Tubuh, Kuasa, dan Seksualitas
Oleh: Ermansyah R. Hindi
Anggota Kelompok Pasca-Kiri Baru/ Sekretaris PD Muhammadiyah Turatea Jeneponto
KHITTAH.CO- Setelah Descartes, tubuh tidak lagi sebagai sesuatu yang tidak begerak, tetapi sesuatu yang menyebar dan polimorfis. Tubuh yang terbuka, terpampang, dan dilintasi sekaligus melintasi permukaan tubuhnya sendiri. Ia bukan hanya melintasi permukaan berupa kulit nampak seperti lipatan, keriput, kencang, dan bekas luka, kulit kepala beserta rambutnya, bulu tengkuk, tumit, dan seterusnya.
Semuanya adalah tubuh organik belaka; tubuh yang diorganisir untuk bertahan hidup yang tujuannya melawan kematian gairahnya. Tubuh yang mengalami “taraf diferensi”, diantaranya tubuh modal, virtual, seksual, dan sosial. Semuanya saling berinteraksi dan menetralisir antara satu dengan lainnya. Tubuh yang dimaksud adalah tubuh yang terpolimorfisasi (makna yang banyak) atau terpolisemiosasi (tanda yang banyak: tubuh yang berubah, berganti, dan bertukar) dengan cara menghibridkan, mengsintesiskan, dan mereproduksi kekuatan dari mesin murni menjadi mesin simulasi.
Dalam praktik diskursus, penyebaran tubuh seksual yang tersosialkan (misalnya, gadis dalam iklan yang menjajakan produk, pemuda ganteng dengan dada berbulu tampil dalam talk show di televisi); tubuh modal yang tervirtualkan (pasar modal-bursa efek virtual, uang virtual dalam internet, layanan atau belanja online, dan sebagainya). Kini, tubuh sedang mengalami keadaan yang berbeda, dimana mesin ketidaksadaran bekerja untuk dan dari tubuh sesuai dengan penanda, citra, dan fantasi.
Michel Foucault mengatakan, bahwa “relasi langsung antara tubuh dan kuasa dapat dilihat beroperasi dalam dua bentuk. (1) Bentuk kuasa atas tubuh. Relasi kuasa yang memiliki kendali secara langsung terhadap tubuh; ia menanamnya, menopenginya, mengaturnya, menyiksanya, memaksanya untuk menjalankan tugas, menyelenggarakan perayaan, dan memancarkan tanda-tanda” (Discipline and Punish, New York, 1995, hlm. 25).
Pada umumnya, relasi antara tubuh dan kuasa ini berlangsung dalam produksi ekonomi politik. Menurut pandangan Foucault, pengendalian tubuh oleh kuasa melalui rezim “pendisiplinan” ditanamkan dan disebarkan dalam birokrasi pemerintahan, rumah sakit, sekolah-kampus, penjara, barak militer, atau pusat pelatihan olahraga semakin bertambah besar di zaman modern ini. Produktivitas kerja dan teknologi seiring dengan produktivitas kuasa.
Dalam peristiwa tertentu, seperti fase ekonomi pra-kapitalis hanya memerlukan bentuk kuasa eksternal untuk menghukum dan membebani tubuh, maka ekonomi kapitalis harus memaksa tubuh ke sebuah model kerja yang baru (a.l. jam kerja, atau SOP berdasarkan regulasi atau prosedur yang berlaku); memaksa mereka untuk memberikan kinerja tinggi atau pelayanan prima dan produktif. Ia menyertakan sebuah “inkorporasi” kuasa aktual kedalam tubuh individu, mengontrol tindakan dan pendirian prilakunya dari dalam.
Bentuk “kuasa lain” adalah (2) Kuasa dari tubuh itu sendiri, seperti kehendak dan hasrat. Kuasa dari tubuh itu sendi menentang kuasa atas tubuh, dan dengan cara tersebut merepresentasikan (dimotori hasrat), sumber dari semua revolusi (membayangkan revolusi sosial, revolusi informasi, revolusi genetika atau revolusi seksual).
Kehendak dan hasrat (Foucault dipengaruhi oleh Nietzsche) menjadi insting-insting biologis telah disetel sebelumnya dalam kelangsungan hidup spesies-spesies. Tidak satupun dari interprestasi tersebut relevan dengan Foucault. Interpretasi biologis, khususnya hanya dapat mereduksi geneologi menjadi kontradiksi diri yang menyedihkan. Ia memiliki kemiripan Sistem Perencanaan dan Penganggaran Terintegrasi (SPPT) sebagai kalkulus makromolekuler yang sirkuit operasionalnya memancarkan dibalik “tubuh sosial”.
Karena itu, melalui sistem yang terbuka dan umpan balik, ia seperti kejutan elektro yang diambilalih oleh prilaku tubuh sebagai syarat kesehatan mental. Suatu tubuh tanpa permulaan atau akhir yang tidak mengenal dunia primitif dan modern. Dalam teknologi baru, bersama mesin baru, citra baru, dan layar interaktif yang tidak mengalienasi kita. Layar televisi, video, sinema, dan komputer tidak menyerupai sesuatu, kecuali sebanyak lensa kontak yang lain terintegrasi kedalam tubuh. Tubuh yang keluar dari wujud fisik melampaui struktur materi menjadi tubuh mengalami suatu proses deseksualitas tubuh (Foucauldian).
Perkembangbiakan deseksualitas tubuh sejalan perkembangbiakan citra yang dibangun sebelumnya berdiri sendiri sebagai kuasa yang keluar dari kedua bentuk relasi bolak-balik, yaitu (i) relasi kuasa dalam tubuh itu sendiri dan (ii) kuasa dalam tubuh itu sendiri. Nilai tukar nampak melalui tubuh (modal-uang dan kosmetik, dsb), tetapi cair dan menandai perputaran roda kuasa yang terseksualkan, tanpa jenis kelamin melalui surplus tanda. Tanda kuasa dan seksualitas tidak memateri dalam tubuh, kecuali kenormalan yang tidak tergoyahkan.
Relasi kuasa dan seksualitas tidak berlangsung melalui tubuh dengan pengendalian yang melekat padanya, tetapi dalam pengawasan atau pengendalian itu sendiri. Foucault mengatakan, “Seksualitas dengan demikian terus menjadi obyek analisis dan perhatian, pengawasan dan pengendalian, dan menimbulkan efek. Pada saat bersamaan, suatu intensifikasi hasrat masing-masing individu pada, dalam dan atas tubuhnya” (Power/Knowledge, New York, 1980, hlm. 12). Memang, seksualitas sebagai diskursus masing-masing beroperasi dalam sejarah panjang, dalam pengulangan peristiwa mengenai kuasa dan tubuh membujur dalam waktu dan runtuh bersama ruang yang menyediakannya bertukar dan berganti.