KHITTAH.CO, Makassar- Jauh hari, Muhammadiyah sudah berbicara terkait evaluasi sistem pemilu bangsa ini. Sejak 2014, melalui Tanwir di Samarinda, Muhammadiyah meyakini, untuk mewujudkan Indonesia berkemajuan, konstitusi dan perundang-undangan perlu ditata ulang.
“Memperkuat sistem presidensil dalam konteks pluralitas partai politik dengan sistem pemilihan umum yang menggunakan sistem proporsional tertutup atau sistem campuran antara proporsional dan distrik,” begitu tertulis dalam Tanfidz Tanwir 2014.
Hal tersebut, lanjut Tanfidz Tanwir 2014, dimaksudkan untuk mempertegas tingkat representasi antara wakil dan yang diwakili. Ini juga untuk mengatasi fragmentasi partai politik yang tidak terstruktur.
Muktamar ke 48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah kembali menegaskan hal tersebut. Ini tertuang dalam rekomendasi Muktamar ke 48 bagian Isu-Isu Strategis Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan Universal.
Tanfidz Muktamar mengatakan bahwa sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif perlu diubah. Meski demikian, pemilihan presiden, gubernur, bupati, dan wali kota secara langsung tidak perlu diubah.
“Akan tetapi, mekanisme pemilihannya perlu diperbaiki ke arah yang lebih efisien dan efektif, misalnya melalui sistem pemilu tertutup atau terbuka terbatas serta pemilihan eksekutif terintegrasi untuk meniadakan politik uang, ekses politik identitas, dan pembelahan masyarakat atau polarisasi politik,” demikian tertulis dalam tanfidz Muktamar 48.
Untuk perbincangan lebih dalam, Lembaga Hikmah dan Kajian Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi Selatan menggelar Webinar Seri Diskusi Politik Kebangsaan.
Tema yang diangkat adalah “Menyoal Pemilu Legislatif: Idealnya Proporsional Terbuka atau Tertutup?”, dihelat via zoom, pada Sabtu, 14 Januari 2023 via Zoom.
Wakil Ketua LHKP Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2015–2022, Ridho Alhamdi mengemukakan, bahwa poin utama rekomendasi Muhammadiyah hasil muktamar adalah reformasi sistem pemilu.
“Adapun pernyataan Pak Sekum itu, sesungguhnya poinnya adalah perlunya reformasi sistem pemilu. Itu premis mayornya. Premis minornya, pernyataan sub-nya adalah ‘seperti’, yang disebutkan Pak Sekum,” kata dia.
Ia juga menekankan, bahwa sesungguhnya, terkait sistem pemilu, tidak ada yang terbaik . “Di negara demokrasi, yang ada adalah sistem yang relevan, sesuai yang dianut oleh masing-masing negara, sehingga setiap negara demokrasi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing,” ujar dia.
Ia melanjutkan, Indonesia telah menganut sistem keterwakilan proporsional tertutup pada 1955–1999. Sistem keterwakilan proporsional terbuka dimulai sejak 2004–2019.
Ridho menawarkan jalan tengah yang menjadi titik temu antara sistem proporsional terbuka dan tertutup. Ia menyebut sistem tersebut cenderung moderat, sehingga ia menamakannya sebagai Moderate List Proportional Representation (MLPR).
Keterwakilan berimbang daftar yang moderat ini, kata dia, secara konsep, teknik pemilihan tetap merujuk pada sistem proporsional terbuka.
“Pemilu bisa mencoblos secara langsung atau bisa juga mencoblos lambang partai politik. Bisa memilih salah satu. Itu dua-duanya sah. Bisa juga dianggap sah, kalau saya mencoblos partai dan mencoblos calegnya,” jelas Ridho.
Ridho mengaku beberapa kali menerima tanggapan bahwa sistem tawarannya tersebut akan membuat pemilih kesulitan. Pasalnya, pemilih dianggap membutuhkan konsentrasi yang tinggi dalam pencoblosan.
“Nggak. Teknik lebih detailnya pada prosesi penghitungan. Teknisnya, jika suara caleg melebih suara partai, maka caleg tersebut berhak mendapatkan kursi. Ini jika suara partai memenuhi syarat mendapatkan kursi parlemen,” babar dia.
Ia melanjutkan, jika suara caleg melebihi suara partai, maka suara tersebut otomatis punya caleg. Namun, jika suara partai lebih tinggi dari suara caleg, maka partai berhak menentukan kursi tersebut akan diberikan kepada caleg, sesuai kebijakan internal partai.
“Jadi, jika ada satu caleg yang lebih tinggi dari suaranya dari suara partai, maka kursi itu milik Si caleg. Tapi, kalau tidak ada suara caleg yang melebihi suara partai, maka partai yang menentukan, bisa saja kursi ini untuk nomor urut satu walaupun tidak dapat suara terbanyak atau ke yang caleg perempuan,” kata dia.
Lebih lanjut, kata dia, seandainya dalam kasus tertentu, partai mendapatkan dua jatah kursi di daerah tertentu, sementara ada satu caleg yang perolehan suaranya melebihi perolehan partai, maka otomotis akan menjadi caleg.
Sementara itu, jika suara caleg yang kedua tidak melebihi suara partai, maka peruntukan kursi ditentukan oleh kebijakan partai.
“Selanjutnya, tadi kan pemilih berhak memilih caleg dan partai, nah, karena memilih caleg dan partai dianggap sah secara bersamaan, perhitungan suaranya adalah 1/2 untuk suara partai, 1/2 untuk caleg, sehingga suaranya tetap 1, sehingga tidak melanggar prinsip 1 vote 1 person, 1 vote 1 value,” kata dia.
Ridho mengaku, model ini ia adopsi dari sistem pemilu borda count atau limited vote yang digunakan oleh sejumlah negara. Sistem moderate yang ia tawarkan ini, mengakomodasi sistem proporsional terbuka dan tertutup.