Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Pikiran Dari Luar

×

Pikiran Dari Luar

Share this article

Oleh: Ermansyah R. Hindi*)

*) ASN Bappeda/Sekretaris PD Muhammadiyah Kabupaten Jeneponto

 

KHITTAH.CO– Lebih awal disampaikan, bahwa kami tidak bermaksud untuk mendefinisikan apa itu pikiran dan apa yang dilakukan pikiran tanpa tubuh. Hal ini, tidak ada kesengajaaan untuk mendialektikakan antara keadaan tertidur dan terjaga, pertanyaan dan jawaban, melainkan menjerumuskan pikiran dalam hal-hal yang belum terpikirkan.

Pikiran bukanlah menyangkut mampu atau tidak untuk berpikir supaya mempermasalahkan kembali pikiran itu sendiri. Kita juga tidak membiarkan harus terpaku pada model pembelajaran formal untuk melatih kita berpikir. Meskipun tidak memerlukan pengakuan dari pihak manapun, pikiran tidak dikatakan pikiran, melainkan kemampuannya untuk ‘merusuh’ pikiran itu sendiri.

Mode pemikiran bukanlah asal-usul pikiran sejauh hal-hal eksternal memengaruhi pikiran. Jauh sebelumnya, pikiran dan tubuh berdiri sendiri. Ada saat dunia eksternal merepresentasikan citra pikiran atau pikiran nomadik. Di saat lain, pikiran datang dari daya tarik tubuh atau benda-benda yang terlihat, apalagi memiliki daya tarik yang berbeda-beda. Di sini, keotonoman pikiran yang tidak otonomi larut dalam ketegarannya. Manusia tidak hanya dikatakan Binatang Rasional, karena itu, manusia tidak semata dituntut untuk berpikir tentang suatu hal yang tidak dipikirkan sekaligus sesuatu yang dipikirkan sekalipun sama sekali tidak ada dalam pikiran. Hingga saat ini, tidak ada orang yang dapat menyimpulkan, bahwa bukan manusia atau hewan rasional jika tidak mampu berpikir. Ada atau tidak ada bukti, mereka atau seseorang berpikir dengan cara lain yang bukan melalui pikiran atau nalar. Kita tidak lantas menuntut banyak pada diri sendiri atau orang lain untuk berpikir dengan cara berpikir yang bukan pikiran dari seluruh manusia. Saya berbicara dengan di luar diri saya sendiri tentang apa yang perlu ditertawakan terhadap pikiran, yang orang sering membedakan dengan berpikir. Jadi, menertawakan pikiran untuk mengetahui menjadi cara terbaik dalam menertawakan diri sendiri. Sungguh sayang, pikiran begitu plural digunakan untuk sesuatu yang sesungguhnya bukan pikiran, melainkan cara berpikir yang berlindung di belakang tujuan tertentu yang memperlihatkan pada kita sebagai ketidakmampuan berpikir atau kita sama sekali tidak berpikir tentang hal-hal dalam pikiran. Berpikir saja dengan pikiran belum tentu ada seseorang telah menggunakan pikirannya. Pikiran melalui pikiran. Berpikir tentang topeng atau lubang hitam ‘tanpa pikiran’ diberikan untuk memikirkan sesuatu secara ‘tidak jelas’ dan ‘kacau balau’ justeru di saat kita mulai berpikir. Kita belum berpikir dengan pikiran atau melalui nalar, kecuali dari transformasi tidak berpikir ke tidak ada pikiran melebihi suatu keadaan terjaga dan tertidurnya pikiran itu sendiri. 

 Berpikir bukanlah serta merta diidentifikasi dengan kata kerja dan pikiran sebagai kata sifat atau jenis kata apapun tidak menetapkan bahwa seseorang telah siap berpikir dengan pikirannya. “Apakah Aku gila hanya karena memikirkan sesuatu yang tidak jelas dan kacau balau”?  “Aku tidak mampu berpikir”. “Aku sedang berpikir dalam keadaan tidak berpikir”. “Aku berpikir dari kedalaman yang kosong”. “Anda tidak berpikir melalui citra pikiran mengenai retakan pikiran dari permukaan kulit”. “Seseorang terjerumus dalam retakan pikiran setelah memikirkan tentang penyakit menular”. Kemungkinan kegilaan datang dari pikiran itu sendiri menjadi kekacabalauan dalam pikiran. Unsur ini tidak hanya dari anggapan bahwa pikiran adalah latihan alamiah dari kemampuan. Persangkaan bahwa ada kemampuan alamiah bagi pikiran diberkati dengan talenta untuk kebenaran merupakan bagian dari retakan atau celah pikiran. Pikiran bukanlah dari setiap orang yang mencoba berpikiran secara alamiah disangka benar dengan mengetahui secara tersirat apa-apa yang dimaksud berpikir.  

Dalam hal ini, pemikiran filosofis konseptual bukanlah sebagai prasangka tersiratnya sebuah pra-filosofis dan bukanlah citra pikiran alamiah, yang bukan pula dipinjamkan dari unsur murni dari akal sehat. Citra yang dimaksud, bahwa pikiran tidak bergantung pada daya tarik menarik dengan kebenaran. Karena itu, kebenaran yang pada akhirnya akan dilucuti dan menjadi ilusi dari kebenaran itu sendiri sebagai akibat dari kegigihan teori pengetahuan dan wujud. Kedua bagian filsafat tersebut bukanlah cara untuk melatih kita berpikir secara logis yang tidak terpikirkan. 

Kita tidak mampu menggunakan pikiran apa-apa lagi untuk berpikir, karena orang-orang di luar sama sekali tidak memikirkan kita. Pikiran tidak memiliki keterkaitan dengan hal-hal yang dipikirkan dan tidak dipikirkan. Benda-benda di luarlah mencoba memantulkan citra pikiran kita untuk keluar dari pergerakan bayang-bayang ilusi pikiran subyek itu sendiri melalui ‘celah’. Dari istilah citra, setiap orang tidak lagi mengetahui dan memprasangkakan untuk mengetahui apa-apa yang dimaksud dengan ‘sesuatu yang tidak terpikirkan’. Bahaya kecil bakal dimulai dari babakan berpikir besar. Bahaya kecil muncul di sekitar kita di saat mulai membandingkan apakah filsafat dimulai dengan subyek atau obyek, ‘Mengada’ dan ‘ada-adaan’. Selama pikiran merupakan sisa subyek pada citra, maka kita tidak berpikir untuk berada antara penyaluran obyek dan subyek, ‘Mengada’ dan ‘ada-adaan’ maupun tanda penderitaan dan kekerasan akan merasuki pikiran.

Mungkin, bukan alasannya bahwa kita manusia tidak pernah terpikirkan dalam petualangan pikiran agar mengarah pada kita hal-hal tidak diharapkan di saat tidak mulai dipikirkan. Kita tidak menunggu untuk diberikan fakta-fakta untuk memulai berpikir hanya karena permasalahan kecepatan berhitung secara matematis atau mengingat kesuraman masa depan. Sejak Descartes, Heidegger hingga Deleuze mempertimbangkan citra pikiran, suatu dogma atau citra moral. Lagi pula, penciuman hidung menjadi citra pikiran, ketimbang filsuf menyibukkan diri dengan pikiran dan tidak menerima citra tersirat tanpa tambahan ciri lanjutan yang ditarik dari refleksi tersurat tentang pemikiran konseptual yang melawannya dan kecenderungan untuk menggulingkannya. Untuk alasan ini, orang mengatakan, bahwa kita tidak perlu berpikir jauh dan mendalam, paling penting adalah bagaimana melakukannya. Hegel menjelaskan Spinoza, Nietzsche mendefinisikan  Kant tatkala bersamaan dengan kita tidak mampu lagi berbicara mengenai citra pikiran (image of thought). Kita tidak mampu berpikir jauh tentang apa kata filsuf yang mengatakan, bahwa citra tunggal secara umum yang membentuk persangkaan subyektif dari filsafat sebagai keseluruhan. Kita yang bukan filsuf akan mempermasalahkan persangkaan filsafat.

Sebagai tujuan untuk instannya pikiran ditemukan dalam era sekarang tidak banyak berpikir dari instannya manusia untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Boleh saja, dalam pikiran terjadi pengulangan autentik dalam pikiran tanpa citra lengkap pada ongkos penghancuran besar seiring dengan demoralisasi besar. Ketegaran filsafat berakhir dengan paradoks. Seseorang akan meninggalkan cara berpikir dalam pikiran itu sendiri tanpa membukakan pikiran lain yang akan membentuknya. Kita tidak memiliki pikiran untuk memulai berpikir, sebagaimana filsuf beranjak dari cara berpikir tentang sesuatu yang tidak terpikirkan. Berpikir tanpa pikiran berarti akhir dari pembebasan dari citra dan dalil-dalinya yang menghantui dunia. Meskipun ada banyak cara, kita belum berpikir dengan pikiran sebagai subyek. Berpikir dengan pikiran seperti itu tidak membuat manusia menghubungkan dirinya dengan hal-hal yang seperlunya dipikirkan, karena ‘dunia luar’ dan ‘dunia dalam’ masih dipisahkan dan belum dibebaskan dari cara berpikir tidak urakan. Akan sia-sia saja penataan ulang retakan pikiran yang mengarah pada citra pikiran.

Selain itu, seseorang berpikir tidak mempersiapkan untuk mengadukan ketiadaan ingatan, imajinasi sejurus pendengaran. Akan tetapi, seseorang lalai berpikir untuk menemukan tentang bagaimana cara melayani pikiran dengan baik. Manusia menunda bukan memulai berpikir, tetapi membangunkan (erect) citra pikiran di balik fakta-fakta Matahari, Bumi dan Buku Perpustakaan.

Sebagian filsuf dan manusia di bumi nampaknya belum melengkapinya untuk menjungkir-balikkan citra pikiran; menghilangkan satu hanya melipatgandakan bagi lainnya, seperti pikiran dari citra virtual, yaitu suatu pikiran yang tersibernetisasi, pikiran datang dari simulakrum.  Ilusi dari yang Nyata memiliki pikiran melebihi pikiran secara alamiah. Semuanya dapat terjadi dalam pikiran sebagai akibat dari efek tubuh melalui citra virtual. Simulasi dan simulakra menjadi suatu pikiran yang tidak datang dari pikiran murni itu sendiri yang menuntut kita melihat dunia dalam keadilan, dalam ruang registrasi dan kekuatan politik baru. Pukul berapa sekarang? Kapan lahir citra virtual? Anda yang memiliki jam atau menutup mata sama sekali untuk melihat sudah pukul berapa. Dari efek tubuh, kita masih mungkin berada dalam citra tubuh yang tervirtualkan. Citra virtual melalui jam, seperti belanja online mengendalikan kita kemana arah yang diinginkan.

Sesuai dengan citra virtual sebagai cara berpikir baru, orang-orang akan mengambil bagian dari perubahan dimulai munculnya mesin nomadik. Cara berpikir yang lama diganti dengan cara baru, tetapi masih dalam mesin nomadik. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan pikiran tanpa petualangan nomadik tidak mampu keluar dari perangkap mesin nomadik sebelum muncul mesin lainnya yang menindas secara terselubung berupa mesin birokrasi rente. Berapa energi yang dilahap, begitu pula yang mengalir keluar dari kelenjer peluhnya. Energi mengambil pikiran kita secara pelan-pelan ‘dari luar’ dan memasukkan kembali dalam pikiran yang berbeda atau memiripkan dengan citra pikiran sebelumnya yang tervirtualisasi. Pikiran nomadik bukanlah di saat Anda makan dari jenis yang sama, bergerak dari satu tempat ke tempat lain demi sesuap nasi yang berbeda jenis dan citra rasanya. Pikiran nomadik lebih memungkinkan terjadi di saat orang-orang membebaskan dirinya dari kungkungan pemikiran yang instan dan jumud menuju suatu pikiran yang ‘di luar’ dari pemikiran itu sendiri. Perjalanan panjang dari rumah beralaskan tanah ke tempat yang lebih maju dan nyaman dalam kekosongan hanyalah wujud dari pseudo-mesin despotik yang mengambil-alih pikiran nomadik. 

Dari birokrasi yang asal jadi menuju birokrasi yang terukur kinerjanya tatkala mampu dilalui oleh pikiran nomadik, dimana aparatur sipil negara terpanggil dengan sendirinya untuk mampu menyelesaikan tugasnya setelah berhubungan dengan sesuatu ‘Dari Luar”.

Perjalanan panjang manusia dibekali dengan pikiran nomadik untuk memasuki kehidupan ‘yang tidak terlihat’, ‘tidak terpelihara’ dan bergerak di bawah tanah sekaligus tidak mengajukan satu pertanyaan dan menyediakan jawaban, kecuali banyaknya teka-teki menyelimuti pikiran yang terjadi ‘Di Luar’ pikiran itu sendiri-Cogito, sum. Pikiran dari Luar, diantaranya: 

(a) “Aku Berbicara, Aku Berdusta”. Selama paradoks, kita tidak jarang belajar dan mampu berpikir, tetapi juga kita mampu berdusta. Menurut ahli, boleh saja: “Anda berdusta pada orang lain, tetapi Anda tidak dapat berdusta pada diri Anda sendiri”. Entahlah, apa betul-betul itu suatu kebenaran atau bukan. “Aku berbicara, Aku berdusta” ada dalam setiap zaman, muncul di setiap kehidupan dan pemikiran. Kita tidak lagi menguji zaman dengan “Aku berbicara, Aku berdusta”, tetapi menguji apa yang dibicarakan, apa isi pernyataan dan bahkan pada dusta itu sendiri.

Setiap proposisi dimaksud adalah “Aku berdusta, Aku berpikir” bukanlah menunjukkan hal-hal yang lebih tinggi fungsinya sebagai obyek atau subyek. Proposisi obyek itu berulang dalam subyek atau sebaliknya, dimana ketulusan hati terganggu oleh pikiran yang disertai dengan dusta. Apa yang dibicarakan seseorang tidak dikompromikan dengan isi pernyataannya. Setelah orang berbicara memang berdusta yang merenggut pikirannya. Hal ini merupakan petualangan pikiran yang tidak memiliki kemampuan merangsang untuk tidak berbicara dusta, kecuali berbicara apa adanya. Subyek yang berbicara berbola-balik dengan subyek yang dibicarakannya tetap rentang dengan “Aku berdusta”.

 Dalam keterusterangan berbicara, “Aku berbicara”, berarti membahayakan pikiranku jika, “Aku berdusta”. Sehingga, tidak ada proposisi yang disembunyikan dalam pernyataan: “Aku berbicara” dan “Aku mengatakan bahwa Aku berbicara” yang diselipkan dalam “Aku berpikir”. Lebih parah lagi, jika: “Aku berdusta” diselipkan antara “Aku berbicara” dan “Aku Berpikir” ternyata dapat menggelincirkan satu sama lain. Mereka berpikir seakan dilindungi oleh benteng pemikiran yang tidak tergoyahkan, padahal antara pembicaraan dan pikiran yang dihubungkan dengan apa isi pernyataan begitu rawan dengan kata dusta. Semua orang dapat saja bebicara dan membangun komitmen bersama, tetapi selipan berbahaya adalah kata dusta. Mungkin pula, suatu hukum logis dapat dilibatkan disini, bahwa “tidak ada dusta diantara kita’. Begitulah yang sering kita mendengar ungkapannya.

Kata dusta yang diselipkan antara berbicara dan berpikir tidak lagi dianggap permasalahan apa berdampak pada orang lain terlebih-lebih pada orang yang berdusta. Bahaya kesalahan dari apa yang dibicarakan tidak sesuai dengan suara pikirannya tidak berpengaruh pada kata-kata apa yang dipermasalahkan maupun subyek yang mengutarakan pada pihak lain. Tidak leboh dari itu, tatkala seseorang tidak memiliki hambatan berbicara, maka peluang untuk berdusta masih ada melalui selundupan perbedaan antara isi pernyataan dan suara pikiran. Terlepas bahwa apakah tidak hambatan yang datang natara obyek-proposisi dan proposisi yang menyatakannya. Karena itu, tidak disangkal berdusta, menyelipkan antara berbicara tatkala berbicara mengatakan, bahwa “Aku berbicara” sekaligus “Aku berpikir” tidak lebih dari dusta.

Memang betul, tidak sesederhana yang kita bayangkan. Dari sini, “Aku berdusta” betul-betul bukan dari pernyataan dari filsuf Barat maupun Timur. Bukan lantara keraguan kita pada apa-apa yang dibicarakan. Tidak menimbulkan permasalahan secara logis pada kata dusta selama orang-orang berbicara dalam posisi formal, karena makna dari apa yang dibicarakan terbuka potensi pertanyaan yang tidak terbatas terlepas dari kejelasannya berbicara. “Aku berbicara” nampaknya merujuk pada diskursus pendukung yang menyediakannya obyek pembicaraan yang berpotensi diputar-balikkan antara kesalahan dan dusta.

Namun demikian, diskursus tidak menghilang dalam dusta, kecuali tidak jelas dan kacau-balaunya orang berbicara antara apa yang dibicarakan dan apa isi pernyataan. Ketegasan “Aku berbicara” hanya dapat berada tanpa bahasa lain, selain bahasa pembanding. Dapat kita telesuri antara apa yang dibicarakan dalam artikulasi yang jelas dan apa isi pernyataan. “Aku berbicara” menghilang begitu “Aku terdiam. Tetapi, “Aku berdusta” tidak memiliki syarat apa-apa, “Aku terdiam” atau “Aku berbicara” persis kemampuan berbolak-balik antara berbicara dan berdusta.

 Segala kemungkinan bisa saja terjadi dalam penampakan gejala-gejalanya. Atas nama daya tarik dan kenikmatan untuk mengambil hak orang lain. “Aku berbicara” menggunakan bahasa untuk mengelabui diri sendiri; bukan orang lain di saat “Aku berbicara” menghilang begitu aku terdiam terasa nyaman, sekalipun terjadi kekacau-balauan melanda kenikmatan. “Aku berdusta” hanya satu kemampuan dalam pengelolaan bahasa retoris yang tidak kelihatan, tetapi dirasakan. Bahasa dari “Aku berdusta” berupaya merebut “Aku berbicara” untuk melindungi dirinya dari kesalahan demi kesalahan.

Meskipun dimana-mana bahasa menyebar tanpa henti, bahasa pembukaan yang menyebar, mencerai-beraikan dan menghilang dalam ruang yang telanjang. Di sini, “Aku berdusta” bukan pada siapa ditujukan, bukan nilai-nilai representasi dan bukan pula kebenaran dari siapa yang sampaikan. Karena semua alasan tersebut akan membatasi penyebarannya. Subyek berbicara dari ruang netral menjadi alasan yang cukup mengapa sekarang perlu untuk memikirkan bahaya dari kebenaran. Kita memulai dari bagaimana untuk memikirkan tentang sintaksis kekerasan pikiran dibalik “Aku berdusta”, bukan “Aku tidak memulai berpikir”. Kita tidak membiarkan ada ruang yang diliputi kekosongan secara berlarut-larut tanpa diskursus. Apa-apa yang tidak diterima oleh celah pikiran akibat melimpah-ruahnya dusta melampaui dirinya sendiri. Sehingga, “Aku belum berbicara” telah diduga, bahwa sebagian bahkan keseluruhan mengandung subyek yang berdusta tanpa bertentangan dengan “Aku berpikir”. Satu-satu kebenaran dari “Aku berdusta” adalah titik pengakuan dalam dirinya yang dipikirkan, yaitu keseluruhan obyek yang tidak terpikirkan telah mengasingkan dirinya dengan “Aku berpikir” dalam artikulasi a, b, c, a1, a2, a3, b1, b2, b3, c1 dan seterusnya ditolak orang yang diajak berbicara, karena menganggap kepastian masih menyimpan dusta dipolesi oleh daya tarik permainan kebenaran.

(b) “Kelalaian”. Permasalahan tentang kelalaian begitu kompleks. Hanya sebagai akibat dari kelalaian seorang pengemudi dapat mengancam keselamatan penumpang bus dalam perjalanan dari desa ke kota. Sementara, sebagai akibat dari kelalaian Ayah untuk mengunci gembok pagar dan mengunci rumah secara teliti membuat maling tidak diundang bebas ternyata lebih waswas diri untuk menggasak atau mengamankan obyek incarannya. 

Kelalaian dapat melibatkan kelupaan. Karena tidak sempat berpikir jernih, semuanya dapat terjadi di saat jalan keluar dari permasalahan akibat kelalaian yang pada akhirnya hanya tinggal penyesalan setelah kelupaan merenggutnya. Sintaksis kekerasan pikiran seiring dengan sintaksis kelalaian. Disitulah alur pergerakan pengemudi dan Ayah terjatuh dalam kelalaian dimulai dan diakhiri dengan ‘pikiran dari luar’ diri kita.

Pengulangan kesalahan yang sama dari hari ke hari, dari tahun ke tahun sebagai akibat dari kelalaian yang tidak terpikirkan berubah menjadi daya tarik terhadap kelalaian. Seseorang tidak berpikir, bahwa akibat tidak menyelesaikan suatu kegiatan dianggap kecil ternyata berdampak besar pada nasib hidup manusia secara keseluruhan. Apa yang pernah orang memikirkan proses kegiatan sesungguhnya tidak terpikirkan. Kelalaian semacam itulah merupakan akhir dari gairah dalam senyap, runtuhnya ketekunan dan keteguhan untuk melawan segala rintangan.

Siapa yang mengetahui, jika seseorang yang dipercaya untuk memegang amanah di kantor, tempatnya bekerja, suatu saat akan lalai dari tanggungjawab. Dari pergerakan pikiran seseorang, tidak pusing mengurusi teori dan fakta, sekalipun ada celah untuk keluar dari pikiran. Tetapi, ia tidak mampu menahan dirinya dari pengaruh teman atau setan pikiran. Seluruh kepercayaan atau amanah diberikan padanya tidak dijaga, sehingga permasalahan semakin runyam hanya karena menerima fulus-uang sebagai “penggoda yang nyata” hingga akhirnya mampu menenggelamkan seluruh impiannya yang dia bangun sejak lama. 

Lain lagi, sekali seseorang berada dalam kelalaian, maka hal itu mengarah pada kepercayaan apa saja yang kita tidak untuk memperbincangkan, sekalipun mereka telah bersumpah serapah di hadapan pengadilan. Seseorang dengan pikiran di luar akan melihat peristiwa demi peristiwa atas pemikiran dari filsuf yang dipadatkan melalui buku-buku, tetapi lalai untuk menjaga kesehatan. Buku bukanlah sebagai penyebab kelalaian, tetapi stamina tubuh tanpa ketidakseimbangan antara pikiran di luar subyek yang berpikir dan arus obyek yang tidak terpikirkan bertumpang-tindih.

Dalam diskursus filosofis, setiap orang yang berada dalam kelalaian menjaga kesehatan akan menunjukkan bagaimana tubuh (murni) lebih kuat dari pikiran. Sedangkan, dari diskursus ilmiah, kelalaian dalam pelayanan kesehatan akan memengaruhi usia harapan hidup umat manusia. 

Gara-gara tidak keluar dari kelalaian ucapan, persahabatan hancur hanya karena salah satu pihak melebih-lebihkan apa yang di dengar dari orang yang belum pasti kebenarannya. Berbicara tanpa berpikir kritis membuat seseorang berada dalam kelalaian. Singkatnya, kengawuran dalam berbicara hingga akhirnya berada dalam kelalaian justeru tidak lebih dari ujaran kebencian pada salah satu pihak akan mengancam persatuan dan kekeluargaan. Terlalu bersemangat juga tanpa memerhatikan kata-kata dan tanda-tanda yang dipertanggungjawabkan secara logis dapat terjatuh dalam kelalaian. Seorang pengguna jalan menerobos begitu saja di tengah padatnya lalu lintas di saat rambu-rambu bergeser di lampu merah juga tergelincir dalam kelalaian terlepas dari unsur kesengajaan. Seseorang berpikir menuju cahaya kehidupan, tiba-tiba saja berhenti di tengah jalan hanya karena tertuju pada satu titik perhatian obyek yang kelihatannya samar-samar, akhirnya terjatuh dalam kegelapan. Seperti lilin yang meledak, daya tarik dari kelalaian yang menariknya. Tidak lebih dari itu, kehidupan dan pemikiran terancam bangkrut akibat merajalelanya daya tarik keserakahan yang membutakan pikiran. Seseorang tidak memiliki alasan yang jelas untuk mulai berpikir, dimana keserakahan merupakan bagian dari kelalaian begitu dekat dengan pikiran picik.

Sementara, kejahatan yang terselubung menunggu kelalaian seseorang tanpa dorongan dari fantasi kosong atau ingatan mendadak tidak menghubungkannya dengan subyek yang berbicara, berpikir dan berdusta. Dibandingkan membusuknya pikiran, lebih penting kita berpikir tentang hal-hal yang tidak terpikirkan melalui penanganan terhadap kehidupan dan pemikiran yang lebih problematis. Kelalaian berpikir dari yang tidak terpikirkan dalam momentum ganda: memikirkan dan tidak memikirkan tentang dusta dan kelalaian. Keduanya dapat berlangsung pada pikiran ‘di luar’ dari pikiran itu sendiri. 

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply