Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Optimalisasi Media dan Pembumian Literasi Ikatan

×

Optimalisasi Media dan Pembumian Literasi Ikatan

Share this article

Oleh: Agusliadi

KHITTAH.CO, Opini – Mencermati atmosfer kehidupan hari ini, banyak hal paradoks sebagai konsekuensi logis dari perkembangan dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang beriringan dengan “disposisi sikap” yang rendah terhadap perkembangan dan kemajuan tersebut. Disposisi sikap yang rendah ini relevan dengan apa yang disebut oleh Yudi Latif (2020), “miskonsepsi tentang industri” dan “miskonsepsi tentang teknologi”.

Frase “optimalisasi media” dan “pembumian literasi ikatan”, berdasarkan kondisi kehidupan hari ini, ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan antara satu dan lainnya. Harus saling menguatkan, terintegrasi, berkolaborasi positif untuk memberikan manfaat sebesar mungkin dan menjangkau lingkup dan/atau epistem sosial yang lebih luas.

Optimalisasi media—yang dalam frase ini—terutama dimaksudkan media sosial dan media online, hanya bisa dimanifestasikan ketika literasi menjadi ruh dibaliknya. Ketika literasi khususnya dalam ikatan/komunitas—ikatan yang dimaksud disini, sesungguhnya adalah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah karena judul di atas adalah tema/judul yang diamanahkan ke saya pada saat Dialog Akhir Tahun oleh Pikom IMM Butta Toa, Cabang Bantaeng, pada tanggal, 13 Desember 2020 yang lalu—mampu dibumikan.

Sebaliknya pembumian literasi ikatan—dan/atau komunitas apapun yang lainnya—salah satu instrumen yang harus mendapatkan porsi perhatian serius dan lebih (daripada yang lainnya) adalah optimalisasi pemanfaatan media sosial. Optimalisasi media, tentunya bisa bermakna ganda: positif dan negatif. Dan hanya dengan liteasi maka optimalisasi media dalam makna positif mampu dimanifestasikan dalam realitas kehidupan.

Bagi pembaca yang pernah membaca tulisan saya “Habitus Membaca Buku dan Menulis di Media Online” terbit di media online www.mengeja.id tanggal 15 Desember 2020. Mungkin menilai tidak jauh beda dengan tulisan saya ini, namun yakin saja dalam tulisan ini, ada hal (baca: perspektif) baru yang perlu dipahami oleh pembaca. Atau minimal saling melengkapi dan menguatkan. Jadi sebaiknya selain membaca tulisan ini, membaca juga tulisan yang saya maksudkan di media online www.mengeja.id tersebut.

Pemanfaatan media sosial secara optimal, tidak semuanya bermuara pada persepsi dan perspektif yang “positif”. Kita bisa menemukan banyak hal yang bermuara pada hal “negatif”. Media sosial banyak menyuguhkan berita bohong dan palsu, caci maki dan kebencian, opini yang menyesa(t/k)kan. Seringkali opini yang lahir hanya dari keinginan dan perasaan tanpa ditunjang fakta objektif dan pijakan ilmu pengetahuan mampu dan menjadi penyulut amarah dan kisruh yang lebih besar.

Media sosial sebagai konsekuensi logis dari peradaban digital atau revolusi industri 4.0 menimbulkan dampak dan berkontribusi besar lahirnya post truth. Selain itu the death of expertise (matinya kepakaran), sebagaimana ditengarai oleh Tom Nichols (2018), timbulnya chaos, dan sebagaimana Bernando J. Sujibto (2018), kesadaran kritis kalah oleh hamburan emosi dan opini di dunia virtual.

Meskipun demikian, tentunya kita, terutama saya memandang bahwa tidah harus juga mengedepankan perspektif nihilistik, yang memandang media sosial sangat buruk, dan tidak ada sama sekali dampak positifnya. Media sosial tetap memberikan dampak positif terutama untuk kepentingan mengambil peran dan berkompetisi di era disrupsi. Begitupun—berbeda dengan Harari dan Nia Lavinia (2018) memandang ”kelas rebahan” sebagai useless class dan “pekerjaannya diambil alih oleh robot cerdas”, saya memandang bahwa media sosial mampu menjadi ruang strategis bagi “kelas rebahan” untuk memaksimalkan usahanya menggapai harapan dan target-target hidupnya.

Meng-counter dampak negatif dan untuk mengoptimalkan media sosial untuk arah dan kepentingan positif, maka satu hal yang harus menjadi kata kunci adalah “literasi”. Hanya dengan literasi maka kita akan mampu memahami dengan baik dan menetapkan sikap dan pilihan untuk memilih dan mendapatkan hal positif media sosial untuk dimaksimalkan. Literasi termasuk mampu mengubah “disposisi sikap” yang rendah menjadi lebih baik. Dengan disposisi sikap yang baik dan tinggi mampu mengoptimalkan media sosial bukan hanya dalam dimensi teoritik tetapi dalam dimensi praxis. Mengoptimalkan secara termasuk secara pragmatis.

Literasi yang dipahami secara sederhana—selain berbagai defenisi yang beragam dari para pakar—adalah sebuah kemampuan dan keterampilan berupa kemampuan membaca dan kemampuan lainnya untuk memahami realitas kehidupan dan segala problematikan yang mengitarinya serta mampu memberikan dan menjadi solusi terhadapnya. Yang perlu dimiliki terutama literasi dasar: literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial dan literasi budaya dan kewargaan.

Dari literasi dasar saja—jika kita mampu memahami dengan baik—minimal literasi baca tulis, literasi digital dan literasi budaya dan kewargaan, sudah mampu meng-counter segala problematika, dampak negatif yang sangat menyesa(t/k)kan di media sosial. Apalagi jika dikembangkan lebih jauh dan dipahami lebih dalam akan mampu memberikan pencerdasan dan pencerahan.

Seperti, salah satunya—relevan dengan tesis Yudi Latif (2020)—terkait “miskonsepsi tentang industry” dan “miskonsepsi tentang teknologi”. Karena literasi kita rendah sehingga terjadi “miskonsepsi”. Terkait industri dan teknologi, bagi Yudi Latif (2020: 7-11) kita masih samar-samar memahami makna dan cakrawalanya.

Industri dan pendidikan yang berorientasi industri dipahami hanya sebatas “kesanggupan memasok ‘suku cadang’ siap pakai (siap latih) bagi perputaran roda mesin dan laju produksi”. Padahal lebih daripada itu sejatinya dipahami relasinya dengan gejala sosio-kultural, fungsi transformasi yang berefek pada perubahan dalam kultur dan institusi kemasyarakatan. Begitupun teknologi—sebagaimana Johan Galtung dalam Yudi Latif—“adalah naif memandang teknologi sebatas persoalan hardware, keterampilan, dan software belaka.”

Komponen ini hanya tampilan permukaan. Tetapi lebih daripada itu “struktur terdalam, berupa kerangka mental, kosmologi sosial berperan sebagai lading subur di mana benih-benih pengetahuan tertentu bisa tertanam, tumbuh dan membangkitkan pengetahuan baru”, (Yudi Latif: 2020).

Sekali lagi saya ingin berkata bahwa literasi “sangat penting”. Namun tentunya literasi—baik secara teoritik maupun praxis—jangan hanya sekedar menjadi pemahaman dan aktus seseorang atau hanya menjadi pengisi waktu luang bagi seseorang, namun perlu menjadi habitus, harus bahkan sebenarnya “wajib” dibumikan. Ada proses “pembumian”.

Khususnya, bagi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah termasuk bagi kader Muhammadiyah, persoalan literasi, sebenarnya bukan lagi untuk dibumikan tetapi yang harus dilakukan adalah “reaktualisasi” dan “revitalisasi” literasi dalam diri kader dan ikatan.

Muhammadiyah jika meminjam pendekatan Sosiolog asal Perancis, Pierre Bourdieu—sebagaimana Hadi Saputra telah meminjam untuk membaca fenomena terpilihnya kader Muhammadiyah dalam Pilkada 2020, terbit di Tribun Timur tanggal 16 Desember 2020. Muhammdiyah memiliki habitus literasi yang baik, dan bahkan menampilkan preseden historis yang layak menjadi panutan dan pemantik kesadaran akan literasi.

Berdasarkan preseden historis yang ada, Majalah Suara Muhammadiyah sebagai salah satu penanda literasi terbit tahun 1915 dan masih bertahan sampai sekarang, seabad lebih dan terus menebarkan pencerdasan dan pencerahan. Rumusan Bourdieu (habitus x modal) + ranah = praktik mampu dikontekstualisasikan dalam spirit literasi Muhammadiyah tanpa kecuali Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, sehingga memperkuat tesis bahwa sesungguhnya bagi ortom dan kader Muhammadiyah, bukan lagi pembumian literasi, tetapi “reaktualisasi” dan “revitalisasi”. Gerakan Muhammadiyah, landasan paradigmatik, ideologis dan teologisnya semakin kokoh dan mampu mengantarkan Muhammadiyah melintasi abad keduanya karena ditunjang oleh literasi yang sangat baik oleh pendiri, pimpinan dan kader-kadernya.

Muhammadiyah mampu menjadi gerakan Islam yang moderat, sikap dan tindakannya senantiasa menjadi teladan yang baik tanpa kecuali dalam menghadapi pandemi covid19 karena ditunjang oleh literasi yang baik. Kader-kader Muhammadiyah, termasuk Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dimanapun tanpa kecuali para pimpinan ortom lainnya, telah memiliki berada dalam spektrum habitus, modal dan ranah yang mampu melahirkan “praktik” literasi.

Literasi selanjutnya yang dibutuhkan oleh para kader dan ortom termasuk Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah literasi yang mampu memantik pemahaman bahwa sesungguhnya dalam tubuh “induk”-nya: Muhammadiyah, telah memiliki apa yang dirumuskan Bourdieu yang bisa menjadi instrument faktor filosofis untuk mencapai harapannya—yang dalam konteks sebagaimana judul di atas— “pembumian literasi”.

Namun selain itu tentunya harus mampu memahami kondisi peradaban sedang mengitari sekarang ini, sehingga keberadaan media sosial untuk dioptimalkan bisa berfungsi sebagai “modal” dan “ranah” pembumiaan literasi—jika meminjam perspektif Sosiologi Perancis, Bourdieu.Apalagi jika memperhatikan tahapan nilai dalam perkembangan masyarakat—sebagaimana perspektif Baudrillard—sudah sampai tahap keempat, viral. Apa yang viral bisa mempengaruhi nalar, termasuk untuk diikuti secara massif oleh orang lain, seperti itu saya memahaminya.

Penulis adalah Komisioner KPU Bantaeng 2018-2023 juga Mantan Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Bantaeng me

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply