Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

Kenapa Tidak Muhammadiyah Mengharamkan Pelanggaran Lalu Lintas?

×

Kenapa Tidak Muhammadiyah Mengharamkan Pelanggaran Lalu Lintas?

Share this article

 

KHITTAH.CO, MAKASSAR-Selain agenda sidang tarjih perihal fikih perlindungan anak dan pengelolaan informasi, Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih Muhammadiyah XXX juga menggelar seminar fikih lalu lintas, Rabu, 24 Januari 2018. Seminar tarjih adalah syarat sebuah problematika sebelum menjadI materi dalam sidang  Munas Tarjih.

Pengamat Transportasi Universitas Hasanuddin Makassar, Isran Ramli, mengungkapkan, seharusnya pelanggaran lalu lintas juga difatwakan haram oleh Muhammadiyah. Hal ini karena kerugian atau (mudharat) akibat pelanggaran lalu lintas juga tergolong besar dalam kehidupan masyarakat.

“Jika Muhammadiyah mengharamkan rokok karena mudharat-nya, kenapa tidak Muhammadiyah mengaharamkan pelanggaran lalu lintas. Jadi siapa pun pelaku pelanggaran lalu lintas berdosa, karena efek negatif dari kemacetan, pelanggaran lalu lintas tidak kalah besar dibandingkan rokok,” ungkap Isran.

Berbagai dampak pelanggaran lalu lintas, di antaranya, menurut Isran adalah kecelakaan lalu lintas, pemborosan bahan bakar minyak (BBM), dampak emisi, dampak kebisingan, dan juga dampak biaya kemacetan.

“Dalam sehari kerugian atas pemborosan BBM karena kemacetan sebesar Rp2 Milyar. Maka dari itu, pelanggaran lalu lintas dan kemacetan memang harus ditangani secara serius,” ungkap Isran.

Untuk penyelesaian problematika lalu lintas, Isran menyarankan tiga level dalam penyelesaiannya. Isran menyebut level tersebut yaitu perencanaan sistem, manajemen lalu lintas, dan mengatur infrastruktur dan sarana jalan.

Sementara itu,  Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat (PP) Muhamamdiyah, Prof. Alyasa Abubakar yang menjadi pembicara pendamping, menyampaikan, perumusan fikih berlalu lintas niscaya karena nilai-nilai dasariah fikih yaitu aspek  ilahiah, adil, mengandung kemaslahatan, dan bersifat holistik.

“Terlebih, masyarakat membutuhkan lalu lintas yang aman, lancar, tertib, dan nyaman, juga nilai holistik  mengandung makna bahwa aturan-aturan fikih akan mencakup seluruh aspek kehidupan, yang terdiri atas dua aspek duniawiah dan ukhrawiah (ibadah mahdhah dan ghayr mahdhah),” ungkapnya.

Alyasa juga menjelaskan, fikih lalu lintas juga memungkinkan karena masyarakat muslim tunduk kepada fikih. Fikih secara sederhana, jelas Alayasa,  merupakan peraturan yang meliputi seluruh aspek kehidupan, yang didasarkan kepada Alquran dan hadis secara langsung atau tidak.

“Karena itu, agar kepatuhan umat Islam kepada peraturan lalu lintas menjadi tinggi maka peraturan tersebut mesti diusahakan untuk menjadi bagian dari fikih,” ungkap Alyasa.

Fikih lalu lintas belum menjadi pembahasan imam mazhab dan ulama masa lalu. Karena itu, ia mengaku akan sulit untuk merumuskan fikih lalu lintas ini. Akan tetapi, ia berpendapat, perumusan fikih memungkinkan dengan mengedepankan semangat pembaharuan atau visi fikih lalu lintas itu dirumuskan.

Upaya menggali tuntunan dan petunjuk Al-qur’an dan sunnah untuk melahirkan fiqih lalu lintas, menurut saya tidak akan berhasil sekiranya hanya bergantung kepada kaidah-kaidah kebahasaan. Karena itu  kita mesti berpegang kepada ruh atau semangat pengetahuan ilmiah dan teknologi atau semangat zaman industri kini,” ungkapnya.

Prof. Alyasa mengungkapkan pemerintah juga seharusnya mengambil peran dalam penyusunan fikih lalu lintas. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus menjalankan dan menyosialisasikan fikih lalulintas tersebut.

Perihal hukuman bagi pelaku pelanggaran lalu lintas, Prof. Alyasa berpendapat, hukuman dapat berupa tingkatan tingkatan. Ketiga hokum tersebut yaitu,  pertama, hukuman takzir dalam betuk denda yang diserahkan kepada negara, atau penjara atau yang lainnya.

Hukuman kedua, menurut Alyasa adalah hukuman takzir dalam bentuk ganti rugi atas kerugian materil yang dibayarkan pelaku kepada korban. “Ini jika pelaku melanggar peraturan lalu lintas yang menyebabkan korban menderita kerugian materil,” jelasnya.

Hukuman ketiga adalah hukuman diyat dalam bentuk uang tebusan atau denda darah yang dibayarkan pelaku kepada korban. “Hukuman ini  berlaku jika pelaku melanggar peraturan lalu lintas yang menyebabkan korban mengalami cedera fisik, luka, atau kematian,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua MTT PP Muhammadiyah, Prof. Syamsul Anwar menjelaskan, persoalan lalu lintas yang diseminarkan ini merupakan langkah awal untuk menjadikan fikih lalu lintas sebagai putusan tarjih yang merupakan putusan tertinggi organisasi yang mengikat.

“Ini baru diseminarkan. Harus ada proses dulu sebelum dibawa ke Munas. Proses pertama adalah pengumpulan bahan, untuk mendapatkan bahan-bahan, seperti melalui seminar ini. Dari seminar itu ada penceramah, makalah, dan pendapat-pendapat yang dihimpun dari para ahli,” jelasnya.

Jelas Prof. Syamsul lebih lanjut, proses berikut adalah perumusan naskah akademik yang akan dikaji, diperdebatkan, kemudian dijadikan naskah baru untuk dibahas di Munas Tarjih.

“Jadi ada alur yang mesti dilalui sebelum di munas, tidak serta merta di-Munas-kan begitu saja. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan, fikih lalu lintas ini akan di-Munas-kan pada Munas Tarjih selanjutnya,” tutupnya (Amar).

 

 

 

 

 

 

 

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply