Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Urgensi Iman dalam Konversi Perasaan di Era AI

×

Urgensi Iman dalam Konversi Perasaan di Era AI

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH. CO – Ada hal paradoks yang terjadi di balik kecanggihan dan godaan dahsyat teknologi AI (baca: artificial intelligence atau kecerdasan buatan). Atas dasar itu, saya memandang keberadaan dan peran iman masih urgen dalam mengonversi perasaan. Bukan hanya pada masa kenabian, seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, termasuk ketika kita membaca dalam kisah Nabi Yusuf, iman begitu ampuh dan dahsyat mengonversi perasaan sehingga para utusan Allah Swt. tersebut mampu menyelamatkan dan mempertahankan kemuliaan dirinya. Iman harus selalu hadir tanpa kecuali di Era AI.

Sudah lama atau jauh sebelum AI semakin berkembang pesat, aktivitas atau mekanisme yang disebut “konversi” itu sudah lazim kita mendengar atau bahkan melakukannya. Dalam dunia teknologi istilah konversi sering dilekatkan atau ditautkan dengan upaya mengubah jenis, format file, dan extension/ekstensi file, seperti dari file word dengan kode “docx” menjadi “pdf”. Contoh lain dari format atau extension “jpeg” yang menunjukkan file gambar menjadi “pdf” file dokumen.

Sekilas, mungkin masih ada sahabat pembaca yang bingung dan mempertanyakan korelasi iman, perasaan, dan era AI, tanpa kecuali dengan istilah “konversi” tersebut yang terkesan mengalami pergeseran dari dunia teknologi ke dalam dimensi psikologis manusia, apa lagi dihubungkan dengan dimensi teologis. Sebenarnya penggunaan istilah “konversi” dalam dunia psikologis dan teologis bukanlah hal baru.

William James dalam bukunya The Varieties of Religious Experience:Pengalaman-Pengalaman Religius (2015) menggunakan istilah itu untuk menunjukkan perpindahan dari keyakinan keagamaan tertentu ke keyakinan lain. Pemaknaan conversion (konversi) dari James ini pulalah yang pernah digunakan oleh Prof. Najib Burhani sebagai “pijakan filosofis” dalam mengulas makna “Menjadi Muhammadiyah” dalam buku Becoming Muhammadiyah: Autobiografi Gerakan Kaum Islam Berkemajuan (2016).

Hari Raya Idul Adha 1446 H kemarin, saya mendapatkan pancaran intuisi tentang pemaknaan mendalam tentang kisah kenabian Ismail dan Ibrahim yang terefleksikan secara totalitas dalam Idul Kurban (qurban) tersebut. Yang bisa ditangkap sebagai makna mendalam dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail bukan hanya tentang puncak ketaatan tertinggi seorang hamba kepada penciptaNya, Allah. Bukan pula paduan sikap, tindakan, dan refleksi cinta dan ketaatan seorang anak terhadap orang tua dan sang penciptaNya. Yang dahsyat dari itu, ada konversi perasaan yang bagi kebanyakan orang, itu sulit dipancarkan dan diwujudkan dalam tindakan nyata.

Hari ini, adakah orang tua yang karena cinta dan ketaatannya kepada Allah, kemudian rela mengurbankan anaknya, begitu pun seorang anak yang merelakan dirinya menjalani apa yang menjadi perintah Allah, meskipun nyawa adalah taruhannya. Dalam kisah kenabian lain, kita bisa membaca bagaimana Nabi Yusuf bisa terselamatkan dari rayuan dan godaan nafsu seorang istri pejabat negara pada saat itu.

Sebagai manusia, naluri Nabi Ibrahim akan sangat mencintai anak semata wayangnya, Ismail pun demikian masih mendambakan kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Jika sekadar mimpi tidak mungkin akan mampu mengubah sikap dan perasaannya untuk rela dan ikhlas mengurbankan anak yang sangat dicintainya. Sama halnya dengan nabi Yusuf—dalam kisah kenabian lain—sebagai seorang pemuda dan manusia dalam menghadapi godaan seorang perempuan dipastikan dirinya pun akan sangat menginginkan dan memenuhi godaan tersebut.

Namun, para utusan Allah Swt. tersebut mampu melakukan apa yang saya istilahkan dalam tulisan ini sebagai “konversi perasaan”. Mengubah jenis perasaan dari perasaan yang satu ke perasaan yang lain, seperti dari nafsu birahi ke takut pada Allah. Dari ego sebagai manusia menjadi cinta dan taat pada perintah Allah. Perasaan-perasaan tersebut sebagai bagian dari sikap yang akan memengaruhi tindakan, itu terkadang amat sulit untuk berubah, kecuali dengan kehadiran iman yang sangat kokoh dalam hati.

Iman bukan hanya cahaya yang akan menerangi relasi manusia dengan Tuhannya dan sebagai energi yang akan meningkatkan ketaatan seorang hamba dalam ritual dan ibadah vertikalnya. Iman mampu menjadi basis nilai dari prinsip dan sekaligus sebagai prinsip yang akan mengendalikan dan mengarahkan segala sikap dan tindakan seseorang—ini pengaruhnya sangat kuat.

Iman dari hasil perenungan yang saya rasakan berdasarkan pemahaman dan kesadaran dari berbagai pengertian dan pemaknaan algoritma, bukan hanya memengaruhi algoritma, tetapi akan menjadi bagian dari algoritma diri. Sehingga, pikiran dan perasaan apa pun yang secara prosedural berada dalam mekanisme psikologis diri manusia, maka akan melewati—sejenis langkah metodis dalam makna algoritma di dunia teknologi—“iman” dan “keimanan” tersebut.

Pikiran dan perasaan yang melewati proses algoritmik di mana “iman” dan “keimanan” adalah bagian penting di dalamnya akan senantiasa mengalami proses “konversi” untuk diarahkan pada sesuatu yang tidak paradoks dengan nilai-nilai dan makna yang melekat di dalamnya (baca: iman dan keimanan). Seperti dalam kisah Nabi Yusuf, meskipun dirinya secara naluriah menginginkan pula apa yang sangat menggoda di balik godaan seorang perempuan, namun karena perasaan dan pikirannya melewati proses algoritmik di mana iman ada di dalamnya, maka perasaan dan pikirannya itu terkonversi menjadi rasa takut pada Allah dan senantiasa tetap berada dalam rel ketakwaan.

Mendalami pengertian dan makna algoritma dalam dunia teknologi, termasuk pengertian dan makna algoritma dalam diri manusia—sebagaimana yang pernah dipercikkan oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia (2019), saya merasakan bahwa urgensi iman harus senantiasa hadir mengiringi perjalanan manusia tanpa kecuali di era AI hari ini.

Era AI, tentu saja bukan hanya menjanjikan kemudahan-kemudahan, meningkatkan kinerja, dan efesiensi kerja manusia. Di dalamnya pun mengandung banyak godaan-godaan yang menggiurkan dan itu berpotensi mereduksi, mendestruktif, dan mendisrupsi potensi dahsyat manusia yang telah built-in sejak awal kelahirannya sebagai satu paket penciptaan.

Otak sebagai anugerah terbesar bagi manusia dari Allah Swt., sebagai contoh, jika manusia tidak mampu mengonversi perasaannya di balik godaan menggiurkan AI, maka ke depan otak itu semakin tumpul dan kemampuan berpikir semakin lumpuh. Otak harus dirawat, sehingga aktivitas berpikir dalam memecahkan masalah kehidupan tidak boleh diserahkan sepenuhnya pada kecanggihan AI.

Ketergantungan penuh dan “buta” manusia pada AI akan menunjukkan kondisi penyerahan diri dan kehidupannya pada proses dan kedahsyatan algoritma yang berbasis pada teknologi. Padahal, jika kita memahami dan menyadari melalui perenungan dan pemikiran mendalam, proses algoritma dalam diri itu lebih dahsyat, lebih penting, dan lebih fungsional untuk mengarungi kehidupan yang tidak hanya identik dengan langkah metodis, prosedural, mekanistik, dan operasional semata, tetapi lebih pada nilai, makna, dan rasa.

Ketika, proses algoritmik dalam diri manusia itu sudah lumpuh—karena selama ini, kita menyerahkan sepenuhnya pada kecanggihan dan kedahsyatan proses algoritmik teknologi—maka dipastikan kehidupan yang dilewati, setiap episodenya akan terasa hampa. Tidak bernilai dan bermakna. Akhirnya manusia pun tidak ada bedanya dengan robot-robot dan teknologi ciptaannya.

AI jika tidak dipahami, disadari, dan dimanfaatkan secara benar dan proporsional maka cepat atau lambat potensi dahsyat manusia, otak dan hati, pikiran dan kalbu akan semakin tumpul dan lumpuh. Dunia mungkin saja tetap akan semakin canggih dengan kemajuan infrastruktur yang maju dan luar biasa. Namun, relasi manusia antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya, dan bahkan manusia dengan Tuhannya akan semakin hampa, kehilangan nilai, makna, dan rasa. Sekali lagi, kita hanya akan menjadi robot-robot yang berwujud manusia yang tentu saja akan lebih rendah posisinya ketimbang binatang berwujud manusia.

Otak dan hati, pikiran dan kalbu harus terus dirawat dengan membaca, menulis, beraktivitas, dan berinteraksi secara alami, beribadah, dan berzikir. Semua ini pun akan memengaruhi big data dalam diri selanjutnya memengaruhi proses algoritmik dalam diri. Otak dan hati dalam ilmu neurosains dan teologi tentunya adalah tempat iman sehingga kedua harusnya terus dirawat dengan aktivitas yang positif dan konstruktif. Dan, iman yang kokoh dipastikan mampu mengendalikan perasaan “ketergantungan” dan “kecanduan” buta atau tidak proporsional pada AI.

Merawat anugerah terbesar dari Allah Swt. berupa otak dan hati, pikiran dan perasaan, adalah bagian dari wujud keimanan. Sebab, manusia dalam kehidupan duniawi telah mengembang amanah mulia atau membawa mandat kosmik sebagai khalifah, yang tentu saja fungsi kekhalifahan akan berjalan dengan baik, benar, dan sukses ketika otak dan hati, pikiran dan perasaan, masih berfungsi dan berproses.

Minimal di sinilah urgensi iman yang akan memiliki kemampuan mengonversi perasaan di era AI

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Redaktur Opini Khittah.co

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI

Leave a Reply