Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiNasionalOpini

Ramadhanologi (1) Aku dan Sang Lain

×

Ramadhanologi (1) Aku dan Sang Lain

Share this article

Oleh : Ermansyah R. Hindi

Sekretaris PD Muhammadiyah Turatea Jeneponto

KHITTAH.CO- Salah satu pengetahuan kita paling penting dalam Puasa Ramadhan adalah pembebasan al-hawa al-nafs: hawa nafsu (keinginan diri sendiri) menjadi bagian dari arus produksi energi kehidupan. Tetapi, “Aku” dengan rahasianya sendiri dan hawa nafsu dengan kebenarannya sendiri yang terjalin kelindang dan saling menetralisir dalam kehidupan dan pengetahuan. Dalam pengetahuan dan relasi-relasi diskursus yang membentuknya telah meletakkan kekuatan khas dari “Aku (I, Anā) sebagai sesuatu yang Plural” dengan jejaring metamorfosis dan kemiripan: “Aku adalah binatang”, “Aku adalah kegelapan di siang teriknya moral”, ”Aku adalah Mesin”, ”Aku adalah Teroris”, “Aku adalah manusia religius”, “Aku adalah Keselamatan”, “Aku adalah bahasamu”, “Aku adalah logikamu”, ”Aku Cartesian”, “Aku Marxian”, ”Aku Nietzschean”, “Aku adalah gurun pasir yang nyata” dan sebagainya.

Sisi imajiner dan simbolik dibangun kedalam “Aku”. Anak-anak di tempat lain berkata: “Aku ingin seperti Ayahku”, “Aku memiliki sentuhan kasih sayang Ibuku”, “Aku ingin menjadi Anak Saleh”, “Aku ingin orang Kaya menolong orang Miskin”. Menurut Martin Heidegger: “… Dasein secara eksplisit mengalamatkan dirinya sebagai Aku di sini …” (Being and Time, New York, 1962, hlm. 155). “Aku” menghimpun dirinya sebagai ‘subyek ungkapan’ dan ‘subyek ucapan’ (dirinya sendiri dan sosial) yang terlempar kedalam alienasi subyek. Subyek ditempatkan dalam tatanan simbolik dan peran sosialnya (Ayah, Ibu dan Anak) yang secara menyeluruh dan bertahap terbangun dalam “Aku disini”. Dalam Dasein-“Aku disini”, akhirnya melawan dunia luar yang mengkarakteristikannya dan melawan realitas kesadarannya sendiri.

Tetapi, “Aku” membawa dunia kedalam permainan, yaitu ilusi eksistensial dan imanen (tetap ada) dari apa yang disebut sebagai dunia yang ‘Ada’. Ego-Cartesian menggambarkan, bahwa “Aku adalah binatang, maka Aku ada”, “Aku adalah mesin, maka Aku ada”. “Aku” mampu memikirkannya sebagai sesuatu yang masih dapat “diorbitkan keluar” seakan-akan dianggap dari dunia lain menjadi sebuah ilusi belaka (seperti orang yang menyenangi bedah plastik atau keterpenuhan akan perias wajah dari tubuh asli yang mengilusikan, tetapi nyata). “Aku” mempertimbangkan sesuatu yang mampu menjadi peredaran yang mengherankan, yaitu penemuan dunia nyata lain yang berbeda dengan “dunia Aku”, dimana dunia Akupun suatu hari nanti juga akan ditemukan.

Obyektivitas dunia yang bukan lagi “Ada didalam Dunia” telah lama ditemukan dan dilupakan sejenak. Namun demikian, apa yang sudah ditemukan tidak akan pernah diciptakan lagi. Itulah caranya “Aku disini” ditemukan dan masih diciptakan dalam kurun waktu kelahirannya yang tidak diharapkan. Mengapa tidak bisa ada “sang Aku” yang nyata dimana jumlahnya sebanyak “sang Lain”? Mengapa “Aku” tidak bisa eksis di tangan “sang Lain”? Mengapa hanya ada satu dunia nyata? “Aku” tidak mengungkapkan dan tidak bisa pula dipikirkan, kecuali mungkin seperti menjadi sel kanker yang membahayakan. “Aku” harus menyingkir darinya, mirip asap terbang jauh melewati batas-batasnya.

Tidak hanya mirip gambar, tidak hanya “Aku” dapat mengimajinasikan dan menyimbolkan yang nyata, melainkan juga memertajam gambar yang hampir hilang dari “Ada didalam Dunia”, menjalin dan memperedarkan yang lain. Karena itu, “Aku” sendiri adalah yang nyata. “Aku” tidak dapat mengimpikan realitas selama ia masih berada dalam realitas kesadaran. Seluruh fenomenologi-ontologi tersapu oleh badai eksistensi transendentalnya, terbalik dari keadaan dimana subyek bukan lagi sebagai pemilik realitas dan gambarannya. Sebagaimana “Aku” adalah cermin yang memantulkan sesuatu padamu, “pantulanmu datang dariku, tanpa bayangan apa-apa”. Setelah terjadi ketidakhadiran subyek/pusat/nalar, obyeklah yang membiaskan subyek dan menemukan titik kehadiran “Aku” sebagai sesuatu “yang berbeda” dengan bentuk penampilan luar. Ia bukan lagi “sang Lain”. “Aku” berada diantara subyek dan obyek. Kekuatan obyeklah yang semakin memperjelas posisi “Aku” sekaligus mengingatkan kita akan adanya subyek yang terselubung bahkan sebuah topeng filsuf nyata dari wujud virtual. Sementara, “Aku yang palsu” tidak lebih sebagai korban persembahan dari “mitos ego-otentik” didalam dunia.

Seseorang mendatangi sebuah cermin asli dan melihat dirinya seperti “apa adanya”, bukan “ada apa-apanya”. “Aku” yang mewaktu telah keluar dari garis orbit subyeknya, terlepas dari lingkaran realitas kesadarannya yang terombang-ambing dengan cara meletakkan obyek murni diluar “Aku” yang nyata. Sejauh ini, ego-otentik menjadi tempat berkembang-biaknya segala sesuatu daur ulang dan kedalaman yang kosong: kesadaran, moral dan gairah beragama ditengah ritual kematian makna dari realitas. Di cakrawala yang mulai tenggelam dalam realitas, kita bukan hanya tidak melihat “sang Lain” (tanda-tanda Ilahi), tetapi juga melihat diri kita sendiri menghilang dari sudut pandang eksistensialnya, yaitu eksistensi manusia sebagai sosok misterius sekaligus sosok meragukan. Kita muncul dan menghilang kedalam “yang sama dengan obyek nyatanya” (ketidakhadiran tanda kesejahteraan, persaudaraan atau kasih sayang). Bukan obyek dari yang subyek, tetapi dari subyek yang bukan subyek, dan dari obyek yang bukan obyek.

Sudut pandang tentang “Aku apa adanya” nampak pada pantulan wajahku dari “Aku” itu sendiri, tanpa cermin apalagi tanpa bayangan justeru merupakan bagian yang paling rahasia, dapat eksis untuk “sang Lain”. “Aku” tidak eksis, kecuali segalanya adalah tiruan datang dari “sang Lain” (bersedekah, menolong, mencintai, membenci, berkuasa, bertahta, mendamaikan, atau mengetahui). “Aku sendiri” mengungkapkan dirinya melalui “Aku disini”, kecuali sekecil apapun rahasiaku telah menghilang, tidak terlacak atau tidak tergambar hingga ditelan waktu lebih cepat melesat meninggalkan kita dibanding tiruan yang bukan datang dari “sang Lain”. Sebaliknya, “Aku” mampu membayangkan dunia yang sama dari “sang Lain”. “Aku” memiliki kartu identitas dari “sang Lain” juga memiliki memiliki rahasia “Aku”.

Selanjutnya, “Aku” tidak lagi sebagai subyek (meskipun dibantah oleh Martin Heidegger); ia tidak lagi bercumbu dan mengendalikan obyek. “Aku” sebagai takdir yang mengendalikan, menyatukan dan memisahkan subyek-obyek hingga tidak lagi jarak diantara keduanya. “Aku sendiri”  menitis dan mentransformasikan secara bolak-balik dan imanen sejajar dengan “sang Lain” di Bumi, bukan di Langit (kecuali Langit artifisial). “Aku” maju ketengah medan perjuangan untuk menghubungkan jurang terjal antara realitas dan eksistensi, subyek dan obyek hingga tidak ada lagi celah, retakan, dan jarak diantara keduanya. Diri-”sang Lain” bukan lagi sebagai bagian dari jurang kenikmatan bagi “Aku”, tetapi kemiripan yang tidak memusat dari “Aku sendiri” yang bertugas bukan untuk mencairkan “es balok” ego-Cartesian atau ego-Transendental, melainkan untuk menengadahkan kepala kita dalam melihat secara terbuka atas keragaman dan heterogenitas tanda kehidupan.

Sampai pada akhirnya, kita akan berada pada sebuah kurva yang terputus-putus dalam pengetahuan dan sejarah itu sendiri mengenai keintiman antara “Aku” dan “sang Lain”. Kartu identitas keduanya telah memalsukan rahasianya. Dapat dikatakan, kita masih melihat suatu ilusi ganda yang tertulis atau tergambarkan yang ditandai dengan “sang Lain” adalah “Aku” yang ditopengkan dalam realitas kesadarannya.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UNISMUH MAKASSAR

Leave a Reply