Oleh: Ermansyah R. Hindi*)
*) ASN Bappeda/Sekretaris PD Muhammadiyah Kabupaten Jeneponto
Dari sekian bentangan diskursus kemiskinan, perhatian hanya tertuju pada diskursus kemiskinan struktural. Selain diskursus kemiskinan struktural, ada pula pembentukan diskursus kemiskinan absolut, kemiskinan menengah atau kemiskinan produksi terjalin kelindang dengan ketimpangan dan kekuatan oligarki di Indonesia yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya.
Diskursus ilmu pengetahuan mengenai permasalahan kemiskinan multidimensi memerlukan sudut pandang atau pendekatan multidisiplin dengan memerhatikan rujukan pada metode analisis kuantitatif dan kualitatif diantaranya meliputi sosiologi, psikologi, antropologi, kependudukan, politik, statistik, dan ekonomi. Diskursus kemiskinan sekarang juga belum mampu melepaskan dari pendekatan individu dan keluarga, wilayah perkotaaan dan perdesaan menjadi suatu struktur logika dan bahasa yang pada akhirnya memiliki keterkaitan dengan kerangka analisis diskursus mengenai ketimpangan dan oligarki. Meskipun institusi negara penyedia data secara resmi tidak mengeluarkan angka kemiskinan absolut dan kemiskinan menengah dilihat dari sisi pendapatan, analisis diskursus melebihi suatu definisi kemiskinan yang ditopang oleh ketidakhadiran dimensi konsumsi, pendidikan, kesehatan, dan akses infrastruktur dasar. Rangkaian dimensi tersebut akan diganti dengan meruangnya struktur wilayah pembentukan kemiskinan yang menjangkau ruang perkotaan dan perdesaan. Tetapi, dalam satu kesempatan terbatas ini, diskursus kemiskinan tidak melepaskan definisi dan ukuran kemiskinan untuk mengambang bebas, melainkan menggunakan analisis deskriptif, dimana wajah atau gambaran umum kemiskinan dalam jangka waktu tertentu menampilkan kecenderungan peningkatan atau penurunan angka kemiskinan.
Wilayah perkotaan dan perdesaan menerima diskursus kemiskinan yang berinteraksi dengan ketimpangan dan kemungkinan keterlibatan oligarki menampilkan data gambaran umum dimensi tersebut. Pergerakan teks tertulis atau kata-kata membentuk arus pemikiran lainnya yang berbeda dengan obyek pengetahuan sebelumnya setelah penanda yang membentuknya ditanggulangi oleh diskursus yang menyembunyikan angka atau matriks dibalik teks narasi kemiskinan. Satu sisi, tidak sedikit pihak menilai, memang betul bahwa kompleksitas permasalahan kemiskinan tidak hanya dilihat dari angka. Pada sisi lain, satu pendekatan analisis kuantitatif mengenai kemiskinan perlu memiliki syarat ketersediaan data sebagai bagian dari tahapan awal pembentukan analisis diskursus yang dibiarkan berkembang ke dimensi dan jejak baru. Apriori diskursus mendahului pengumpulan dan analisis data. Suatu pertimbangan lain, dimana suatu kerangka diskursus ilmu pengetahuan tidak dapat dihindari disaat kemunculan data berubah menjadi jejak-jejak perbedaan tingkat kemiskinan. Ketersediaan data dan analisis data itulah akan memasuki perbedaan tingkat kemiskinan melalui diskursus kuasa disipliner dari ilmu pengetahuan yang memberi bentuk atau gambaran nyata kemiskinan sesudahnya. Berkat diskursus, dimensi kemiskinan tidak terbentuk, sekalipun analisis data kuantitatif muncul sesudahnya menjadi obyek pengetahuan.
Setelah itu, pembentukan relasi kuasa disipliner ilmu pengetahuan yang mencoba menengahi antara bentuk-citra sebagai penanda dan konsep-isi sebagai petanda kemiskinan. Ada hal yang menarik pergerakan analisis akan menyesuaikan dengan satu jejak ke jejak lainnya melalui suatu perbedaan diskursus kemiskinan yang tidak terelakkan. Perbedaan diskursus kemiskinan tersebut saling mempengaruhi bentuk-bentuk ketimpangan dan oligarki, karena kemiskinan multidimensi dengan istilah yang mengandung hiperbolik sebagai “monster berkepala banyak” yang dilihat oleh sebagai spesies kemiskinan yang masih berada pada isu utama Indonesia. Pembentukan satu relasi ke relasi kuasa disipliner ilmu pengetahuan lainnya akan mengatasi ketunggalan diskursus menjadi perbedaan diskursus kemiskinan. Setiap perbedaan diskursus kemiskinan akan ditandai perbedaan karakteristik atau identitas orang miskin sesuai relasi antara kuasa dan pengetahuan.
Kelenyapan atas ketunggalan diskursus berubah menjadi perbedaan diskursus kemiskinan melalui jejak yang berasal dari penolakan terhadap penerima manfaat program penanggulangan kemiskinan akibat mereka tidak memenuhi definisi, ukuran atau indikator kemiskinan. Dari titik inilah muncul perbedaan diskursus melalui ukuran, kriteria atau indikator kemiskinan akan saling menggeser dan saling menetralisir antara satu dengan yang lainnya. Mengikuti kecenderungan yang muncul melalui penanda kemiskinan yang ditampilkan oleh definisi dan indikator, dimana data atau matrik yang mendukungnya semakin jelas dan pasti perbedaan diskursus kemiskinan dengan menghubungkan dirinya dengan diskursus ketimpangan dan oligarki bersifat terbuka dan menyebar. Sehingga perbedaan diskursus yang ditampilkan melalui kriteria, indikator dan data dalam matriks kemiskinan memungkinkan terjadi penafsiran yang berbeda seiring dengan kuasa apa yang lebih kreatif yang mendukung kepentingan seseorang atau kelompok tertentu antara pelaksana dan penerima program penanggulangan kemiskinan. Jika ada seorang atau kelompok yang berada dalam perbedaan diskursus akibat diri mereka tidak menerima manfaat program tanpa alasan yang jelas dan pasti, berarti mereka memungkinkan untuk mengajukan keberatan pada pihak pelaksana dan penerima manfaat program. Sebaliknya, dalam relasi diskursus antara pelaksana program dan seseorang atau kelompok tidak berhak menerima program sebagai akibat ketidakhadiran kriteria atau indikator kemiskinan menandai perbedaan diskursus yang baru. Di satu daerah terdapat seratusan jumlah penduduk miskin, karena B bukan penerima padahal ia termasuk kategori dari seratusan penduduk miskin menandai dirinya sebagai sumber perbedaan diskursus dengan A, B dan D. Jadi, dalam persfektif Foucaldian, relasi kuasa antara individu dan individu lainnya menciptakan realitas dirinya masing-masing. Pertanyaan yang muncul, apakah antara satu orang dengan orang lainnya benar-benar berada dalam kemiskinan atau tidak?
Suatu diskursus akan mengalami perbedaan bukan sebatas pertimbangan akibat perberdaan karakteristik atau indikatornya kemiskinan, tetapi juga perbedaan akibat silih berganti dan saling menghilang antara satu diskursus dengan diskursus yang lainnya setelah ada pembentukan relasi kuasa yang menjaringnya, dimana ia mampu menyerap seseorang atau kelompok tertentu dalam kemiskinan atau ketimpangan dan oligarki diantara paradoks pembangunan. Kekuatan diskursus yang baru menghilang dalam diskursus kemiskinan yang berbarengan dengan ketimpangan dan oligarki yang lain disaat diskursus kemiskinan yang lama tidak tegak berdiri lagi.
Pembentukan diskursus akan mengatasi ketunggalan, homogenitas dan kepastian kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang diganti dengan keragamanan, heteroginitas dan perbedaan diskursus dari diskursus sebelumnya dibentuk dari dalam ruang yang terisi ke ruang yang kosong dan jangka waktu tertentu dengan menganalisis rangkaian permasalahan dan akar permasalahannya yang berbeda nampak berisan dengan ketimpangan dan oligarki sebagai bagian obyek pengetahuan yang dibentuk sesudahnya.
Setelah perhatian kita diarahkan pada pembentukan diskursus, kemiskinan, ketimpangan dan oligari yang dimasukkan dalam relasi kuasa disipliner ilmu pengetahuan melalui angka-angka statistik. Menurut data indikator yang dirilis oleh BPS, persentase penduduk miskin Indonesia, Maret 2019 sebesar 9,41 persen poin (25,14 juta jiwa) terhadap September 2018 (0,53 juta jiwa) dan menurun 0,41 persen poin (0,80 juta jiwa) terhadap Maret 2018. Meskipun jumlah penduduk miskin terus berkurang, kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia nampaknya masih jauh dari kecukupan. Rata-rata penduduk miskin ini hidup di perdesaan.
Masih dari sumber data yang sama, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2018 sebesar 6,89 persen (10,13 juta jiwa), turun menjadi 6,69 persen (9,99 juta jiwa) pada Maret 2019. Sedangkan persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2018 sebesar 13,10 persen (15,54 juta jiwa), turun menjadi 12,85 persen (15,15 juta jiwa) pada Maret 2019. Data yang ditampilkan tersebut menandakan disparitas kemiskinan perkotaan dan kemiskinan perdesaan masih relatif tinggi.
Oleh karena itu, dari sebagian pandangan para ahli, bahwa kunci pengentasan penduduk miskin adalah pembenahan pembangunan pertanian dengan penyediaan tenaga kerja produktif yang seimbang ditunjang oleh pemberdayaan masyarakat dan industrialisasi di perdesaan dengan menggunakan teknologi tepat guna serta pembangunan infrastruktur di perdesaan.
Berdasarkan data tersebut menandakan peristiwa perlambatan penurunan jumlah penduduk miskin diantaranya disebabkan oleh lebih sulitnya menurunkan kemiskinan di perdesaan. Kita mengetahui, bahwa hampir dua pertiga penduduk miskin tinggal di perdesaan. Dalam dua tahun terakhir, persentase penduduk miskin di perdesaan mengalami penurunan secara kuantitatif, tetapi bagaimana dengan Ayah, Ibu dan anaknya tidak lagi berhubungan dengan mesin kapitalis dan kaum pekerja, kecuali dalam pergulatan untuk memenuhi kebutuhan beras, ikan, daging, telur, susu, gula pasir, dan sebagainya kurang dari satu kali seminggu. Kita dapat membayangkan satu keluarga mencoba menjanggal perutnya dengan hanya asap mengepul di dapurnya selama dua kali dalam seminggu demi melangsungkan kehidupannya yang tertatih-tatih. Mereka tidak mengenal apa yang dimaksud dengan efisiensi, hemat atau istilah kencangkan ikat pinggang. Mie instan tidak memberinya perbedaan nafas penduduk miskin di perdesaan yang sama atau paling tidak memiliki kemiripan mengkonsumsi barang, obyek atau ilusi secara instan dari penduduk miskin perkotaan. Belum lagi variabel non makanan, diantaranya indikator (i) Luas bangunan kurang 8 m2 per orang dan kurang atau sama dengan 8 m2 per orang; (ii) Jenis lantai bangunan rumah berupa tanah, bambu dan kayu murahan; (iii) Jenis dinding rumah berupa bambu, rumbia, kayu kualitas rendah, dan tembok tidak diplester; (iv) Jumlah jenis fasilitas buang air; (v) Jumlah jenis penerangan lampu rumah tangga berupa listrik dan non listrik; (vi) Jumlah pakaian baru dibeli dalam jangka satu tahun: satu stel pakaian baru dalam setahun dan lebih dari satu stel pakaian; (vii) Sumber penghasilan kepala rumah tangga: petani, luas lahan 0,5 Ha atau kurang, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan; dan (viii) Tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/buta aksara/tidak tamat SD, hanya SD, tamat SMP/sederajat. Di bawah kolong langit, mereka kadangkala mengusap dahinya tanpa menggerutu memikirkan nasib hidup.
Tentu masih ada indikator kemiskinan yang tidak diperbicangkan. Kita juga tidak habis pikir tentang kemiskinan ekstrim memiliki kerawanan diri pribadi yang tercampakkan, mengalami alienasi mental dan alienasi sosial. Kita melihat seseorang hanya beralaskan tanah, berpakaian seadanya yang tidak mampu menyendiri yang menempatkan dirinya sebagai mesin yang luas, luasnya melebihi bumi. Setiap aspek kehidupan, kita tidak bekerja, tetapi kita juga menikmati suasana kehidupan bersama anak-anak, cinta, pikiran, fantasi, dan seni. Wajarlah, setiap orang akan merasakan ancaman kelenyapan sosial, diantaranya kemiskinan. Setiap orang dapat saja mengatakan pada kita: “Anda akan memilih sisi kehidupan yang lain”. Bagaikan monster yang bangun kesiangan: “Jika kemiskinan akan merenggut kita, kemana lagi kita akan berlari untuk menghindarinya?”. Setiap orang tidak pernah bermimpi berada dalam kemiskinan.
Sebagaimana kita telah mengetahui, bahwa pengukuran kemiskinan tidak hanya dilihat dari indikator persentase dan jumlah penduduk miskin Indonesisa, tetapi juga terdapat dua indeks, yaitu Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) yang mengindikasikan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengindikasikan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Kedua indeks tersebut merupakan metonimi kemiskinan (bagian yang menunjukkan keseluruhan). Sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan memiliki keterkaitan dengan indikator ketimpangan, yaitu Gini Ratio.
