Oleh: Ermansyah R. Hindi*)
*) ASN Bappeda Kabupaten Jeneponto/ Sekretaris PD Muhammadiyah Turatea Jeneponto
Kesenangan terhadap sesuatu yang kasat mata, misalnya ragam busana atau perhiasan tidak menghilang atau tertunda dalam hiperealitas, melainkan ia diperbarui dengan kesenangan lainnya (menulis, menyanyi bertema kritik sosial, dan sebagainya). Segalanya tidak berarti bagi kesenangan sepanjang masih berada dalam dimensi estetis, psikis dan bahkan mekanis, kecuali bersatunya sesuatu dalam kesenangan, yaitu unidimensional kesenangan. Tanda merupakan jalan keluar sekaligus perangkap dari kemelut ini, terlepas ia akan musnah atau mati. Sebagai akibat tubuh-produksi ekonomi menjadi beban berat yang dipikulnya sendiri, akhirnya produksi berlebihan (eksploitasi atas alam, tenaga kerja, atau Dunia Ketiga) bukan hanya lenyap seiring lenyapnya kekuatan universalitas kesenangan, tetapi juga hilangnya makna kehidupan. Produksi ekonomi yang berlebihan terutama di negara-negara industri kapitalis maju bukanlah suatu kekuatan paling bertanggungjawab hilangnya makna atau lenyapnya realitas yang residunya semakian membesar melanda negara-negara berkembang (termasuk Indonesia). Tetapi, setiap produksi yang melimpah ruah yang memancar dibalik unikosmik kesenangan. Saat ini, bentuk ekonomi politik bergerak dari ilusi pesona menjadi ‘mitos pertumbuhan ekonomi’ melalui Produk Domestik Bruto (PDB) memainkan suatu permainan pasar, mata uang, harga, distribusi pendapatan, suku bunga, dan cadangan devisa berjalan hingga dilahap oleh logika konsumsi melalui alur pertukaran tanda yang bersifat abstrak mulai menemukan ruang pergerakannya. Suatu cara dan relasi produksi yang telah digantikan dengan sesuatu yang bukan diri kita yang tidak nampak lemah sebagai obyek-obyek dikonsumsi itulah menjadi sumber kekuatan sekaligus penghancur tanda (sakral).
Di sekitar kita, tidak ada lagi suatu tanda yang disimulasi, melainkan proses kelahiran dan kematian (nilai) tanda yang berulang, silih berganti melalui suatu (mesin) takdir. Misalnya, berbelanja tidak melawan konsumsi, melainkan diradiasikan (batal, tunda dan terbujuk untuk berbelanja sesuatu). Akhirnya, hiperealitas kesenangan mengandung radiasi. Setiap radiasi tidak membuat orang cacat, tertular virus atau tewas, tetapi ia lebih terpaku dan terpikat dibuatnya. Dalam keseluruhan yang terbagi-bagi bersama pertukaran tanda, tidak ada jagat raya paralel (mengambangnya teori sesuai mengambangnya uang virtual) dan kita kembali pada “ketidakhadiran subyek-nalar”, yaitu kehingarbingaran komoditas-pasar-tubuh yang terkontaminasi oleh dirinya sendiri muncul di saat tidak ada lagi wabah virus menjadi ‘akhir tontonan keserakahan’. Hal ini, semakin kita ke puncak kemakmuran ekonomi material, semakin kita menemukan diri kita terjatuh dalam kehampaan.
Pada masa produksi ekonomi melimpah ruah dengan tingkat pertumbuhan yang stabil diiringi dengan penurunan angka kemiskinan dan pengangguran yang tercapai dalam kurun waktu yang lama akan membuat citra yang meradikalkan ketularan dan kecanduan akan kekayaan yang dimiliki oleh segelintir orang yang ditopang dengan pergerakan konsumsi menempatkan kenikmatan yang tidak terkendali justeru membuat orang-orang miskin terlempar kedalam dunia nyata. Mungkin, konsumsi adalah sejenis logika pertumbuhan kesenangan atau kecanduan nyata. “Saat bermimpi, anda memasukkanku dalam keanehan dunia diserap olehmu ‘sang gurun pasir nyata’: digital, virtual, dan internet”. Metamorfosis mimpi dibantu oleh citra. Mimpi menjadi citra melalui citra virtual tanpa layar, tanpa teater dan tanpa lelucon. Anda ditawarkan menjadi mabuk kepayang sampai gila. Pemujaan atas konsumsi sebagai ritualisasi. Ekonomi-hasrat akhirnya tidak lagi menjadi titik kecabulan yang menggoda.
Melalui citra kekayaan alam atau negara, dunia dapat dilihat dan menghilang kembali dalam realitas. Tidak ada mimpi dan tidak pula suara dalam kesesaatan yang menyertainya, di tengah gurun pasir yang nyata tanpa fatamorgana. Segalanya berupa esensi kesenyapan. Kita akan bingung sekaligus tidak ada ambiguitas. Dimanakah kita gerangan? Kesenyapan massa ataukah akhir dari ekonomi? Kesenyapan citra ataukah akhir dari layar? Kesenyapan gurun pasir ataukah akhir dari metafora-pasar? Kita menunggu peristiwa untuk menyingkap misteri yang menyelimutinya dan menghentak secara tiba-tiba untuk menghentikan arus pertukaran dan peredaran. Citra tanpa lensa, panggung tanpa kamera, ilusi tanpa bayangan realitas bergerak dari ekonomi politik ke ‘ekonomi libido’. Kesenangan yang berpindah dan bertukar tempat nampak dalam dunia nyata terjalin sebuah “tarian retorik”: “Saya memiliki tanda, anda memiliki halusinasi atau sebaliknya”. Pembentukan kecanduan dan kesenangan terhadap sesuatu tanpa batas melampaui mekanisme (ekonomi-pasar). Hilangnya dunia nyata terjadi disaat tidak ada lagi kecanduan dan kesenangan, melainkan kelimpahruahan dan penumpukan obyek yang dikonsumsi. Setiap kali ilusi, citra, dan simulasi ekonomi di sekitar kita membawa korban, di sana pula kesenangan terjatuh dalam kelimpahruahan dan penumpukan ampas dari obyek-obyek yang dipuja oleh massa-konsumsi sejalan uang yang mengambang bebas.
Namun demikian, konsumsi bukanlah masalah kebutuhan, tetapi kesenangan terhadap yang nyata dan kasat mata. Kesenangan mengkonsumsi dari seseorang tidak dibentuk oleh proposisi, metode dan nilai, melainkan energi massa yang mengakhiri teori. Setelah relasi kesenangan dan teori berakhir, makna tidak dapat lagi berada dalam kehidupan, kecuali diluapi oleh konsumsi massa tatkala kesenangan semakin nyata sebagai proses kenampakan sekaligus kelenyapan. Setiap pertukaran dan takdir muncul, tempat dimana dilahirkannya peristiwa kesenangan, disanalah kelenyapan dunia nyata diuji. Dari kelenyapan ke titik akhir adegan, teater dan birahi-konsumsi. Kelenyapan merupakan cara terbaik yang mesti ditempuh sebagai bagian dari peristiwa ekonomi yang erotis dan ironis. Tidak ada jalan lain, kecuali penghancuran kebenaran yang ditampilkan oleh realitas. Dalam masa tertentu, ekonomi kita berubah dari perikemanusiaan menjadi perbudakan ekonomi, yaitu ekonomi jongos atau ekonomi utang. Teori ekonomi nampaknya mengalami krisis demi krisis hingga kegagalam untuk menyelamatkan nestapa manusia dengan mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan universal di tengah hegemoni dunia.