Oleh : Agusliadi*
Hari ini, 18 November 2020 berdasarkan hitungan miladiyah, Muhammadiyah telah genap berumur 108 tahun. Muhammadiyah lahir 18 November 1912 Masehi. Pada milad Muhammadiyah kali ini, ditetapkan tema “Meneguhkan Gerakan Keagamaan Hadapi Pandemi dan Masalah Negeri”.
Tema ini bukan hanya slogan tetapi menunjukkan sikap Muhammadiyah dan karakter gerakannnya dalam merespon setiap realitas sosial yang sedang mengitari dan dihadapinya. “Pandemi” dan “masalah negeri” adalah dua hal yang tentunya harus kita akui sebagai sebuah problematika yang telah memorak-porandakan tatanan multidimensi kehidupan dan harus dihadapi hari ini.
Muhammadiyah sebagai entitas bangsa yang memiliki posisi strategis dan salah satu kiblat harapan masa depan. Muhammadiyah tidak akan pernah tinggal diam menghadapi situasi yang berpotensi menenggelamkan “kapal kebangsaan”, atau minimal kapal kebangsaan ini terasa “oleng” mengarungi samudera kehidupan menuju pulau harapan.
Muhammadiyah dalam menghadapi realitas sosial apapun, senantiasa mengedepankan sikap positif, adaptif, konstruktif dan kontributif serta sangat strategis dan penuh keteladanan. Sikap ini bukan sesuatu yang lahir begitu saja, secara tiba-tiba/spontan. Sikap ini adalah merupakan “DNA“ gerakan Muhammadiyah yang bisa di buka lembaran historisitasnya, dalam perjalanan gerakannya sejak lahir.
“DNA” ini secara geneologi telah built-in dalam diri Muhammadiyah. Seperti apa DNA yang dimaksud? Dalam berbagai referensi/literatur yang ada, baik yang tertuang dalam “Statuten Muhammadiyah” tahun 1912 maupun statuten tahun 1914 dan paradigma pemikiran, etos dan teologi yang mengiringi perjalanan Muhammadiyah—dan telah berhasil memasuki abad keduanya—telah dikenal bahwa “Muhammadiyah itu Gerakan Islam yang menjalankan misi dakwah dan tajdid”.
Sebagaimana dalam kolom “tajuk” Majalah Suara Muhammadiyah edisi 22 (16-30 November 2020), di tegaskan bahwa “Sejak berdiri tahun 1912 Kiai Haji Ahmad Dahlan benar-benar menjadikan Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, artinya gerakan keagamaan yang menjadikan Islam sebagai landasan, misi, dan cita-cita utama”. Dan sampai hari ini, tidak pernah berubah bahkan semakin meneguhkan gerakan keagamaannya tersebut tanpa kecuali dalam menghadapi pandemi dan masalah negeri hari ini.
Telah dijelaskan pada bagian atas bahwa Muhammadiyah “senantiasa mengedepankan sikap positif, adaptif, konstruktif dan kontributif serta sangat strategis dan penuh keteladanan”. Sikap ini adalah bentuk konkret, karakter nyata dan ideal Muhammadiyah sebagai buah dari pandangan keagamaannya yang menjadi Islam sebagai landasan, misi dan cita-cita utamanya.
Muhammadiyah memiliki keteguhan keyakinan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin, Islam adalah Shalih Likulli Zaman wal Makan, mampu “menembus” luasnya ruang dan “berjalan” bersama aliran waktu. Kredo “Islam sebagai solusi”, saya yakin Muhammadiyah meyakini ini, meskipun dalam pemahaman dan implementasinya berbeda dengan yang dimiliki oleh “Ormas” Islam yang lain.
Pemahaman ke-Islam-an yang dimiliki Muhammadiyah yang bisa dimuarakan dalam satu diksi—dan bahkan sebagai sebuah paradigma—“Islam Berkemajuan” menjadi modal utama dan terbaik dalam menghadapi pandemi dan masalah negeri. Dan pemahaman ini terimplementasi secara baik dan nyata dalam realitas sosial, sehingga Muhammadiyah dalam menyikapi apapun persoalan hidup, senantiasa menampilkan sikap, apa yang saya sebut dengan “sikap yang positif, adaptif, konstruktif dan kontributif serta sangat strategis dan penuh keteladanan”.
Sebagai “buah” dari pandangan keagamaan Muhammadiyah, salah satu contohnya dalam menghadapi pandemi Covid-19, Muhammadiyah menunjukkan sikap positif dengan penuh keteladan. Muhammadiyah tidak mau terjebak pada narasi yang secara massif diproduksi dan direproduksi bahwa pandemi Covid-19 adalah “hasil konspirasi” dan “tentara Tuhan”.
Ini relevan, sebagaimana dijelaskan dan ditegaskan oleh Syamsul Anwar dalam buku Fikih Kebencanaan (2015, h. vii), secara substantif, saya dan kita semua bisa memahami bahwa sesungguhnya Muhammadiyah dalam pemahaman kebencanaannya (tentunya termasuk persoalan pandemi), “…dibangun dari sebuah kesadaran tauhid, yakni memahami seluruh peristiwa selalu terkait dengan ke-Esa-an Allah”.
Bangunan pemahaman keagamaan Muhammadiyah ini, bukan hanya melihat bencana (termasuk pandemi Covid-19), berdasarkan orientasi-orientasi teologis dan kesan-kesan psikologis sesuai uraian Gery Stern, “…bagaimana Islam memandang bencana…” sebagaimana telah dikutip oleh Syamsul Anwar. Muhammadiyah lebih daripada itu, sampai memandang dan merespon bencana secara teologis, psikologis, preventif-antisipatif, dan kuratif (search, rescue and recovery). Dan sesuai dengan Fikih Kebencanaan yang telah dirumuskan secara kelembagaan melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, Muhammadiyah berupaya, “…memahami bencana dalam konteks values, principle, dan norms, artinya bencana dengan perspektif yang sangat kompleks, melibatkan spektrum luas dari ajaran Islam”.
Apa yang dipahami Muhammadiyah, tidak berhenti dalam dataran pemahaman saja, tetapi nyata dalam karakter gerakan dan realitas sosial dalam menghadapi pandemi. Muhammadiyah memberikan keteladanan dan solusi terbaik. Muhammadiyah menjadi garda terdepan dengan membentuk MCCC (Muhammadiyah Covid-19 Command Center), melibatkan ribuan tenaga medis dan non medis, menggelontorkan ratusan miliar dana serta memaksimalkan pemanfaatan fasilitas yang dimiliki—terutama rumah sakit—dan bahkan telah mengorbankan puluhan jiwa, kader terbaiknya yang berperan dan “berperang” sebagai tenaga medis demi penanggulangan dan pencegahan penularan Covid-19 yang bergerak cepat.
Muhammadiyah meskipun menjadikan agama, hal transendental, keyakinan ilahiah sebagai “nafas” pergerakannya tetapi Muhammadiyah tidak terjebak pada pemahaman noe jabariyah yang berpasrah penuh bahwa hidup dan mati kita adalah takdir Ilahi. Muhammadiyah mengedepankan integrasi Nalar “Bayani”, “Burhani” dan “Irfani” dalam menyikapi pandemi. Menjadi kesadaran bersama—khususnya dalam konteks Indonesia—pandemi di dalamnya terdapat relasi antara agama dan ilmu. Dan dalam relasi ini sebagaimana di kutip Amin Abdullah dari Ian G. Barbour ada empat corak: Konflik, Independen, Dialog dan Integrasi (Jurnal Maarif; 15 (1/Juni 2020), h. 11-39).
Muhammadiyah, saya yakin sebagaimana apa yang dipahami oleh Amin Abdullah dalam merespon pandemi tidak mengedepankan linearitas dan monodisiplin tetapi mengedepankan—apa yang sedang dipopulerkan secara massif oleh Amin Abdullah sebagai paradigma baru, MIT—Multidisplin, Interdisiplin dan Transdiplin. Sebagaimana Barbour, Muhammadiyah mengedepankan dialog dan integrasi. Inilah yang membuat Muhammadiyah tetap konsisten menampilkan tindakan terbaik dan solusi nyata atas dasarnya pijakan pandangan yang memiliki otoritas dalam persoalan pandemi dan virus.
Begitupun dalam merespon masalah negeri secara umum, Muhammadiyah mengedepankan sikap apa yang saya sebut dengan “sikap yang positif, adaptif, konstruktif dan kontributif serta sangat strategis dan penuh keteladanan”. Meskipun Muhamadiyah menyadari bahwa persoalan negeri tanpa kecuali dalam persoalan krisis moral dan akhlak termasuk korupsi semakin menyesak(t)kan dan Muhammadiyah meyakini betul bahwa “Islam adalah solusi”, namun sesungguhnya Muhammadiyah tidak sedang dan tidak akan pernah menawarkan Islamisme yang menawarkan pilihan absolute “negara Islam”. Sebagaimana saya pahami dari Bassam Tibi (2016) antara Islam dan Islamisme memiliki pengertian dan spirit yang memiliki garis diametral yang berjauhan.
Muhamadiyah tetap konsisten dan berkomitmen bahwa “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah”, dari komitmen ini, Muhammadiyah secara institusional maupun secara persolan (oleh kader-kader, ilmuwan, cendekiawan dan para pemikirnya) terus mereproduksi discourse untuk menguatkan dan bahkan mengimplementasi tindakan-tindakan nyata sebagai bentuk pembuktian dari komitmennya tersebut. Dalam pandangan Muhammadiyah Negara Pancasila bukan hanya sebagai sebuah konsensus tetapi wajib dibuktikan dalam realitas sosial apa yang menjadi komitmen tersebut. Inilah pula yang mendasari sehingga Muhammadiyah senantiasa mengedepankan high politics.
Dalam masalah negeri ada banyak paradigma, sikap yang dirumuskan dan diimplementasikan bahkan melampau daripada itu, Muhammadiyah sudah mengedepan sikap dan pemikiran yang lebih relevan kondisi kehidupan global.
Keteguhan gerakan keagamaan Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi dan masalah negeri, bisa juga ditemukan basis teologisnya. Muhammadiyah sebagaimana teologi Al-Ma’unnya—termasuk yang telah melahirkan etos welas asih—memandang: Pertama, ukuran kesalehan individual tercermin dari kepedulian sosialnya. Kedua, spirit kasih sayang dan kepedulian adalah hal urgen dalam menghadapi kehidupan dan bahkan ini dipandang sebagai antitesis dari paradigma darwinisme yang seakan mengabaikan kebersamaan dan tolong menolong melainkan mengedepankan persaingan dan individualistik.
Selain daripada itu basis teologis lainnya, Muhammadiyah sebagai teologi Al-Ashr, memandang realitas sosial bukan sesuatu yang harus dihindari atau dipandang sebagai sesuatu “tantangan” yang relevan dengan persepsi negatif. Muhammadiyah dalam memandang realitas sosial merupakan sebuah sunnatullah yang harus dipandang sebagai sebuah peluang, pembelajaran (memetik hikmah didalamnya). Muhammadiyah dengan teologi Al-Ashr, jika memahami buku karya Zakiyuddin Baidhawy dan Azaki Khoirudin, Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban (2017) senantiasa mengedepankan paradigma apresiatif. Melihat segala sesuatunya dari potensi atau peluang yang ada. Dan terbukti bagi Muhammadiyah, pandemi ini—meskipun banyak dampak negatifnya— tetap memandang sebagai sebuah momentum untuk bertransformasi secara massif dalam kehidupan Revolusi Industri 4.0 atau peradaban digital.
Tulisan ini hanya sepercik perspektif dari tema Milad ke-108 Muhammadiyah.
…..
*Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng, yang sekarang menjabat sebagai Komisioner KPU Kab. Bantaeng, Periode 2018-2023