Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Welas Asih Etos Muhammadiyah Merawat Indonesia

×

Welas Asih Etos Muhammadiyah Merawat Indonesia

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO., –Bagi Muhammadiyah, Indonesia bukan sekadar locus dan tempus di mana dinamika, pergulatan, pergumulan, dan dialektika dirinya secara institusional berlangsung. Namun, Indonesia adalah kode yang diperjuangkan, dirumuskan, dan diletakkan oleh Muhammadiyah bersama kompenen bangsa lainnya yang menandai sebuah bangsa dan negara.

Sebagai kode—sebagaimana pandangan Prof. Muhammad Sabri, Guru Besar UIN Alauddin Makassar—bahwa dalam tradisi semiotika adalah “Sesuatu yang lahir, ditentukan, dan ditetapkan karena narasi-narasi biasa tidak mampu mengungkapkan realitas yang sebenarnya”. Secara usia, Indonesia yang berumur 79 tahun sudah sangat matang.

Azyumardi Azra pun pernah menegaskan “Indonesia adalah salah satu negara besar di dunia. Indonesia adalah negara kontinental maritim atau negara kepulauan (archipelago) terbesar di dunia”. Dari Azyumardi pun, kita bisa memahami bahwa bentangan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Merauke di timur sampai Sabang di barat, jika diukur dengan penerbangan langsung menggunakan pesawat jet, relatif sama jarak tempuhnya dengan jarak antara New York di pantai timur Amerika Serikat dan Los Angeles di pantai barat AS.

Di balik kematangan usia, keluarbiasaan, dan kemajuan Indonesia—tanpa mengabaikan sejumlah pekerjaan rumah yang ada di antarannya dan harus dituntaskan—tidak bisa dilepaskan atas peran serta aktif Muhammadiyah yang ikut melahirkannya. Muhammadiyah yang kemarin, tepatnya 18 November 2024, telah berusia 112 tahun, bahkan telah melintasi abad keduanya, sepanjang usianya tersebut senantiasa merawat Indonesia.

Merawat maknanya bukan hanya menjaga dan membangun tetapi memelihara apa yang ada, memperbaiki, mengembangkan, meningkatkan, dan memajukan. Muhammadiyah merawat Indonesia dan segala hal yang melekat dalam makna dan kode keindonesiaan itu.

Dalam diri Muhammadiyah ada etos yang menjadi keyakinan, pandangan, watak, dan karakternya yang memberikan spirit dan menggerakkan. Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Zakiyuddin Baidhawy dan Azaki Khoiruddin dalam buku karya bersamanya, Etika Muhammadiyah & Spirit Peradaban (2017), selain etos al-ma’un (sikap kritis dan terbuka) dan al-ashr (pengetahuan tentang kesatuan hidup), ada pula etos welas asih.

Ketika Kiai Dahlan berpesan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”, dalam pandangan saya, itu sebenarnya adalah pesan dan proses internalisasi etos welas asih ke dalam diri kadernya secara internal. Internalisasi ini sekaligus sebagai upaya membentuk karakter welas asih kader Muhammadiyah secara internal yang selanjutnya berefek secara eksternal, termasuk dalam makna “Merawat Indonesia”. Dalam makna lain, apa yang diinternalisasi sebelumnya mengalami eksternalisasi, terimplementasi.

Pesan Kiai Dahlan di atas memang relevan, baik secara etimologi maupun terminologi dari welas asih. Dalam budaya dan bahasa Jawa, welas asih bisa dipahami sebagai suatu sikap yang mampu merasakan penderitaan orang lain dan ingin membantunya. Ada spirit mengutamakan prinsip “memberi” ketimbang “menerima”. Melalui konsep agama Islam pun dikenal “tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah”.

Selain itu, welas asih bisa disimpulkan bahwa di dalamnya mengandung rasa empati, bukan sekadar simpati, dan ini menjadi prasyarat utama dari apa yang dimaknai sebagai kesadaran kritis. Kesadaran kritis pun adalah kesadaran tertinggi dalam kehidupan kolektif terutama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Merenungkan makna welas asih ini, saya mendapatkan pemahaman dan kesadaran mendalam bahwa itu relevan dan bisa terintegrasi dari makna progresif etos al-ma’un dan al-ashr dari Prof. Zakiyuddin dan Dr. Azaki. Sebagaimana tiga etos yang ditegaskan di atas dari Prof. Zakiyuddin dan Dr. Azaki (2017: 33), al-ma’un yang mengandung sikap kritis dan terbuka, welas asih pun sejatinya seperti itu. Begitu pun al-ashr yang menggambarkan pengetahuan tentang kesatuan hidup, di dalam welas asih kesatuan hidup itu bukan sekadar pengetahuan, di dalamnya pun termasuk perasaan dan diikuti dengan tindakan konkret.

Ada yang sangat menarik dan memiliki makna mendalam dari welas asih yang sangat strategis untuk senantiasa dikristalisasi dalam kehidupan Indonesia dan keindonesiaan. Makna menarik, mendalam, dan strategis tersebut dikutip oleh Prof. Zakiyuddin dan Dr. Azaki dari dr. Soetomo (Pendiri Budi Utomo) ke dalam buku karya bersamanya tersebut. Pendiri Budi Utomo itu menegaskan bahwa welas kasih (dalam hal ini sama dengan welas asih) merupakan kritik atas Darwinisme sebagai paradigma pemikiran Barat modern yang meletakkan seleksi alam atas kekuatan individual.

Bagi dr. Soetomo, Darwinisme tidak memberikan kekuatan kaum lemah untuk menjadi berkemajuan. Untuk diketahui sebagaimana ditegaskan dalam sejarah panjang perjalanan Muhammadiyah, bahwa welas asih inilah yang menarik minat elite priyayi Jawa dr. Soetomo tersebut untuk bersedia menjadi penasihat Muhammadiyah bidang kesehatan. Prof. Zakiyuddin dan Dr. Azaki mengungkapkan “Bersama dokter Belanda, dr. Soetomo mengelola rumah sakit Muhammadiyah tanpa gaji”.

Belajar dari sejarah Muhammadiyah termasuk cikal bakal berdirinya, sesungguhnya adalah sebagai kristalisasi pancaran welas asih atau kekuatan cintanya terhadap nusantara, yang pada saat itu (baca: tahun 1912) belum menjadi bangsa dan negara Indonesia. Muhammadiyah berdiri untuk menyelamatkan masyarakat dari kebodohon, kemiskinan, penyiksaan, dan penjajahan.

Setelah Indonesia merdeka dan memasuki era modern pun, Muhammadiyah masih saja terus berkomitmen dan konsisten untuk merawat Indonesia. Bahkan, welas asih itu pun mengalami pelembagaan yang luar biasa dan menjangkau berbagai dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ratusan perguruan tinggi, puluhan ribu sekolah, ratusan rumah sakit dan klinik, begitu pun panti sosial yang sangat banyak jumlahnya adalah wujud pelembagaan etos tersebut.

Ketika Haidar Bagir baru bertanya di abad 21 ini, beberapa tahun yang lalu, “Where shall we begin?” dalam merespon keruwetan kehidupan di muka bumi, di mana manusia terjebak dalam kehidupan dan kemajuan zaman yang diciptakannya sendiri. Kemudian, Haidar Bagir berdasarkan pikiran dan renungan mendalamnya menjawabnya dengan “cinta”, Muhammadiyah sejak tahun 1912, telah menjawab bahwa jawabannya adalah “cinta” (baca: welas asih).

Ketika welas asih pun mengandung makna “cinta” maka hampir semua orang bersepakat bahwa di dalamnya terkandung kekuatan dahsyat, yang bisa mengubah impossible menjadi possible. Sekelas Erich Fromm pun pernah menegaskan dalam bukunya The Art of Loving (2004), “Cinta adalah jawaban atas problem eksistensi manusia.

Relevansi welas asih, Yudi Latif pun pernah menegaskan pentingnya “The power of love” (Kekuatan cinta). Sebaliknya, jika “The love of power” (Cinta kekuasaan) lebih besar ketimbang the power of love maka nilai-nilai Pancasila pun akan sulit tumbuh subur.

Dari Pancasila di dalammnya bisa ditemukan sesuatu yang bisa menjadi basis nilai dari welas asih. Selain itu, dari Pancasila pun ada hal yang perlu diperkuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan ini bisa terwujud jika welas asih tersebut terus terkristalisasi dalam kehidupan. “Persatuan Indonesia” sebagai sila ketiga Pancasila dan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai sila kelima, telah dipahami bersama bahwa keduanya ini harus saling menguatkan, dan keseimbangan keduanya menciptakan kohesivitas sosial, bangsa, dan negara yang kukuh. Namun, sekali lagi ini terwujud hanya dengan etos welas asih.

Tema Milad ke-112 dan Tanwir Muhammadiyah menegaskan “Menghadirkan Kemakmuran untuk Semua”. Dalam kehidupan Muhammadiyah, setiap tema bukan sekadar penghias spanduk dan flyer atau hanya sebagai diksi menarik yang membuat hadirin terkagum-kagum di forum-forum. Rumusan tema di Muhammadiyah senantiasa menjadi pedoman melangkah minimal mewarnai aktivisme dalam periode kepengurusan yang sedang berjalan.

Tema “Menghadirkan Kemakmuran untuk Semua” hanya bisa terwujud dalam kehidupan jika etos welas asih senantiasa terkristaliasi dalam gerakan dan pergerakan Muhammadiyah. Menghadirkan kemakmuran harus dengan etos welas asih, apatah lagi “Untuk semua” sudah pasti harus dilandasi oleh etos welas asih.

Ketiadaan kemakmuran dalam kehidupan kolektif berbangsa dan bernegara, korupsi merajalela, good governance, dan clean government sulit terwujud, begitu pun keadilan menjadi barang asing maka sebagaimana tesis Erich Fromm itu adalah bagian dari problem eksistensi manusia. Sedangkan dari Fromm pun kembali menegaskan bagian terdalam dari problem eksistensial manusia itu adalah “cinta”.

Sungguh cinta maupun welas asih sangat penting dan strategis posisinya dalam kehidupan. Benarlah pula apa yang pernah diungkapkan oleh Ary Ginanjar Agustian dalam konsepsinya terkait “Tangga Kepemimpinan” di mana tangga pertama adalah “Pemimpin yang dicintai”. Terkait ini Ary Ginanjar menegaskan “Kita bisa mencintai seseorang tanpa memimpinnya tetapi kita tidak bisa memimpinnya tanpa mencintainya”.

Berbagai amal usaha spektakuler Muhammadiyah yang telah terlembagakan, semuanya bukan hanya untuk internal Muhammadiyah. Semuanya untuk bangsa dan negara Indonesia, bahkan untuk dunia. Ini pun, semuanya adalah kristalisasi welas asih sebagai etos Muhammadiyah yang hadir melengkapi keberadaan eksistensialnya sejak awal kelahirannya. Tema “Menghadirkan Kemakmuran untuk Semua” bagi saya, itu hanyalah derivasi dan kontekstualisasi yang mengiringi perubahan, perkembangan, dan kemajuan yang terus menjadi niscaya dalam kehidupan.

Ketika kader Muhammadiyah dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia diberikan amanah sebagai diaspora kader dan misi kebangsaannya mampu menjalankan amanah tersebut dengan benar, baik, dan patut maka sesungguhnya itu pun adalah kristalisasi dari etos welas asih. Yang senantiasa berorientasi bukan hanya sekadar untuk diri, keluarga, golongan, dan organisasinya tetapi kehidupan kolektif yang lebih luas tanpa sekat dan batas budaya, suku, bahasa, golongan, dan agama.

 

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PDM Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital dan Kebangsaan

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply