Refleksi Hari Pancasila
Oleh: Muhammad Ridwan Fawallang*
KHITTAH.CO- Berbicara soal Indonesia tanpa mengikutkan peran umat Islam, ibaratnya paduan suara yang melupakan lirik lagu. Walaupun disuguhkan berbagai aransemen modern dalam mengiringi lagu, hingga memadukan antara tangga nada pelor dengan mayor-minor. Tetap saja kehilangan ruh dan substansi, mungkin kata-kata Bung Karno ada benarnya “Jas Merah” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah).
Analisis Kuntowijoyo terkait peran ummat Islam dalam rentan sejarah mulai dari fase Demak, Fase Pemerintahan Kolonial Belanda dan Jepang hingga Fase Kemerdekaan (Orde lama, Orde Baru dan Reformasi) memainkan peran strategis. Bahkan Kuntowijoyo secara jelas memaparkan Islam menjadi motor penggerak dalam melahirkan kesadaran dan kebangkitan nasional.
Perdebatan mengenai sejarah Islam di Indonesia, menimbulkan diskursus teori yang menguatkan pada dua asumsi tentang kedatangan Islam. Teori pertama: Teori India, yaitu teori yang mengatakan bahwa kedatangan Islam di Nusantara melalui India yang dibuktikan dengan bangunan candi Pada beberapa daerah. Teori Kedua: Teori Arab yaitu teori yang mengatakan bahwa Islam dating ke nusantara melalui ulama dari Arab di mana ulama tersebut juga berprofesi sebagai pedagang (tajir). Teori Arab mendapat dukungan kuat di mana terdapat kesesuaian antara perilaku ibadah umat Islam termasuk pada aspek politik kesultanan atau ketatanegaraan yang pernah menguasai Nusantara dari Samudra Pasai hingga Maluku.
Salah satu motor penggerak umat Islam yang tidak bisa luput diperbincangkan dalam mendorong lahirnya kesadaran nasional yakni Muhammadiyah. Organisasi Islam yang secara konsen dan bergerak secara langsung merespon kondisi sosial ummat-kemasyarakatan. Lewat pengajaran yang dilakukan K. H. Ahmad Dahlan menggugah kesadaran muridnya secara apik dengan surah al-Ma’un.
Pengajaran K. H. Ahmad Dahlan yang berbasis teologi ke aksi telah melahirkan kesadaran dan kepeloporan. Gerakan Muhammadiyah yang secara konsen mempelopori berdirinya lembaga pendidikan, rumah sakit dan panti asuhan. Yang secara jelas terlihat ketiga konsen Muhammadiyah tersebut, menjadi kebutuhan pokok dan mendasar dari ummat.
Muhammadiyah secara aktif bergerak menyemai kesadaran kepada ummat lewat lembaga pendidikan yang didirikannya. Tak ayal Muhammadiyah pada masa pra-kemerdekaan telah melahirkan kader-kader yang militan dan berjiwa nasionalis. Pada masa Pendudukan Jepan dikenal istilah empat serangkai terdiri dari Ir. Seokarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara dan K. H. Mas Mansyur. Salah satu dari empat serangkai tersebut, K. H. Mas Mansyur adalah tokoh Muhammadiyah.
Peran yang menarik telah dimainkan oleh Muhammadiyah dengan menyiapkan anak bangsa yang berkesadaran dan terdidik. Banyak kalangan menyatakan bahwa akibat dari kebijakan politik etis Pemerintah Kolonial Belanda telah melahirkan generasi-generasi terdidik bangsa. Namun, ada fakta yang perlu dipahami bahwa selain kehadiran sekolah Kolonial Belanda juga telah terdapat sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah. Sehingga menyatakan generasi terdidik bangsa hanya diproduksi oleh sekoloh Kolonial Belanda, menjadi sesuatu yang sangat keliru sebab Muhammadiyah juga melahirkan generasi-generasi terdidik bangsa.
Pada masa BPUPKI dan PPKI kehadiran tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam menyiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan peran-peran besar yang dimainkan. Kehadiran Ki Bagus Hadikusumo, Prof. Kahar Muzakkir dan Mr. Kasman Singodimedjo dalam sidang BPUPKI dan PPKI menjadi fakta sejarah kehadiran tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam persiapan kemerdekaan bangsa.
Pada masa sidang BPUPKI telah terjadi pertentangan yang alot antara kalangan nasionalis sekuler dengan nasionalis agamis. Terkait persoalan dasar negara bangsa Indonesia yang merdeka, ada yang mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Pertimbangan yang diberikan bahwa ummat Islam secara mayoritas dianut oleh masyarakat. Tetapi, sebagian kalangan menganggap menjadikan Islam sebagai dasar negara dapat menjadi pemicu dari penganut agama lain memisahkan diri dari Indonesia.
Untuk mencari titik terang segaligus upaya menjembati perbedaan tersebut, akhirnya dibentuk Panitia Sembilan untuk mencari jalan keluar. Kesepakatan Panitia Sembilan melahirkan Piagam Jakarta yang menjadi calon dari dasar negara Indonesia merdeka. Tetapi, tidak berselang lama ada kalangan dari Indonesia Timur yang memprotes tujuh kata yang terdapat pada Piagam Jakarta. Salah satu tokoh yang diminta kesepakatannya untuk menghapus tujuh kata tersebut, yakni Ki Bagus Hadikusumo tokoh Muhammadiyah.
Kehadiran tokoh Muhammadiyah dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah meneguhkan konsep “Darul Ahdi Wasy-Syahadah”. Bangsa Indonesia yang beragam bukan hanya suku, ras dan budaya melainkan agama yang juga beragam. Sejarah kelahiran bangsa Indonesia berasal dari kesepakatan bersama yang diartikulasikan dan dinarasikan dalam bentuk ideologi Pancasila yang mengayomi segala bentuk perbedaan.
Konsep “Darul Ahdi Wasy-Syahadah” yang mengafirmasi segala bentuk keragaman dan kemajemukan yang melahirkan konsensus nasional. Sehingga Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang telah terlibat dalam konfigurasi sejarah yang melahirkan Indonesia secara ideologis menerima Indonesia sebagai satu tarikan nafas dalam khittah-nya. Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia bagi Muhammadiyah menjadi tempat pembuktian atau kesaksian sebagai umat Islam. Indonesia merupakan “Utang” yang diperjanjikan oleh segenap komunitas warga bangsa. Beban utang kemungkinan dilunaskan apabila negara mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat. Sebaliknya bagi rakyat, utang senantiasa dijadikan letupan masalah bagi perjalanan bangsa dan berdampak kepada Negara.
Mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menghidupkan nilai-nilai Islami yang bercorak berkemajuan. Yang mendorong terwujudnya “Mencerdaskan kehidupan bangsa” yang senantiasa dihidupkan Muhammadiyah dalam tradisi “Iqra” lewat lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah.
Untuk mewujudkan konsep “Darul Ahdi Wasy-Syahadah” secara kaffah yang melibatkan komponendar al-ahdi (konsensus), dar al-syahadah (pembuktian/kesaksian) dan dar al-salam (kesejahtraan). Muhammadiyah sebagaimana tipologi gerakannya dari basis teologi al-Ma’un ke aksi, senantiasa bergerak dalam realita ke-umatan dan kemasyarakatan. Sehingga Muhammadiyah hadir merespon segala sesuatu yang dapat mengoyak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjadi konsensus secara nasional. Yang kelahirannya melibatkan Muhammadiyah sebagai salah satu bagian yang telah melahirkan konsensus tersebut.
Konsep Islam “Baldatul Toyyibatun Warabbun Ghafur” negara aman, damai dan sejahtera. Secara kultural telah diperjuangkan Muhammadiyah dalam amal usahanya yang meliputi lembaga pendidikan, rumah sakit dan panti asuhan. Negara tidak dapat mewujudkan suasana yang aman, damai dan sejahtera bila warga negaranya tidak mendapatkan pendidikan yang memadai, perhatian kepada orang-orang yang sakit dan keberpihakan kepada golongan lemah.
Untuk mewujudkan merdeka yang sejati, negara dan semua elemennya perlu konsen membina generasi muda dalam pendidikan, kebijakan yang menjamin tersedianya layanan kesehatan dan perhatian kepada kaum yang lemah. Bila semua itu tidak diusahan oleh negara dan elemennya maka tidak menutup kemungkinan warga negara tidak merasakan suasana “Baldatun Toyyibatun Warabbun Ghafur”. Muhammadiyah dengan kesadaran teologis telah melibatkan diri dalam perjuangan kultural bersama negara untuk mewujudkan itu semua.
Pada masa awal berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) tokoh Muhammadiyah yakni Buya Hamka menjadi ketuanya. Peran tokoh Muhammadiyah dalam mengisi kehidupan kemerdekaan bangsa Indonesia bak jamur di musim hujan. Kehadirannya senantiasa memberikan warna tersendiri, bahkan Buya Hamka secara elegan dan terhormat mundur dari kursi Ketua MUI ketika didesak dari berbagai pihak untuk mencabut fatwah yang telah dikeluarkan oleh MUI.
Keteladanan yang terasa masih sangat langkah yang ditunjukkan oleh ulama hingga hari ini. Kehadiran Din Syamsuddin kala menjadi Ketua MUI seakan memperjelas sanad Muhammadiyah yang konsisten, lewat konsep wasithiyah demi merajut harmoni dalam kehidupan Indonesia yang penuh keragaman.
Ada kata-kata yang menarik dari Anhar Gonggong terkait penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila bahwa “Pancasila kita terima secara utuh dalam arti sumbangan pemimpin-pemimpin Islam-Muhammadiyah-dalam proses perumusan dan penetapannya sebagai dasar negara dan tidak terabaikan-lupakan”. Sebagaimana Sang Proklamator dan Penggali Pancasila Bung Karno yang meminta dikafani dengan Bendera Muhammadiyah. Mungkin Bung Karno ingin berpesan kalau engkau ingin mengenang jasa-jasaku, maka sisi lain yang juga perlu dikenang yakni jasa-jasa Muhammadiyah yang senantiasa hidup dan dihidup-hidupi dalam amal usaha Muhammadiyah hingga kini dalam mengisi kehidupan kemerdekaan Indonesia.
*Penulis adalah Wakil Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Sulsel/Kandidat Doktor di UIN Banda Aceh dan Pengajar di Fakultas Agama Islam Unismuh Makassar