Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Mengugat Penyebar Ujaran kebencian (Hoax) Dalam prespektif HAM.

×

Mengugat Penyebar Ujaran kebencian (Hoax) Dalam prespektif HAM.

Share this article

Oleh: Anggar Putra, Mahasiswa Hukum Tatanegara Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar.

KHITTAH.CO, Makassar – Konsepsi Negara Hukum atau rechtsstaat/rule of law yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD NRI’45, bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” berarti setiap pelaksanaan kegiatan kenegaraan harus berlandaskan pada ketentuan hukum dan
menganut prinsip supremacy of law yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (human rights).

Salah satu hak asasi manusia dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah hak untuk berekspresi atau menyampaikan pendapat yang merupakan bagian dari hak politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang Legitimasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Covenant on Civil and Political Rights). Sebelumnya Indonesia telah mensahkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang juga mengatur secara implisit konsep hak politik yang dituangkan dalam Pasal 23 UU a quo, “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.” Kemudian, ditegaskan kembali pada Ayat 2, Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara. Artinya, Undang-undang telah memberikan Kepastian Hukum tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi yang merupakan representatif dari hak politik.

Kebebasan berpendapat adalah salah satu klasifikasi HAM yang bersifat Derogable Right termaksud kebebasan akademik yang merupakan representatif kebebasan berpendapat dan berekspresi. Asumsi dasar, hal tersebut sebagai proses pengembangan otonomi perguruan tinggi yang dituangkan dalam ketentuan Pasal 28E ayat 3 UUD NRI’45 sebagai instrumen dasar lahirnya regulasi tentang kebebasan akademik yang ditegaskan dalam Pasal 8 Ayat 1 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi bahwa, dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Hal tersebut juga ditegaskan Dalam Pasal 24 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menegaskan bahwa, dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi (PT) berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.

Menolak diam atas insiden yang terjadi pada sekelompok rekan-rekan Mahasiswa Konsentrasi Hukum Tatanegara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang tergabung dalam kelompok studi mahasiswa “Constitusional Law Society” yang mengalami tindakan diskriminasi, intimidasi, ancaman verbal, dan diteror untuk dibunuh atas kegiatan Diskusi dan Silahturahmi Bersama Negarawan dengan tema “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang pada akhirnya kegiatan tersebut dibatalkan.

Melalui mimbar publik (Media sosial) penulis menuntut adanya kebebasan akademik secara heterogen sebagai representasi dari kebebasan berpendapat dan berekspresi yang merupakan klasifikasi dari Hak Asasi Manusia yang telah diatur secara eksplisit dan implisit dalam konstitusi negara. Mendesak aparat penegak hukum untuk melindungi kegiatan yang dilakukan oleh civitas akademika sebagai representasi dari kebebasan akademik dan memberikan perlindungan terhadap panitia pelaksana Diskusi dan silahturahmi bersama negarawan dan seluruh member of Constitusional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta atas tindakan koersif punitif yang diskriminatif dan intimidasi.

Justitie non est neganda differenda – Keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply