Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Uncategorized

Wujud Syukur Eksistensi Dua Abad ‘Aisyiyah: Realisasikan Risalah Perempuan Berkemajuan!

×

Wujud Syukur Eksistensi Dua Abad ‘Aisyiyah: Realisasikan Risalah Perempuan Berkemajuan!

Share this article
Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Sulawesi Selatan, Mahmudah saat memaparkan materi ‘Aisyiyah dan Risalah Perempuan Berkemajuan di Hotel Aryaduta, pada Ahad, 9 Juli 2023 (sumber foto: AHZ).

KHITTAH.CO, MAKASSAR- Siti Walidah sebagai tokoh perintis ‘Aisyiyah memiliki pembeda yang tegas dengan tokoh perempuan lainnya. Pembeda itu adalah kolektivitas bergerak dan semangat berkemajuan serta pembaharuan yang senapas dengan Persyarikatan Muhammadiyah.

Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Sulawesi Selatan, Mahmudah memaparkan hal itu saat dirinya hadir di Hotel Aryaduta, pada Ahad, 9 Juli 2023.

Mahmudah menjadi pembicara dalam Peneguhan Ideologi, Politik, dan Organisasi (Ideopolitor) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) dan Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) se-Sulsel.

Dalam acara yang dihadiri 379 peserta itu, Ia membahas tema “Aisyiyah dan Risalah Perempuan Berkemajuan.”

Lebih lanjut, dia sorot balik terhadap gagasan yang lebih “tercerahkan”, yaitu kebebasan, kesetaraan, serta persaudaraan, yang mulai mendominasi perdebatan di Parlemen Belanda di akhir abad XIX, termasuk tuntutan untuk mengubah kebijakan kolonial terhadap Indonesia.

Demikian pula desakan untuk pemberian hak bagi rakyat Indonesia perlindungan bagi rakyat dari eksploitasi ekonomis yang direspons dengan hadirnya kebijakan etis.

Kebijakan tersebut diumumkan oleh Ratu Wilhelmina (1890-1984) dalam pidatonya tahun 1901 dengan mendeklarasi keinginan pemerintah untuk menyelidiki kurangnya kesejahteraan rakyat Jawa dan berkomitmen untuk meninggalkan cara imperial kunonya.

Waktu itu, Abad XX diharapkan menjadi era baru yang ditandai dengan mulai terpadunya rakyat Jawa menuju kebudayaan modern dan pengetahuan teknis Eropa.

“Kita tahu, kurangnya perhatian pemerintah  pada pendidikan perempuan mendorong van Deventer mendirikan sebuah sistem sekolah putri pada tahun 1912 yang dinamai Sekolah Kartini. Namun, gerakan Kartini dan Dewi Sartika, tokoh perempuan dari Sunda, bersifat individual,” kata dia.

Adapun organisasi perempuan yang dianggap pertama yaitu Putri  Mardika, didirikan oleh  Budi Utomo pada 1918, nyatanya tidak bernapas panjang. ‘Aisyiyah yang berdiri sejak 1917 masih terus berkiprah hingga kini.

Bahkan sebenarnya, kata Mahmudah, embrio ‘Aisyiyah sudah ada sejak 1914. Sejak itu, kaum Ibu di Muhammadiyah bersama K.H. Ahmad Dahlan sudah mengadvokasi permasalahan-permasalahan perempuan.

“Ketika mengembangkan dan menyiarkan Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan mencurahkan sebagian waktunya untuk  mengajar di dalam kelas  yang diikuti oleh anak-anak perempuan  di Kauman,” kata dia.

K.H. Ahmad Dahlan terbilang melakukan terobosan yang fenomenal. Pasalnya, saat itu eksistensi perempuan di luar rumah masih tabu, apalagi jika mereka sampai bersekolah.

Bahkan, Kiai Dahlan bersama Siti Walidah mengajak anak-anak perempuan untuk belajar di rumahnya untuk mengenyam pendidikan dalam waktu yang lebih banyak. Dari sinilah, kelompok perempuan berkemajuan itu bermula.

Kelompok bernama Sopo Tresno itulah yang menjadi cikal bakal ‘Aisyiyah. Istri Kiai Dahlan, Nyai Walidah menjadi “manajer” wadah pembinaan perempuan itu.

Karena itu, Mahmudah menekankan, pimpinan dan warga ‘Aisyiyah harus mensyukuri napas panjang dan daya untuk beramal salihah hingga usia dua abad tersebut.

Terkhusus di Sulawesi Selatan, gerakan ‘Aisyiyah di seluruh kabupaten sudah ada bahkan sejak 1968. Kini, kata dia, amanah dari pendahulu dan hasil Muktamar ‘Aisyiyah, terkhusus realisasi Risalah Perempuan Berkemajuan harus terus digiatkan.

Mahmudah mengungkapkan, Risalah Perempuan Berkemajuan menjadi landasan, arah, dan acuan  bagi setiap perempuan untuk membangkitkan potensi dan perannya dalam menjalani kehidupan di berbagai bidang.

“Sehingga terwujud  peradaban maju yang tercerahkan dan berwawasan rahmatan lil-‘alamin,” kata pakar Sosiolingusitik ini.

Risalah Perempuan Berkemajuan mempertegas bahwa dalam Islam, sebagaimana laki-laki, perempuan selaku insan mulia yang diciptakan Tuhan juga berderajat sama dengan  tugas utama menjalankan ibadah dan khalifah di muka bumi.

Ia memaparkan, Risalah Perempuan Berkemajuan memiliki tujuan sebagai acuan dan arah untuk dua lingkup  sasaran.

Pertama, bagi setiap insan perempuan diharapkan menjadi perempuan-perempuan  yang maju dalam menjalani kehidupan sejalan dengan nilai-nilai keagamaan yang bersifat  wasatiyah atau moderat berkemajuan.

Kedua, menjadi acuan dan arah bagi para penggerak  organisasi dalam melakukan penguatan dan pemberdayaan perempuan, serta dalam  pengembangan gerakan perempuan yang berkemajuan.

Tujuan lainnya, jelas Mahmudah, sebagai rujukan yang memuat paham Islam Berkemajuan yang berwawasan wasatiah (moderat, tengahan) tentang perempuan.

Wawasan wasatiah itu baik dalam  gagasan, pemikiran, dan aksi gerakan di tengah-tengah berbagai paham dan aksi gerakan, yang menjadi pemikiran alternatif.

Dalam kesempatan itu, Mahmudah juga menegaskan, kader ‘Aisyiyah harus terus berupaya menghadirkan karakter perempuan berkemajuan dalam dirinya. Karakter tersebut yaitu beriman dan bertakwa, juga  taat beribadah.

“Perempuan berkemajuan yang lurus tauhidnya, tentu akan taat dalam  ibadahnya. Demikian juga karakter selanjutnya, yaitu berakhlak karimah. Akhlak karimah merupakan wujud kesempurnaan iman,” ungkap dia.

Berpkir tajdid juga merupakan karakter perempuan berkemajuan. Ia menejelaskan, berpikir tajdid yaitu mengembalikan akidah dan  ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi saw.  

Sementara itu, untuk bidang muamalah  duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan zaman.

Karakter pasti perempuan berkemajuan lainnya adalah bersikap wasatiah dan beramaliah salihah. Selanjutnya, perempuan berkemajuan juga harus bersikap inklusif.

“Perempuan berkemajuan itu terbuka dengan  siapapun dalam relasi sosial yang majemuk. Perbedaan agama, suku, ras, golongan,  bangsa, ideologi, organisasi, dan pandangan menjadikan dirinya terbuka dalam  bergaul dan bekerjasama, serta tidak membuat dirinya tertutup (ekslusif) atau  menutup diri,” tandas Mahmudah.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply