Oleh : Agusliadi*
Tahun 2018 sering diistilahkan tahun politik karena pada tahun ini dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak di 171 wilayah, Provinsi dan Kabupaten/Kota, puncak pesta demokrasi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat tersebut tepatnya tanggal 27 Juni 2018. Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten Bantaeng, salah satu wilayah yang dimaksud.
Terkait Pilkada, ada tema yang menarik meskipun mungkin masih asing oleh sebagian aktor pesta demokrasi tersebut − Penyelenggara, Pemilih dan Peserta Pilkada −: Pilkada dan Kehidupan Inersia. Ini semakin menarik, karena beberapa hari terakhir Polres Bantaeng, Bahkan oleh Polda Sul Sel bekerjasama Pemerintah dan dihadiri oleh Penyelenggara telah mendeklarasikan Pilkada Damai dan Anti Hoax. Itu, bukan satu –satunya alasan penulisan dan pemilihan tema tersebut, karena dalam tulisan ini, konstruksi media, marketing politik, kausalitas hoax terurai sebagai sesuatu entitas signifikan dalam pilkada pada era informasi sekarang ini.
Sebagaimana uraian Yasraf Amir Piliang dalam buku Dunia yang Dilipat (2011), saya menyimpulkan bahwa era pasca industri, ruang dan waktu kini telah ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik. Era informasi atau era digital adalah sebuah keniscayaan dan satu hal yang membawa dampak positif dan negatif, karena telah melakukan tranformasi kehidupan dari kehidupan ekspansif ke kehidupan inersia. Kehidupan yang bagaikan sistem orbit, dengan titik gravitasinya dikitari oleh berbagai benda angkasa (Yasraf, 2011:84). Kehidupan kita dikelilingi berbagai image, tontonan, berita, dll). Virilio menyebutnya masyarakat diam dan Guy Debord menyebutnya masyarakat tontonan (Yasraf, 2011). Dalam konteks Pilkada di era kehidupan inersia ini, seorang kandidat, tim kampanye maupun konsultan politik bisa melakukan kampanye secara massif hanya dengan berada dalam ruang kecil dan sederhana. Begitupun sebaliknya masyarakat, calon pemilih bisa membaca sepak terjang, rekam jejak, manuver – manuver politik para kontestan di meja makan sekalipun.
Dalam kehidupan inersia ini, potensi hoax memiliki ruang produksi dan reproduksi. Hal itu terjadi karena para pembaca informasi − sebagaimana dijelaskan di atas telah mengalami transformasi meninggalkan kehidupan ekspansif − tidak lagi melakukan konfirmasi dan klarifikasi setiap mendapatkan berita dan informasi dari perangkat teknologi dunia virtual.
Terutama di media sosial, salah satunya facebook, saling menyerang kandidat oleh masing – masing pendukung adalah salah satu hal yang telah terjadi secara massif hari ini. Pemujaan kepada calon tertentu, penghinaan dan fitnah bisa berpotensi hoax dan menjadi antitesa dari Pilkada Damai yang menjadi harapan terutama oleh penyelenggara.
Calon yang dipuja maupun calon yang dihina/difitnah, kedua – duanya berpotensi memiliki unsur hoax, karena pada dasarnya sebagian diantara para pemuja dan penghina hanya berdasar pada informasi yang berseliwerang di media sosial, tidak melakukan ekspansif, tidak mengkonfirmasi dan mengklarifikasi terlebih dahulu sesuai fakta yang sebenarnya.
Michael Bauman dalam Burhanuddin Muhtadi (2013:15) ada fenomena yang disebut telepolitics, yakni bergesernya peran partai dan munculnya dominasi media dalam memersuasi pemilih. Media terutama media sosial hari ini, mampu menyelinap ke dalam ruang domestik keluarga membangun relasi yang bersifat impersonal. “Kebohongan sekalipun jika dikonstruksi secara terus menerus melalui media, bisa dinilai sebagai sebuah kebenaran”, ini salah satu konsekuensi logis dan negatif dari kehidupan inersia. Apalagi sebagaimana oleh kalangan televisi menyebutnya the illusion of presence, kamera bisa mengonstruksi citra menjadi realitas.
Tak sedikit para kandidat, tim kampanye maupun konsultan politik yang memanfaatkan untuk membangun sebuah marketing politik berbasis media informasi. Bahkan sebagaimana dijelaskan secara detail oleh Anwar Abugaza dalam buku karyanya Social Media Politica (2013), kemenangan spektakuler Barack Obama itu bagian dari peran dan “perang” melalui media sosial, media informasi. Tanpa kecuali kemenangan Jokowi bagian daripada kemenangan tim dan konsultan politiknya mengkonstruk dirinya melalui media sosial, media informasi. Dan tentunya, ini karena kita telah bertransformasi ke kehidupan inersia, citra adalah segalanya bahkan citra telah menjadi realitas itu sendiri.
Untuk konteks Sulawesi Selatan dan Kab.Bantaeng, apakah kehidupan inersia ini bisa dimanfaatkan secara efektif dan efesien oleh kandidat dalam Konstelasi dan Kontestasi Pilkada. Menurut saya itu sangat tergantung oleh geopolitik, berapa besar persentase pemilih menggunakan media sosial dan seberapa massif para kandidat membangun citra diri sesuai harapan masyarakat.
*)Penulis adalah ketua Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Bantaeng