Oleh: Ermansyah R. Hindi
*) Anggota Kelompok Pasca-Kiri Baru/ Sekretaris PD Muhammadiyah Turatea Jeneponto
KHITTAH.CO- Dalam relasi bolak balik, hegemoni bahasa kuasa dan hegemoni diskursus teoritis sejalan diskursus seksualitas. Secara politik, pergeseran terjadi dari kuasa berlandaskan dalam kewenangan simbolik tradisional ke arah “biopolitik” (misalnya, KB, pengungsi, sanitasi lingkungan). Tetapi, pergeseran ruang kuasa sebagai “tanda ganda” dari relasi antara tubuh sosial dan tubuh seksual atau sebaliknya seperti minoritas seksual (kaum homoseksual/LGBT) ke produser-teks-tubuh sebagai konduktor merupakan relasi antara kuasa dan hasrat menjadi seksualitas yang tidak berjenis kelamin.
Lain halnya produser iklan, musik, pabrik rokok atau parfum, bukan hanya di bawah pengaturan kuasa-negara dan penciptaan produk material, tetapi juga menciptakan selera, kenikmatan dan fantasi. Namun demikian, rahasia mengenai selera, kenikmatan dan fantasi tetap menjadi rahasia sepanjang rahasia seksualitas dan relasinya dalam tubuh dan kuasa telah dianalisis oleh Foucault dalam The History of Sexuality (Vintage Books, New York, 1990/1995, Vol. I-III).
Tanpa relasipun dengan tubuh dan kuasa, ia adalah kebenaran terpenting dalam hidup kita. Sekarangpun, kita memiliki hasrat untuk “kuasa” tidak terhadap “tubuh” atau jenis kelamin saja, tetapi juga sebagai kenormalan dalam dirinya sendiri yang disenangi. Auto-analisis Foucault melihat kuasa sebagai sesuatu yang tidak dipahami berdasarkan bentuk kuasa represif yang negatif, melainkan ia muncul dalam bentuk lain, yaitu kuasa terutama melalui regulasi atau normalisasi. Kuasa harus dilihat sebagai bentuk kuasa yang produktif dan kreatif. Menurut pandangannya: “Kuasa cenderung pada (kekuatan yang bersifat menggerakkan, membuatnya tumbuh, dan mengaturnya ketimbang untuk menghalangi-halanginya, membuatnya tunduk, atau menghancurkannya” (The History of Sexuality, Vol. I, hlm. 23).
Kuasa memproduksi konsep, gagasan, realitas, atau obyek (naskah/dokumen peraturan perundang-udangan, kebijakan fiskal, moneter, pasar modal, pengentasan kemiskinan, ketenagakerjaan, dsb). Kuasa bertugas untuk melayani, ia tidak memerasnya atau mengeksploitasinya (pelayanan publik berbasis kinerja, dsb); kuasa tidak berlangsung secara memaksa dengan bentuk larangan dan mengintimidasi, tetapi membuka ruang ekspresi, berpendapat dan berserikat bersama hak-hak dasarnya yang lainnya dipertanggungjawabkan di hadapan publik (fantasi dan mimpi pemilihan umum, kesenangan berdialog di ruang publik, dsb). Kuasa bukanlah status kepemilikan pribadi atau umum dan bukan dilokalisasikan, tetapi disebarkan, disalurkan dan dipergilirkan. Kuasa bekerja dengan tidak menekan, melainkan bersifat mengatur secara seimbang dan melalui prosedur standar (regulasi pajak, aparat sipil, militer/multisentris).
Kini, pengawasan dan penghukuman meningkat dari sterilisasi, pengucilan bagi tahanan koruptor atau tindakan kriminal-pelanggaran lainnya, pemisahan bagi yang sakit dan tertular, rehabilitasi atau pengkarangtinaan terhadap penyandang narkotika dan obat terlarang lainnya menjadi obyek tontonan atas ritual penghukuman publik melalui media massa (informasi) akan memiliki efek langsung atau tidak langsung bagi “tubuh sosial”.
Karena itulah, kuasa bergerak seperti tersebut di atas memungkinkan tersebarnya seksualitas secara sehat dan resmi dapat merembes kedalam tubuh yang plural dengan sumbangan seksualitas secara terhormat. Penyaluran dan pembebasan hasrat secara sehat dan resmi dihargai sebagai pilihan dapat dipertanggungjawabkan untuk kelangsungan tubuh, kuasa dan seksualitas.
Kuasa bukanlah sistem hierarki pria dan wanita yang sudah mapan dalam sejarah seksualitas, dimana pembagian peran dan kerja berdasarkan relasi produksi antara pria dan wanita tidak pernah alamiah dan psikis, tetapi dibentuk oleh kuasa dan mekanis oleh kaum lelaki. Ia bukanlah perbedaan antara hegemoni yang berkuasa dengan koloni yang dikuasai dalam oposisi biner (Kami-Mereka, Orang Luar-Orang Dalam, Tinggi-Rendah, Putih-Hitam, Kuat-Lemah, Tuan-Budak, Subyek-Obyek). Dapat dikatakan, bahwa kuasa bertugas untuk memproduksi “ruang bebas” yang keluar dari permainan hegemonik dan dominasi pusat atas wilayah pinggiran.
Kecurigaan besar pada ide mengenai tubuh sosial sebagai fantasi besar terletak pada universalitas kehendak. Tubuh modal dan tubuh seksual saling berbolak-balik, berinteraksi, dan silih berganti bukan lagi kehendak, tetapi mikrokosmos hasrat. Tubuh sosial berubah, silih berganti, teracak, dan tertumpang-tindih dengan tubuh virtual, tubuh modal, dan tubuh seksual membuat timbul tenggelamnya kuasa yang beropersai pada tubuh-tubuh individu. Kita melihat tubuh yang telah dikuasai dan disadari oleh orang tidak dapat dicapai dengan cara alamiah melalui efek dari simulasi dan virtual, dimana gerka tubuh dalam olahraga, senam, olah otot, dan pemujaan terhadap keindahan tubuh menjadi paling nyata bagi penanaman kuasa dari tubuh (Power/Knowledge, 1980, hlm. 56). Cara alamiah tidak lebih kuat hasrat untuk kuasa dibanding hasrat untuk tubuh sepanjang tubuhnya ditampilkan saling berhadapan setelah dirinya dalam layar virtual sebagai tubuh nyata melalui pemanasan, jogging, atau bina raga (menjadi layar dari seseorang dalam TV bukan sebagai wujud fisik) menjadi bertukar dan berganti.
Auto-produksi hasrat atau auto-erotisme tidak datang dari tubuh, tetapi datang dari kuasa yang terseksualkan melalui wujud virtual dan sosial tanpa melalui tubuh-tubuh individu lagi. Memang di Dunia Baratlah lahir, tumbuh dan berkembang sejenis penyembuhan tubuh melalui pornografi dan periklanan. Dunia Timur, mistisme memasuki seksualitas dalam kuasa atas media.
Sekarang, masalah moral tidak penting lagi selama masih dikaitkan dengan pesona tubuh dan seksualitas sebagaimana pornografi melintasi tubuhnya sendiri menjadi lintas-teritorial, seakan-akan tidak ada lagi batas ruang, karena ia telah runtuh dalam tatapan yang lebih teliti, ringan, cepat, dan dinamis. Untuk seluruh tatapan yang melimpah ruah: “Salurkanklah seksualitasmu, dimana kuasa lebih besar dan kuat dari tubuhmu sendiri!”.