Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiNasionalOpini

Pikiran dan Sinema: Catatan Untuk Film G30S/PKI (3)

×

Pikiran dan Sinema: Catatan Untuk Film G30S/PKI (3)

Share this article

Pikiran dan Sinema (Bag. 3)

Catatan Untuk Film G30S/PKI

Oleh: Ermansyah R. Hindi*)

*) ASN pada BAPPEDA Kabupaten Jeneponto/ Sekretaris PD Muhammadiyah Jeneponto

Tubuh tergolek kaku, darah muncrat, sakit tidak tertahankan, bukan peluru bersarang di dadanya, tetapi tatapan yang tajam direkam oleh mata dengan mata, saksi dengan saksi. Mata sinema mengakhiri lensa kamera setelah dijejaki, dimuati, dimistifikasi, dan dibingkai untuk menguras dan merangsang mimpi dari orang-orang yang sedang tidur  di sekitar kata benda. Sinema, akhirnya menjebloskan dirinya kedalam mistifikasi yang tidak terelakkan. Lensa kamera membungkam sesaat akan aura kekerasan atau kengerian (pikiran): nyata dan imajiner didalam sinema.

Mereka masih tertahan diantara ketidaksadaran yang ditanamkan melalui sinema setelah pikiran dan citra menyatu dan bahkan menukarkan satu dengan yang lainnya. Bentuk pergerakan dari pikiran ke citra atau sebaliknya memasuki sirkuit bagaikan “mesin mistik”, yaitu benda-benda tidak terlihat bekerja menurut urutan untuk memainkan permainan begitu leluasa bergerak antara pengarang dan penonton. Sirkuit lengkap melekat di dalam sel-sel sinema yang bernama pikiran menerobos citra.

Kejutan memberi kita suatu pikiran bekerja secara otomatis; pergerakan citra dari sinema menampilkan gambar hidup sekaligus kosong. Setelah itu, pikiran dari sinema seakan-akan melintasi gambar hidup dan kosong. Pikiran yang tidak terpikirkan bukan dari kelupaan atau hilang ingatan, melainkan ‘kepenuhan bahasa mesin mistik’ yang bekerja didalam sirkuit setelah keluar dari kejutan sensorial akibat dinetralisir dengan mesin ketidaksadaran melalui sinema. Pergerakan citra otomatis dibalik sinema tidak lebih sebagai celah terhadap perubahan urutan, suara, gaduh atau senyap, dan musik sebagai aparatur mesin mistik yang bekerja sejalan dengan mitos tentang ‘nomadisasi pikiran’ tanpa bergerak berpindah-pindah.

Kita masih saja mengatakan seluruh pergerakan citra, bahwa melalui kelupaan dan kekosongan dari ancaman bayangan benda-benda atau kata-kata yang tidak terpikirkan, suatu diskursus tentang sinema menjadi satu analisis agar bangkit dari prasangka akan strategi pergerakan rahasia kenikmatan untuk membunuh kebenaran. Sinema tidak memiliki adegan dan naskah yang harus diungkapkan demikian detail, melainkan bagian-bagian yang terpisah dari keseluruhan yang tidak dapat dipikirkan mengenai peristiwa untuk disatukan kembali melalui arsip atau saksi hidup. Dari sini, kita akan mendengarkan suara sumbang dari analisis film dengan tema yang dirancang untuk membangkitkan kembali ingatan atau pikiran yang terisolasi.

Dari keterbukaan media yang ditandai penayangan ulang di depan umum, sinema (jika film G30S/PKI diidentifikasi sebagai sinema) menghadapi teka-teki yang muncul bukan dari pikiran, tetapi dari kelahiran kuasa-sinema, pengulangan kenikmatan dan kegilaan yang tertunda. Kita masih bermimpi akan pernyataan-pernyataan yang berulang-ulang mengenai film sejarah kelam dinyatakan telah lulus dari sensor tetap masih dibumbui adegan menegangkan, tetapi ia memiliki selera humor yang tinggi akibat kuasa negara menjalankan strategi perekayasaan atau masa jedah serta strategi pencairan ketegangan antar fakta, antar arsip dan catatan yang mendukungnya ada justeru tidak memiliki keseluruhan dari jalannya kisah yang sebenarnya. Menit pertama dan menit terakhir dari sekian durasi tidak membutuhkan resensi film dan komentar miring, kecuali sinema tidak bersentuhan lagi dengan keseluruhan lapisan luar otak.

Kegagalan ramalan masa depan kebenaran terjadi di saat ilusi yang melekat padanya tidak menjadi keseluruhan dari analisis dan penilaian obyektif mengenai film yang keluar dari hukum dialektika sintesis atas peristiwa yang telah dan akan membayang-bayanginya. Kengerian dan kebiadaban tidak menjadi bayangan gelap bagi pikiran, karena sinema yang mengantarkan pada pintu gerbang yang terakhir dari sebuah bangunan-sejarah pengetahuan. Hal lain yang perlu diurutkan, dimana kengerian dan kebiadaban tidak diterlantarkan dalam sinema sesuai dengan tugas dari pengetahuan untuk menyusun pergerakan citra dan pikiran menjadi pertumbuhan yang kacau.

Sudah sekian masa kelahiran pikiran diiringi kekerasan atau kengerian berada dalam masyarakat, dalam kewajiban untuk memenuhi hak-hak orang-orang yang mengidap sakit mental, misalnya neuorosis dan skizofrenia. Pembunuhan sinema, kengerian dan kekerasan konsep ditunjukkan melalui tubuh yang dijilati pikiran menjadi syarat bagi kebenaran. Kini, pikiran yang otomatis tidak menarik kembali apa-apa yang perlu untuk menjilati tubuh lain yang tertukar, yaitu ilusi ideologi setelah terbeli dengan kebinatangan. Berpikir (cogito) dan pikiran dari orang-orang sudah tidak khayal melihat dirinya berbeda dengan kebinatangan. Cogito dan kebinatangan atau kelahiran kegilaan begitu heran dilihat jejak-jejaknya melalui citra sinematografis dengan rangkaian catatan, saksi-saksi langsung, teks-teks tertulis atau arsip, dan dokumen tidak harus bertemu dengan pikiran yang tersinemasasi-tersibernitisasi. Mungkin, relasi antara manusia dan dunia, orang-orang belajar untuk menafsirkan kembali kebiadaban dan keadaban yang didukung dengan kekosongan dan ketidakhadiran gambar-gambar tanpa melalui sinema sebagai citra yang cair dan berubah-ubah.

Pikiran dipengaruhi oleh sinema sejauh karya tulis mengalami titik kekosongan relasi antara novelis, sineas atau penulis dengan pembaca atau penonton yang tidak setia lagi pada teknik pembeberan yang tidak obyektif. Relasi yang sama juga ditemukan dalam karya-karya ilmiah dari ahli sejarah memiliki waktu tayang atas kisah nyata menjadi tapal batas antara orang-orang yang terjaga dan tertidur di atas kursi diuapi insomnia pikiran. Sebaliknya, rangkaian ‘tidur pikiran’ dan ‘beristirahatnya filsafat’ membebani ahli sejarah tatkala muncul kembali pikiran tidak dapat diulang tanpa direfleksikan untuk mengungkapkan apa sebenarnya terjadi.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply