banyak nilai dan energi dalam diri.

Tauhid yang terpahat dalam hati akan mampu mengarahkan, mengendalikan, dan membentengi diri agar senantiasa fokus pada nilai-nilai utama dan tidak terjebak pada kepentingan dan tujuan duniawi semata. Tauhid pun akan memandu diri kita untuk senantiasa melahirkan perubahan dan kemajuan-kemajuan dalam kehidupan, termasuk yang berorientasi pada masa depan, bukan hanya untuk diri tetapi bagi orang lain dan secara keseluruhan kehidupan semesta.

Tauhid pun membangkitkan gairah dan kepekaan atas berbagai ketimpangan yang terjadi sehingga orientasi perubahan akan selalu menyala dalam diri. Tauhid pun akan mengendalikan kesombongan dalam diri atau sesuatu yang berpotensi memantik hadirnya kesombongan serta akan senantiasa memancarkan hal sebaliknya berupa keikhlasan.

Merujuk makna sederhana dari personal calling, di antaranya panggilan jiwa, panggilan ilahi, dorongan/suara hati, motivasi intrinsik, ketulusan, dan keikhlasan. Maka, sesuatu yang lahir dari tauhid ini bisa menjadi personal calling yang nyala apinya sangat membara. Selain itu, dari tauhid ini pun tanpa kecuali personal calling itu sendiri bisa menjadi sesuatu yang mengalami mekanisme algoritmik dalam diri untuk selanjutnya memengaruhi segala sikap dan tindakan termasuk dalam mengajar dan mendidik siswa atau peserta didik, ini pun memberikan dampak positif, konstruktif, produktif, dan fungsional.

Keikhlasan yang dipancarkan oleh tauhid yang terpahat dalam diri bukan hanya membuat diri kita bertahan dalam kondisi apa pun, tetapi membuat kita semakin bergairah melakukan kebaikan, memancarkan energi kerahmatan apa pun kondisinya. Keikhlasan pun akan menjadi bingkai keteladanan yang banyak mendapatkan perhatian serius oleh orang lain dan mengandung daya magnetis yang sangat kuat bagi orang lain untuk mewujudkan nilai-nilai utama secara bersama yang terkandung di balik keikhlasan tersebut.

Merujuk dan terinspirasi dari pandangan Arvan Pradiansyah, saya bisa memahami dan menyimpulkan bahwa tentu saja guru pun bisa dilihat dari beberapa perspektif  “Pekerjaan”: Pertama, sebagai job, tentu saja ini—salah satunya—akan tunduk dan terikat dari atasan dan regulasi yang mengikat; Kedua, sebagai career (karier), ini berpotensi berada pula dalam skenario diri; dan Ketiga, sebagai calling atau dalam tulisan saya ini fokus dan konsisten menyebutnya personal calling, ini—dalam pandangan Arvan Pradiansyah pun dimaknai sebagai pekerjaan yang melahirkan kesadaran bahwa apa yang dilakukan berada dalam skenario Allah, maka hasilnya sudah bisa dipastikan akan memantik happiness (kebahagiaan).

Capaian kebahagiaan dari personal calling ini bukan hanya memantik gairah atau semangat guru dalam mengajar, termasuk pula memantik kedahsyatan fungsi otak guru sendiri sehingga semakin cemerlang menghasilkan ide dan inovasi-inovasi yang bisa menjadi satu sumber keteladanan bagi anak didiknya. Selain itu kebahagiaan ini akan memancar ke dalam diri siswa termasuk akan memaksimalkan terwujudnya deep learning (pembelajaran mendalam) yang salah satunya mensyaratkan kegembiraan (joyful).

Begitu pun—masih terkait pandangan Arvan—secara garis besar alasan atau motif yang mendorong seseorang untuk bekerja ada dua: getting (untuk mendapatkan/memperoleh sesuatu) dan giving (tujuan memberi). Pancaran tauhid dipastikan akan mampu mengarahkan agar aktivitas dan dinamika yang dialami seorang guru dalam posisinya sebagai guru akan senantiasa mengutamakan prinsip giving (memberi). Islam pun mengajarkan prinsip dasar ini untuk mengutamakan memberi daripada menerima dalam arti “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”.

Hanya dengan prinsip giving ini, ketika menjadi bagian dari personal calling dan mekanisme algoritmik diri, maka misi “Mencerdaskan kehidupan bangsa” bisa digerakkan secara masif dan progresif tanpa syarat, apalagi target semata material dan finansial. Giving ini pun memantik kebahagiaan yang berlipat ganda termasuk akan menggandakan ilmu itu sendiri bagi orang-orang yang mengamalkannya.

Mentransformasikan RIB sebagai personal calling dan mekanisme algoritmik diri seorang guru Muhammadiyah, maka dirinya pun akan senantiasa berupaya mendapat nilai-nilai dan ajaran-ajaran inspiratif dari Al-Qur’an. Karena, sungguh di dalam Al-Qur’an ada banyak nilai dan ajaran yang bisa menjadi energi dahsyat dalam menggairahkan diri dan pikiran serta menggugah jiwa agar senantiasa bergerak tanpa batas dengan penuh spiritualitas ihsan. Al-Qur’an pun akan memantik inspirasi terkait pentingnya keterpaduan antara olah pikir (intelektualitas), olah hati (etika), oleh rasa(estetika), dan olah raga (kinestetik) sebagai sesuatu yang harus dilalui agar menciptakan kedahsyatan deep learning (pembelajaran mendalam) dalam suasana belajar dan proses pembelajaran.

Dengan RIB terutama melalui “Konsep Dasar Islam Berkemajuan”-nya terutama pada bagian Karakteristik keempat, kita pun akan mendapatkan pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya keseimbangan dalam pencapaian-pencapaian yang diraih. Melalui ini, guru-guru Muhammadiyah pun akan memahami dan menyadari pentingnya untuk menyeimbangkan tujuan duniawi dan akhirat bukan hanya untuk dirinya dalam belajar, termasuk dalam membentuk karakter anak didik. Ini pun bisa berarti bahwa target proses pembelajaran bukan hanya bermuara pada kecerdasan intelektualitas, tetapi termasuk pula kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualitas. Mengapa saya menyimpulkan seperti ini, karena sesungguhnya pada bagian Karakteristik Lima bagian keempat ini mengajarkan tentang wasathiyah (tengahan) yang tentu saja menuntut hadirnya keseimbangan-keseimbangan, bukan untuk memiliki kecenderungan ekstrem pada kutub tertentu.

Dari Karakteristik Lima ini pun, kita akan memiliki pemahaman dan kesadaran untuk senantiasa menghadirkan prinsip dan spirit kerahmatan dalam dinamika dan aktivitas yang dijalani dalam setiap episode kehidupan, tanpa kecuali dalam dunia pendidikan. Guru akan senantiasa beriorientasi untuk menghadirkan kerahmatan dan kemanfaatan dalam kehidupan, terutama yang akan dirasakan bagi anak didiknya tanpa kecuali masyarakat (terutama) yang berada di sekitar lingkungan sekolah.

Menyerap, khususnya, Karakteristik Lima ini yang menjadi bagian dari Konsep Dasar Islam Berkemajuan, sekali lagi, bukan hanya akan ada yang menjadi personal calling tetapi akan menjadi bagian dari proses algoritmik yang akan memengaruhi segala sikap, perilaku/tindakan seorang guru terutama dalam lingkungan pendidikan yang menjadi bagian dari amal usaha Muhammadiyah.

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Redaktur Opini Khittah.co (Media online milik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel).

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI

Leave a Reply