Oleh : Arifudin
(Mahasiswa Pascasarjana UHAMKA)
Dahulu (first) pada tahun 1999, Negara Republik Indonesia (NKRI) telah memulai suatu proses elektoralnya secara terbuka (open). Pada tahun 2019 yang dimana kita mengadakan Pemilihan Umum pada tanggal 17 April ini merupakan pemilihan kelima dalam sejarah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Hal merupakan kabar terbaik bagi kita sebagai warga Negara Indonesia dalam hal berdemokrasi di negeri kita ini.
Meskipun kita menyaksikan secara saksama putaran demi putaran dalam pemilihan tersebut tapi kita, telah berlangsung cukup lama, penulis bukan dan tidak menyisakan cacat. Sebaliknya, saya justru meninggalkan banyak celah yang, sayangnya acapkali di susupi kepentingan segelintir kelompok tertentu untuk memperkaya diri dan golongannya (group).
Beberapa bulan yang lalu, muncul fenomena tak di sangka-sangka yang dimana “Jaringan Aktivis Anti Tambang” (JATAM) merilis informasi tentang pebisnis tambang yang berdiri dalam lingkaran masing-masing Capres-Cawapres. Baik pasangan Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi, keduanya dilingkari pebisnis-pebisnis tambang besar di Indonesia.
Dan bahkan ada banyak nama-nama yang muncul. Di pihak Jokowi-Ma’ruf, seperti Luhut Binsar Panjaitan, Fachrur Razi, Suaidi Marasabessy, Surya Paloh, Wahyu Sakti Trenggono, Oesman Sapta Oedang, Harry Tanosoedibjo, Jusuf Kalla, dan beberapa lainnya. Sedangkan di lingkaran pasangan Prabowo-Sandi, keduanya juga ada aktor yang masing-masingNya memiliki tambang. Selain Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), Sudirman Said, Hashim Djojohadikusumo, dan Zulkifli Hasan. Aktor-aktor ini merupakan organ kunci penyedia dana kampanye bagi kedua Pasangan Calon melalui praktek-praktek ijon politikNya.
Penulis meminjam istilah Jeffrey Winters (2011), dalam khazanah perpolitikan mengatakan, aktor-aktor kepentingan demikian seringkali disematkan sebagai “Oligarki”. SederhanaNya, mereka yang memiliki sumber daya kekuasaan (SDK) tertentu, khususnya ekonomi. Dengan sumber daya ini, mereka (oligarki) ini dapat dengan mudah meraih kursi dan duduk dalam jajaran struktural kekuasaan (power) di sebuah negara.
Bilapun tidak duduk secara langsung, tetapi oligarki-oligarki ini akan dapat mempengaruhi atau bahkan mengendalikan negara dan aparaturnya sebagai pemilik otoritas tertinggi (highest authority) suatu teritori, dari belakang layar. Dalam Upaya pemanfaatan, persekongkolan bahkan pengendalian atas negara ini, dapat dilihat sebagai cara mereka untuk mempertahankan, melindungi, sekaligus mengakumulasi secara lebih masif untuk jumlah kekayaan yang lebih banyak.
Maka untuk memperlancar akumulasi kekayaannya, maka oligarki terlebih dahulu perlu mengamankan sumber-sumber penting semisal izin usaha, konsesi, akses atas bahan baku dan sumber daya-sumber daya lainnya. Akses terhadap hal ini tentunya di pegang kendali oleh negara. Artinya untuk mendapatkan hal tersebut, aktor-aktor yang menguasai negara mesti di dekati dengan berbagai jalan, baik secara formal-prosedural maupun dengan kesepakatan belakang meja. Perihal yang disebutkan terakhir ini, dalam kenyataanya telah menjadi rahasia umum di berbagai negara, tak terkecuali negara dunia ketiga seperti Indonesia.
Sudah se-seringkali negara kita kerap memainkan fungsinya sebagai agen untuk mempermulus langkah akumulasi kekayaan oligarki, pebisnis semata. Hal ini pun ditegaskan Hamza Alavi (1972) dalam analisisnya tentang peran negara Pasca-Kolonial di Pakistan dan Bangladesh (http://Wikipedia.id.).
Ia menjelaskan bahwa dalam banyak kasus, negara memainkan peran fungsionalnya sebagai mediator kepentingan-kepentingan kelas pebisnis. Senada dengan argumentasi di atas, Zieman dan Landzendorfer (1977) juga menyiratkan titik tekan yang sama.
Bahkan negara, pada waktu-waktu tertentu, ini merupakan instrumen strategis yang dapat dimanfaatkan sebagai perantara untuk mempermulus langkah akumulasi kekayaan segelintir orang saja. Ada berbagai cara yang bisa dilakukan, misalnya lewat Undang-Undang, konsesi yang menguntungkan pebisnis, oligarki, pemberian izin usaha (PIU) dan lain sebagainya. Iklim – iklim seperti ini tentunya amat diminati oleh oligarki, termasuk salah satunya tambang Emas.
Bahkan dengan begitu mereka dan agenda elektoral tahun ini merupakan momentum krusial bagi oligarki-oligarki tersebut untuk mengamankan masa depan bisnis dan kegiatan akumulasi. Setidaknya untuk jangka waktu lima tahun ke depan. Dalam upaya demikian, maka pilihan politik tentunya adalah hal penting. Pasangan Calon yang dianggap potensial menanglah yang akhirnya dipilih sebagai tempat berlabuh. Dari situ, pertautan ekonomi-politik (political economy) antara oligarki dan birokrat akhirnya dibangun.
Pertautan dalam hal politik ini dalam beberapa hal dan cara untuk menambal biaya percaturan berpolitik tanah air yang tidak sedikit jumlahnya. Dan alhasil dari praktek-praktek “ijon” politik makin marak menjelang waktu pemilihan berlangsung. Pebisnis tambang juga menyediakan dana untuk kampanye, sebaliknya Pasangan Calon akan melindungi keamanan bisnisnya kelak ketika telah terpilih.
Ini menjadi kebiasaan politik kita yang menggurita di tanah air. Indikasi-indikasi ini, bukan tidak mungkin, akan tetapi justru malah sangat potensial masif terjadi dalam pesta demokrasi di tahun 2019 ini. Sebagaimana terlihat pada oligarki-oligarki tambang kita yang melingkari kedua Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Maka Iklim-Iklim demokrasi (democracy) seperti inilah sangat fatal akibatnya bagi kepentingan rakyat luas. Dengan sendirinya kesejahteraan massa rakyat terpinggirkan, direduksi menjadi kepentingan segelintir kepala saja. Dan bahkan mereka Alih-alih untuk rakyat, pesta demokrasi ini menjadi sekedar pertarungan (fight) antar elite dan oligarki untuk mengokohkan cengkeram (friend) kuasa dan kepentingannya sendiri.
Walahu’alam bishsho’wab!
Jakarta, 09/4/19