Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Muhammadiyah dan Rekonstruksi Mental Entrepreneurship

×

Muhammadiyah dan Rekonstruksi Mental Entrepreneurship

Share this article

masmulyadi

Oleh: Masmulyadi

Wakil Sekretaris MPM PP Muhammadiyah (2008-2015), Alumni UGM dan pendiri Logos Consulting

Secara historis, Muhammadiyah lahir tahun 1912 di Kauman, Yogyakarta. Sebuah kampung di sisi barat alun-alun, berdekatan dengan Masjid Gede yang sekaligus menjadi tempat bermukimnya, KH Ahmad Dahlan.

Masyarakat Kauman disamping bekerja sebagai abdi dalem (pegawai keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat) juga menjadi pedagang batik. Termasuk yang dilakoni oleh Ketib Amin, KH Ahmad Dahlan. Di samping sebagai Ketib yang bekerja sebagai pegawai agama di keraton, Dahlan adalah seorang pengusaha dan pedagang batik yang mempunyai pemasaran hingga ke luar kota Yogyakarta seperti Medan, Surabaya, Semarang, Jakarta dan sejumlah kota-kota lainnya (Salam: 1968).

Demikian halnya, perkembangan Muhammadiyah dari Kauman ke wilayah-wilayah lainnya di Jawa dan luar Jawa tidak bisa dilepaskan dari jalur tabligh dan perdagangan. Sebut saja Laweyan (Solo), Pekajangan (Pekalongan), Kotagede (Yogyakarta), Padang (Sumatera), Ponorogo, Tasikmalaya dan Cirebon adalah kota-kota dagang yang sekaligus jadi basis Muhammadiyah.

Tabligh dan perdagangan adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dari kegiatan para aktivis Muhammadiyah awal. Tercatat pada 1916, komposisi keanggotaan Muhammadiyah lebih didominasi oleh para saudagar yang jumlahnya mencapai 47 persen, urutan kedua adalah pegawai atau pamong praja 18,1 persen, diikuti oleh ulama 10,7 persen, kaum buruh 8,7 persen dan kalangan wartawan 0,7 persen (Anhar, 2015).

***

Sengaja penulis mengetengahkan data diatas dengan maksud memberi penekanan bahwa pada masa-masa awal, Persyarikatan ini banyak digerakkan oleh para entrepreneur. Meski pun seiring waktu yang berjalan terjadi perubahan basis sosial warga Muhammadiyah yang dulunya entrepreneur ke pegawai negeri. Studi Cides yang dipublikasikan pada Muktamar Muhammadiyah ke 40 di Solo menunjukkan bahwa 45 persen pengurus Muhammadiyah adalah pegawai negeri.

Perubahan tersebut berdampak pada perubahan karakter para aktivis Persyarikatan. Dari karakter entrepreneur yang terbuka, lentur dan adaptif menjadi karakter pegawai yang cenderung lebih birokratik, kaku dan berpijak pada petunjuk pelaksanaan dari struktur diatasnya. Tentu juga pada gilirannya mempengaruhi cara pengelolaan organisasi.

Pertanyaan besarnya adalah bagaimana merekonstruksi mental entrepreneurship yang menjadi penopang bagi perkembangan Muhammadiyah awal? Ini penting dalam konteks membangun kemandirian lembaga.

Rekonstruksi ini tentu tidak dalam kerangka set back ke masa lampau, tetapi mencoba mengambil semangat, motivasi dan bangunan berfikir para aktivis Muhammadiyah assabiqunal awwalun ini. Pekerjaan yang tidak mudah bukan? Apalagi merubah struktur dan mindset yang sudah tumbuh bertahun-tahun, mengakar dan bahkan telah menjadi paradigm tertentu.

Lalu apa yang dibutuhkan untuk merekonstruksi mental entrepreneur. Pertama, transformasi internal melalui perluasan doktrin ekonomi al-Ma’un. Selama ini doktrin ini dimaknai dalam pengertian yang terbatas pada aspek karitas. Yaitu memberikan bantuan zakat, infaq dan sebagainya dalam bentuk yang minimalis. Menampung anak yatim melalui rumah-rumah yatim (panti asuhan). Pendekatan ini tidak salah, hanya saja sudah perlu dikembangkan lebih jauh untuk mendorong tumbuhnya mentalitas entrepreneur. Model-model filantropi haruslah didorong pada aspek yang sifatnya pemberdayaan baik pada dimensi ekonomi dan sosial (material dan spiritual). Dengan demikian rumah-rumah yatim yang dikelola Muhammadiyah dapat melahirkan anak-anak yang mandiri memiliki sikap mental entrepreneur untuk bisa menegakkan prinsip-prinsip tangan diatas yang jauh lebih mulia. Apa yang dirintis oleh LazisMu melalui Young Entrepreneur’snya dan Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah melalui pendampingan UMKM-nya patut diapresiasi sebagai role model bagi Muhammadiyah secara massif.

Perluasan doktrin ini untuk membangun sebuah paham dalam Muhammadiyah bagaimana pentingnya entrepreneur. Dengan demikian tersedia instrumen ideologi pagi pelembagaan sikap mental ini.

Kedua, transformasi etos gerakan ekonomi untuk menumbuhkan budaya entrepreneur. Setelah perluasan makna doktrin al-Ma’un melalui proses internalisasi doktrin al-Ma’un maka berikutnya yaitu bagaimana mentransformasikan kedalam budaya organisasi. Tentu tidak ada jalan lain bagi Muhammadiyah melakukan pekerjaan ini kecuali melalui jalur perkaderan formal (Baitul Arqam) termasuk juga organisasi otonomnya. Juga melalui pelembagaan di sekolah dan kampus Muhammadiyah.

Ketiga, menfasilitasi anggota melalui beragam pendekatan untuk mendorong lahirnya generasi baru entrepreneur Muhammadiyah. Salah satu model yang menarik adalah syarikat pedagang batik Muhammadiyah di Pekajangan. Melalui wadah koperasi yang dibentuk, para pedagang batik ini mengorganisir diri. Saling membantu permodalan baik melalui koperasi maupun Baitul Tanwil Muhammadiyah (ta’awun). Disamping itu, mereka juga mengkader pengusaha-pengusaha pemula untuk bisa berkembang.

Melalui Perguruan Tinggi yang dimiliki, Muhammadiyah dapat mengembangkan incubator bisnis. Demikian halnya dengan dukungan permodalan yang dapat disupport dari BTM atau lembaga finansial atau filantropi yang dimiliki oleh Persyarikatan. Sinergi ini bisa mendorong lahirnya kembali generasi entrepreneur ini.

***

Pada akhirnya membangun mental entrepreneur merupakan kebutuhan yang penting bagi Muhammadiyah untuk melahirkan generasi baru pengusaha muslim. Tentu melalui proses pelembagaan baik pada dimensi doktrinnya maupun pada dimensi praksis yaitu melalui dukungan permodalan dan fasilitasi lainnya. Dengan demikian diharapkan tumbuh kerjasama yang saling menguntungkan baik antara anggota maupun antara anggota dan Muhammadiyah secara organisatoris. Dengan demikian, pada akhirnya memberi nilai tambah kepada organisasi dan juga kepada anggota.

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply