Oleh: Ayub, MA (Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah, dan Alumni Ponpes Darul Arqam Gombara Muhammadiyah Sulsel)
KHITTAH.CO — Anak adalah tumpuan harapan dan investasi masa depan paling agung bagi suatu bangsa, termasuk bangsa Indonesia dimana ummat Islam adalah komponen utamanya. Oleh karena itu, menjaga keberlangsungan hidup dan tumbuh kembang anak seharusnya selalu menjadi prioritas utama. Namun demikian, fakta menunjukan bahwa masih ada banyak sekali persoalan memprihatinkan yang menimpa anak-anak negeri ini, yang notabenenya mayoritas beragama Islam. Data persoalan anak di Tanah Air yang dirilis KPAI pada akhir 2017 lalu menunjukan bahwa hampir di semua tempat, baik di keluarga, di sekolah, maupun di tempat-tempat publik muncul persoalan anak.
Kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) menempati jumlah terbanyak dan bahkan setiap tahun cenderung mengalami peningkatan. Antara tahun 2011-2017 kasus anak berhadapan dengan hukum tercatat sebanyak 9.266 kasus. Hal ini diikuti masalah terbanyak kedua dalam hal keluarga dan pengasuhan alternatif sebanyak 5.006 kasus.
Problem yang juga cukup penting untuk dicermati adalah perkawinan anak. Meskipun data menunjukan penurunan prevalensi pernikahan anak di Indonesia, tapi kasus ini tetap menjadi momok tertuama bagi anak perempuan. Riset Meike L. Karolus dari Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada pada tahun 2016 menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi kedua tertinggi pernikahan anak setelah Kamboja di kawasan ASEAN.
Persoalan lain terkait anak adalah adanya anak yang menjadi korban akibat permasalahan perkawinan orang tua yang berujung pada perceraian. Putusan perceraian tidak semua membicarakan kuasa asuh, selain itu eksekusi kuasa asuh sangatlah susah. Masalah lainnya seperti anak dari perkawinan siri (bawah tangan), antar agama dan antar negara meliputi hak identitas, hak kesejahteraan, perwalian dan lain-lain.
Perkawinan masih dianggap sebagai domain hak orang dewasa, anak hanyalah persoalan hilir dari “perkawinan orangtua”. Dampak dari perkawinan siri adalah anak tidak memiliki identitas. Dampak dari “perkawinan beda agama” adalah anak tidak memiliki identitas agama yang jelas. Akibat pernikahan beda negara juga demikian, apalagi jika kedua orangtua berpisah/bercerai.
Apabila dicermati dengan teliti, berbagai persoalan tersebut lahir dari masih buruknya pemahaman masyarakat terkait posisi anak dalam berbagai ranah. Ranah yang dimaksud meliputi pengasuhan, pemenuhan hak sipil dan hak berpartisipasi, persoalan kesehatan, persoalan pendidikan, pornografi, dan hukum. Selain itu, maraknya perdagangan manusia (trafficking) serta eksploitasi dengan berbagai variannya juga menjadi ancaman besar bagi anak. Hal yang juga menjadi penyumbang maraknya persoalan anak adalah pemahaman agama dan budaya yang keliru.
Muhammadiyah sebagai sebuah persyarikatan yang sejak awal begitu perhatian kepada anak tentu sangat terusik oleh persoalan di atas. Berbagai respon memang telah dilakukan terutama melalui jejaring amal usaha yang menyentuh langsung kehidupan anak seperti sekolah, panti asuhan atau rumah sakit.
Namun demikian, untuk mengurai jalin kelindan persoalan perlindungan anak yang rumit, tentu sangat dibutuhkan adanya suatu tuntunan yang komprehensif, mulai dari azas filosifis hingga praktisnya. Tugas ini menjadi tanggung jawab dari Majelis Tarjih dan Tajdid sebagai majelis yang berfungsi untuk menelaah problematika ummat dan menyajikan solusinya dalam bentuk tuntunan yang dibangun di atas al-Qur’an dan Sunnah Maqbulah.
Gagasan fikih perlindungan anak Muhammadiyah
Fikih Perlindungan Anak meruapan ijtihad dari Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah untuk memberikan tuntunan dalam menghadapi perlindungan dan peningkatan kapsitas anak. Sebagaimana dalam produk pemikiran Majelis Tarjih sebelumnya, seperti Fikih Air atau Fikih Kebencanaan, term “fikih” di sini tidak terbatas pada makna tradisionalnya yang identik dengan diskursus halal-haram dan bersifat legalistik.
“Fikih” di sini difahami sebagai totalitas pemahaman terhadap ajaran Islam yang terdiri dari norma berjenjang yang meliputi nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asāsyyah), prinsip-prinsip universal (al-usūl al-kulliyah), dan ketentuan hukum praktis (al-ahkām al-far’iyyah). Dengan demikian, gagasan Fikih Perlindungan Anak pun dibangun dengan mengikuti struktur norma berjenjang tersebut.
Sebelum mendiskusikan bangunan Fikih Perlindungan Anak, tentu definisi anak perlu pula diperjelas. Dari segi batasan usianya, Majelsi Tarjih mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berumur 18 tahun untuk urusan muamalah dan 12 tahun untuk urusan ibadah. Pemahaman ini lahir dari telaah terhadap diskursus fikih tradisional seputar konsep balig dan mumayyiz serta dengan memperhatikan hukum yang berlaku di Indonesia.
Anak-anak yang merupakan anggota masyarakat dengan kelompok usia ini dipandang masih sangat membutuhkan bimbingan dan peningkatan kapasitas serta perlindungan. Dengan demikian, setiap tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Maqbulah terkait dengan anak difahami dalam kerangka batas usia ini.
Fikih Perlindungan Anak dibangun di atas tiga nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asāsyyah) yakni tauhid, keadilan, dan maslahat. Nilai tauhid meniscayakan keyakinan bahwa pada hakikatnya seluruh isi alam, termasuk anak, adalah milik Allah sebagaimana yang dijelaskan pada ayat di atas. Orangtua hanyalah pelaksana amanah dari Allah untuk merawat dan mendidik anak agar menjadi hamba Allah yang menaati segala aturan-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Adapun nilai keadilan, maka dalam konteks perlindungan anak, ia bermakna memberikan hak anak dengan tepat atau membebankan kewajiban sesuai kemampuannya. Keadilan dalam Fikih Perlindungan Anaka juga berarti mencintai semua anak, memberikan hadiah atau sanksi tanpa diskriminasi. Nilai terakhir yakni maslahat yang berarti segala upaya merawat, mengasuh, melindungi, membesarkan dan mendidik anak hendaknya berbuah pada lahirnya kemanfaatan pada diri anak.
Ketiga nilai dasar di atas kemudian terurai dalam empat prinsip-prinsip universal (al-usūl al-kulliyah). Pertama, pirinsip kemuliaan manusia (al-karamah al-insāniyah). Prinsip ini menempatkan anak sebagai makhluk Allah yang memiliki kemuliaan dan kedudukan utama. Allah membekalinya dengan berbagai potensi, memuliakannya dengan memberikan berbagai macam keutamaan, dan memilihnya menjadi wakil Allah untuk memakmurkan dunia dan mewujudkan kesejahteraan umat manusia.
Kedua, prinsip hubungan kesetaraan (al-Musawah), berlandas prinsip ini, perlindungan anak didasarkan pada sikap penilaian bahwa anak, seperti semua manusia mempunyai nilai yang sama. Dengan demikian, perlindungan kepada anak harus senantiasa memperhatikan aspirasi mereka, selama sejalan dengan ajaran Islam.
Ketiga, prinsip kasih sayang (al-Mawaddah wa ar-Rahmah), memperlakukan anak dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang dapat menumbuhkan potensi rasa cinta dan kasih sayang yang ada pada dirinya, serta menimbulkan perasaan diterima sehingga menumbuhkan rasa aman, rasa percaya diri, serta dorongan untuk berkembang.
Keempat, prinsip pemenuhan kebutuhan taufīr al-hājāt. prinsip ini diarahkan dan dirancang untuk mampu memenuhi kebutuhan pokok anak serta keberlangsungan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Untuk memenuhi kebutuhan anak, maka potensi fitrahnya sebagai manusia perlu diperhatikan. Secara umum, potensi yang dimiliki anak di antaranya, potensi spiritual, potensi kekhalifahan, potensi jasadiyah, dan potensi intelektual.
Nilai dasar dan prinsip universal yang telah dijelaskan sebelumnya kemudian diimpelentasikan dalam tuntunan praktis (al-ahkām al-far’iyyah) perlindungan anak. Pedoman praktis perlindungan anak dibahas dalam kerangka hak-hak anak dalam empat ranah utama; hak tumbuh kembang, hak sipil, hak keamanan, dan hak pendidikan.
Hak tumbuh kembang ini mencakup hak tumbuh kembang secara fisik dan secara rohaniah sejak masa konsepsi anak, masa dalam kandungan hingga ia mencapai usia dewasa. Hak sipil yang dimaksud adalah hak keperdataan anak yang mencakup nasab dan identitas, hak berbicara, hak mendapatkan dan memiliki harta. Adapun hak perlindungan adalah hak anak untuk mendapatkan perlakuan adil baik dalam hal material maupun immaterial seperti cinta dan kasih sayang dan perasaan aman.
Fikih Perlindungan Anak tidak hanya memberikan tuntunan praktis, tapi juga memperhatikan persoalan-persoalan baru (nawāzil) yang menghalangi pemenuhan hak-hak anak. Persoalan-persoalan tersebut mencakup aborsi, kematian bayi dan balita, stunting, identitas anak, pengasuhan, anak berurusan dengan hukum, pernikahan anak, trafficking dan kekerasan seksual. Kesemua persoalan ini dibahas dengan mengemukakan hakikat persoalannya, memberikan langkah-langkah preventif dan kuratif yang dirumuskan dengan memperhatikan temuan data terbaru, hukum yang berlaku serta tentu saja petunjuk dari Alquran dan Sunnah Maqbulah.
Akhirnya, gagasan Fikih Perlindungan Anak perlu dilihat sebagai bagian dari upaya tiada henti Muhammadiyah untuk meluruskan “kiblat” atau orientasi bangsa. Dalam hal ini, orientasi dalam memperlakukan anak. Selama ini, ada banyak persoalan sistematis yang berakibat fatal pada anak, saatnya semua itu dihentikan. Anak sebagai nikmat tak ternilai serta amanah berat dari Allah semestinya diperlakukan dengan selalu memperhatikan wahyu dari-Nya.
Tentu wahyu tersebut harus ditelaah sungguh-sungguh agar lahir pemahaman yang tepat dan komprehensif. Fikih Perlindungan Anak yang dirumuskan Majelis Tarjih ini adalah ikhtiyar untuk memenuhi hal tersebut. Harapnnya, produk pemikiran ini dapat menjadi tuntunan bagi ummat untuk mengatasi persoalan-persoalan anak dengan tepat dan tuntas.
Sumber: Republika.co.id