Oleh: Busri (Pegiat IMMovement Institute PC IMM Kota Makassar)
KHITTAH – “Musuh yang terbelenggu di dalam negeri sendiri siap untuk ditaklukkan” – Sun Tzu. Adagium tersebut adalah asumsi dasar bagi Siasat ke-5 Menjarah Rumah yang sedang Terbakar dalam Buku 36 Strategi Perang Cina Kuno yang ditulis Sun Tzu. Siasat ini mengambil keuntungan ketika musuh dalam keadaan sulit. Dengan memanfaatkan sepenuhnya kemalangan lawan, dimana pada akhirnya lawan akan kehilangan sumber daya untuk bertahan hingga akan mudah ditaklukkan.
Jika boleh berterus terang dan tanpa naif untuk diakui, juga dengan menafikan untuk menghalus-haluskan kata serta bersembunyi dibalik keadaban. Karena dunia yang kita hadapi sekarang adalah dunia yang sangat tidak beradab. Saya mengatakan ini untuk anggota parlemen kita. Mereka yang terpilih, sebagian besar bukan karena kemampuan mereka berbuat yang terbaik untuk rakyat yang diwakilinya. Melainkan, mereka terpilih karena mampu membeli dan mampu bertransaksi.
“Ambyar” – istilah Jawa untuk hal yang tidak terkonsentrasi lagi, remuk atau hancur. Begitulah kiranya gambaran masyarakat saat ini akibat perilaku Parlemen dengan segala motif dan siasatnya. Bagaimana tidak, mungkin masih segar dalam ingatan gerakan #ReformasiDikorupsi tahun lalu. Ketika itu semua elemen gerakan dari mahasiswa, buruh, hingga ke rakyat miskin kota, berjalan bersama memprotes beberapa undang-undang yang hendak diloloskan secara cepat oleh DPR periode lalu. Selama lima tahun DPR periode 2014-2019 mangkrak. Mereka tercatat sebagai DPR paling malas. Paling sedikit mengeluarkan produk undang-undang. Ketika masa jabatannya hanya tinggal beberapa minggu saja, meraka mamaksakan untuk meloloskan banyak undang-undang kontroversial. Hanya protes besar-besaran yang mampu menghentikan mereka.
Revisi UU KPK yang dinilai mengebiri keberadaan KPK adalah salah satu agenda besar yang menggerakkan protes kala itu. UU itu disahkan DPR menjadi UU No. 19/2019. Menghadapi protes yang hebat, Presiden Jokowi berjanji menerbitkan Perppu untuk membatalkannya. Janji yang tidak pernah menjadi kenyataan. Sudah lama kita tidak menyaksikan para politisi bersatu padu seperti ketika membela undang-undang ini. Kesatuan suara dan kebulatan tekad seperti ini hanya terjadi pada rezim Soeharto. Tentu saja mereka harus satu suara karena kalau tidak mereka akan ditendang dan ditindas oleh Soeharto.
Tidak terlalu sulit untuk memahami tingkah laku ini. Kepentingan menyatukan mereka. KPK yang mandiri dan tidak bisa dikontrol akan menjadi ancaman untuk mereka. Sebagian besar penghuni penjara khusus koruptor adalah para politisi dan konco-konco pengusahanya. Pengebirian terasa sampai sekarang. Tidak ada lagi operasi-operasi tangkap tangan. Tidak ada lagi pengintaian. Para pegawai KPK sekarang menjadi pegawai negara- dengan segala jatah dan kepatuhannya kepada pimpinan. Lembaga ini tewas mengenaskan. Seperti lembaga-lembaga lain yang dulunya pernah menjadi lembaga independen.
Itikad buruk parlemen seperti ketika meloloskan UU KPK – yang lolos hanya beberapa minggu sebelum masa jabatan DPR berakhir, tampaknya akan diulangi lagi. Sukses DPR membahas satu undang-undang tampaknya tergantung dari kesempatan mereka untuk menyembunyikannya dari publik. Bahkan pada bulan April kemarin masih disempatkannya parlemen untuk membahas tindak lanjut RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan. Undang-undang yang ditentang lewat protes besar #ReformasiDikorupsi.
Inilah yang hendak saya narasikan, betapa parlemen agaknya memanfaatkan sepenuhnya kemalangan yang menimpa masyarakat untuk meraup keuntungan ketika masyarakat dalam keadaan sulit. Kita tahu, sekarang ini semua orang terkurung oleh karantina virus Covid-19. Semua kantor swasta dan pemerintah bekerja dari rumah. Orang tidak keluar rumah. Jalanan sepi. Tidak untuk DPR. Tiba-tiba mereka menjadi rajin dan bersemangat. Mereka seakan menjadi pelopor kerja keras. Berani mati dan tetap bekerja sekalipun berisiko tertular virus Corona. Mereka pun sudah membuat persiapan mengamankan dirinya dengan menciptakan keistimewaan untuk dirinya dan keluarganya.
Tapi, benarkah mereka tulus untuk bekerja ditengah-tengah pandemi virus Corona ini. Teringat saya dengan kutipan seorang sosiolog, yang mengatakan “sikap adalah fungsi dari kepentingan”. Lalu apa kepentingan DPR bersidang ditengah krisis pandemik ini? Ternyata tidak banyak berubah. Saat ini saya membaca bahwa mereka (DPR dan juga pemerintah) kian memanfaatkan sepenuhnya kemalangan yang menimpa masyarakat dengan Pemerintah mengeluarkan Perpres No. 64 Tahun 2020 tentang kenaikan iuran BPJS dan DPR yang merevisi UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menjadi Undang – Undang baru.
Disahkannya UU Minerba baru itu menjadi gelaran karpet merah bagi elit pemerintah, yang kita tahu di Indonesia beberapa perusahaan tambang memiliki afiliasi yang kuat dengan para pemangku kepentingan dan yang tak kalah penting dampak ekologis akibat aktivitas tambang semakin menghantui masyarakat. Ditambah lagi, akses warga kian hilang dan terpinggirkan karena dalam undang-undang itu menegaskan penetapan kegiatan pertambangan yang disepakati wilayah pertambangan sebagai bagian dari wilayah hukum pertambangan, tak dapat dipungkiri penetapannya akan cenderung tidak mengenal batas (Poin 2 perubahan UU Minerba). Kenaikan BPJS sendiri – yang termasuk daftar protes dalam agenda besar #ReformasiDikorupsi – semakin memperkeruh kondisi masyarakat khususnya bidang kesehatan yang tengah menghadapi wabah Covid-19.
Sekali lagi, sikap adalah fungsi kepentingan. Ditengah-tengah ketakutan, kebingungan, kegelisahan, dan ketidakpastian yang melanda rakyat Indonesia akibat adanya wabah Covid – 19 ini, para anggota DPR tetap bersikeras menjalankan agenda mereka sendiri. Tidak sedikit pun mereka peduli akan bagaimana membuat kebijakan untuk meringankan beban rakyat.
Mereka sibuk menyelamatkan kaumnya – kaum elit politik negeri ini yang sudah dibekali dengan segala hak istimewa.Dengan memanfaatkan ketidakpedulian dan kelengahan masyarakat – boleh dibilang yang tidak melihat manfaat dari perwakilan mereka – akhirnya anggota-anggota parlemen ini bisa duduk di kursinya yang empuk. Inilah problem demokrasi elektoral kita.Memperbaikinya butuh waktu panjang dan kerja keras. Namun, sekalipun banyak yang berkeinginan untuk memperbaiki sistem ini, mereka dihancurkan oleh politik partisan. Oleh perdebatan yang direkayasa seakan-akan ada dua kubu berlawanan. Namun pada hakikatnya kubu-kubu itu sejenis dan sepenaggungan. Bahkan ketika dua kubu ini bersatupun, gontok gontokan itu masih terpelihara dengan rapi.
Sebagai konklusi ambyar – dari saya selaku bagian dari masyarakat yang remuk atau bahkan hancur hatinya – oleh sikap parlemen dan pemerintah. “Memalukan” adalah kata yang terlalu lembut untuk sikap seperti ini. Mungkin ungkapan terbaik untuk menggambarkannya adalah “Menjarah Rumah yang sedang Terbakar”. Saya jadi teringat pula ungkapan Menteri Pertahahan Prabowo Subianto saat kontestasi Pilpres 2014 lalu, “Rampoklah rumah itu ketika ia sedang terbakar”. Pepatah itu adalah sebuah realisme politik yang sangat sinis. Dimana realitas produk hukum kian memperlihatkan wajah negara dalam logika korporatokrasi. Sialnya, parlemen saat ini justru sedang mempraktekkanya secara murni dan konsekuen.