Menurut pergerakan data empiris menunjukkan ketimpangan kesejahteraan di Indonesia dalam pertumbuhan yang belum berarti. Gini ratio melambat. Kesenjangan antara desa dan kota masih sulit diatasi. Di desa rasio gini yang sedikit lebih rendah bukan karena ada perbaikan kesejahteraan tapi karena semakin menurunnya pendapatan yang tadinya berada di menengah atas. Disitulah gejala kemiskinan bersama-sama dibentuk. Marilah kita kembali bermain dengan angka-angka! Gambaran mengenai tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia, Maret 2019 yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,382. Angka ini mengalami penurunan 0,002 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2018 yang sebesar 0,384 dan menurun 0,007 poin dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2018 yang sebesar 0,389 (BPS, 2019). Nilai Gini Ratio berada diantara 0 dan 1. Sudah bukan rahasia umum, bahwa semakin tinggi nilai Gini Ratio berarti semakin tinggi ketimpangan. Indeks Gini di bawah 0,4 dikategorikan sebagai ketimpangan baik, 0-4 sampai 0,5 ketimpangan sedang, dan di atas 0,5 ketimpangan buruk.
Dalam struktur ruang wilayah, Gini Ratio di daerah perkotaan pada Maret 2019 tercatat sebesar 0,392, naik dibanding Gini Ratio September 2018 yang sebesar 0,391 dan turun dibanding Gini Ratio Maret 2018 yang sebesar 0,401. Gini Ratio di daerah perdesaan pada Maret 2019 tercatat sebesar 0,317, turun dibanding Gini Ratio September 2018 yang sebesar 0,319 dan Gini Ratio Maret 2018 yang sebesar 0,324. Pengukuran ketimpangan yang dilakukan oleh Bank Dunia maupun BPS berdasarkan pengeluaran atau konsumsi, bukan kekayaan atau pendapatan. Sudah tentu, perhitungan berdasarkan pengeluaran menghasilkan angka ketimpangan jauh lebih rendah dibandingkan berdasarkan ukuran ketimpangan pendapatan (income inequality) atau ketimpangan kekayaan (wealth inequality). Kita melihat pergerakan angka-angka berdasarkan pengukuran ketimpangan Bank Dunia, distribusi pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah adalah sebesar 17,71 persen. Hal ini berarti pengeluaran penduduk pada Maret 2019 berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah. Apabila dirinci menurut wilayah, di daerah perkotaan angkanya tercatat sebesar 16,93 persen berarti pada kategori ketimpangan sedang. Sementara untuk daerah perdesaan, angkanya tercatat sebesar 20,59 persen, yang berarti tergolong dalam kategori ketimpangan rendah.
Sebagaimana Faisal Basri (2019) yang mengutip data dari Global Wealth Report 2018 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse, ketimpangan berdasarkan kekayaan, dimana satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional, meningkat dari 45,4 persen pada tahun 2017. Posisi Indonesia tahun 2018 terburuk kelima di dunia setelah Thailand, Rusia, Turki, dan India.
Lalu, apalagi yang diusahakan oleh masyarakat Yogyakarta yang berada pada Gini Ratio tertinggi dan Bangka Belitung yang terendah (BPS, Maret 2019)? Namun demikian, benarkah tingkat ketimpangan pendapatan begitu rendah? Persepsi masyarakat awam sangat berlawanan dengan data yang ada. Selain itu, pengamatan sekilas terhadap kondisi jalanan di ibu kota Jakarta menimbulkan keraguan menyangkut keakuratan data. Ibu kota Jakarta dipenuhi dengan pusat-pusat perbelanjaan kelas atas, lingkungan-lingkungan perumahan yang sangat mewah. Tidaklah aneh melihat di mana-mana mobil-mobil mewah seperti Jaguar dan Mercedes berseleweran dan berjejer bersebelahan dengan bus-bus metro mini yang sudah usang, dalam kondisi tidak layak, yang merupakan sarana angkutan umum utama di Jakarta apalagi dibandingkan dengan daerah-daerah tertinggal dan terisolir. Ada kemungkinan penjelasan mengenai perbedaan yang tampak antara angka statistik pemerintah dan pengamatan yang dilakukan secara sederhana adalah karena survei rumah tangga Susenas tidak cukup menggambarkan tingkat pengeluaran penduduk kaya.
Fenomena Indonesia mengalami ketimpangan kesejahteraan yang masih sulit dikurangi, karena pertumbuhan ekonomi tidak cukup pesat. Struktur ekonomi ekonomi Indonesia yang masih dalam tahap awal masuk ke ambang negara berpendapatan menengah dengan apa yang terjadi fenomena middle income trap membuat pertumbuhan ekonomi tahunan sekitar 5 persen tidak semestinya dibanggakan karena pertumbuhan sebesar itu belum cukup untuk mendorong perbaikan kesejahteraan. Supaya menyerap seluruh tenaga kerja baru setiap tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia setidak-tidaknya 7 persen. Dapat dikatakan, bahwa ada kesalahan kebijakan struktural berlangsung sejak lama membuat ekonomi Indonesia mengalami de-industrialisasi dalam pengertian yang sesungguhnya. Ekspor Indonesia relatif masih bergantung pada beberapa komoditas, kalau tidak boleh dikatakan hanya dua: sawit dan batu bara. Kita ditunjukkan pada alur distribusi nilai tambah di kedua sektor itu masih terpusat pada pemilik modal dengan daya ungkit yang kecil bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai akibat kekeliruan kebijakan struktural terjadi karena tidak ada konsistensi kebijakan yang baik dan benar dalam jangka panjang. Harus diakui, kebijakan restrukturisasi ekonomi yang baik dan perlu efeknya baru terasa pada jangka panjang. Apa yang terjadi di Indonesia, sebelum efek ini mempengaruhi kehidupan masyarakat, telah ada pergantian kebijakan karena perubahan pemerintahan maupun karena tekanan kelompok-kelompok kepentingan, apakah itu kepentingan politik dan ideologis maupun kepentingan ekonomi kroni tertentu.
Kita diberitahu melalui pernyataan, dimana kehidupan berbangsa dan bernegara terus didera dengan berbagai ujian berat. Setelah itu, pada saat yang sama peran ekonomi kroni memainkan suatu permainan terutama dalam perekonomian justru semakin besar. Ekonomi kroni semakin memusatkan distribusi nilai tambah pada sekelompok kecil orang yang dekat dengan penguasa. Keadaan Indonesia berdasarkan indeks ekonomi kroni seperti yang dibuat The Econimist. Dalam sembilan tahun terakhir pemusatan kekayaan cenderung semakin memburuk. Sekitar dua pertiga kekayaan dari orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor kroni (crony sectors). Indeks crony capitalism Indonesia berada di urutan ke-7 terburuk di dunia. Lantas, peringkat Indonesia terus memburuk, dari urutan ke-18 pada 2007 menjadi ke-8 pada 2014 dan ke-7 pada 2016. Kita akan mengedipkan mata sejenak terhadap praktik bisnis kroni yang memiliki kecenderungan menguat karena akses pengusaha terhadap kuasa semakin mudah. Berdasarkan analisis pemberitaan media menyebutkan bahkan pengusaha makin banyak yang merangkap menjadi politisi. Tidak ada lagi batas antara kuasa dan pengusaha nampak lebih memiliki keintiman. Institusi negara yang ada dalam pikiran, fantasi dan mimpi dari generasi atau anan cucu kita terhadap wakil rakyat justeru berkembangmembiak menjadi ‘spisies nomadik’, karena parlemen akan dikuasai olehnya sebagai sekawanan pebisnis.
Kita perlu merefleksikan apa-apa yang menjadi penelusuran Tempo dan Auriga Nusantara menemukan sedikitnya 262 nama Anggota DPR berlatar belakang pengusaha yang sementara memasuki tahapan pembahasan rancangan undang-undang yang dinilai oleh masyarakat kritis begitu kontroversial. Mereka tercatat memiliki saham, menjabat komisaris, hingga menduduki kursi direksi di lebih dari seribu perusahaan. Hasrat untu untuk berbisnis mereka mencakup sektor penyiaran, perdagangan umum, hingga industri ekstraktif. Hasrat itulah bernama oligarki menjadi suatu genre pemikiran nomadik yang berkembang dan menyebar ke seluruh Fraksi di parlemen. Menurut Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI Firman Noor mengatakan oligarki politik yang menguat di Indonesia bersumber pada dua hal. Pertama, ketimpangan ekonomi dengan 0,0000000002 persen masyarakat menguasai 10 persen pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia. Lanjutnya lagi, “….. adanya warisan Orde Baru dalam sistem ekonomi politik. Aktor politik, bisnis, dan birokrasi berkoalisi untuk menghasilkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat” (Tempo.co, 2019). Relasi antara kuasa negara dan pemilik modal besar menjadi lingkaran oligarki yang pada akhirnya membajak demokrasi, sehingga kemiskinan dan ketimpangan tidak lebih dari langkah “bunuh diri” yang mengarah pada diskursus yang memikat dan menantang terutama dari kaum intelektual.