KHITTAH.CO, Opini – Dunia politik dan hukum kian tak bertuan, kendali tak disatu tangan, ia menyebar ke berbagai arah. Distribusi kekuasaan yang tak terkendali berbahaya, tidak saja bagi kepentingan demokrasi jangka panjang, tetapi juga bagi stabilitas masyarakat beradab.
Kita selalu merasa sukses keluar dari “gertakan” konflik politik secara fisik seperti saat Pemilu dan Pilkada. Dengan nada optimisme yang berlebihan, kita mengatakan “sukses melewati pesta demokrasi”. Pada titik artifisial, kita semua tentu setuju, bahwa konflik dan perang fisik warga sipil tidak terjadi, dan tentu saja dianggap kita mampu “menerjang” ancaman konflik secara damai.
Namun dibalik itu, tak lupa pula kita bercermin pada soal kualitas yang kita capai, seperti; “sejauh apa Pemilu bermanfaat bagi publik, seberapa besar peran serta kekuasaan menyelesaikan masalah, dan apakah semua itu dilakukan dalam koridor demokrasi yang substansial?”.
Sejauh jarak yang telah kita tempuh belakangan, optimisme artifisial itu kadang tak pernah memenuhi harapan substansial. Demokrasi kita, pesta perebutan kekuasaan kita, tak benar-benar untuk kepentingan rakyat. Semuanya adalah jalinan kerja rantai para “tuan” yang bisa disebut secara sederhana dengan “oligark”.
Pertempuran oligarki di Indonesia sungguh merupakan pertempuran yang cukup penting untuk dipajang di etalase tontonan kita. Mereka adalah para pemegang kendali politik, para penguasa, pemilik modal atau yang berada dalam lingkaran itu. Tujuannya adalah perebutan sumberdaya politik dan akses keuangan negara, perlindungan usaha, kemudahan izin bisnis dan tentu saja stabilitas modal mereka. Disamping menghindar dari perburuan sebagian penegak hukum yang belum bisa mereka beli, juga untuk menghancurkan oligarki lawan yang mungkin datang mengancam stabilitas harta dan bisnis mereka.
Produksi legislasi yang nir-partisipasi dan dituding anti demokrasi sepanjang tahun 2020, membawa korban kekerasan dan ancaman fisik, tidak bisa hanya dibaca sekedar menjaga stabilitas politik dalam negeri, tetapi lebih luas lagi, bahwa itu adalah upaya untuk menjaga stabilitas pertahanan kekayaan oligarki. UU Cipta Kerja yang ditolak dari segala penjuru, dibikin terburu-buru, oleh para penghulu kekuasaan, tidak bisa dianggap sebagai produk politik untuk melindungi kepentingan rakyat, tetapi, cenderung berpihak dan berkonsentrasi pada kepentingan para pemilik modal. Siapa Mereka?. Para oligarki yang “bersenggama” dengan kekuasaan atau malah mereka melebur satu sama lain.
Kini, tahun ini, kita akan menghadapi banyak tantangan lain yang mesti kita hadapi. Sebab tahun-tahun yang berlalu, banyak konflik dan ketegangan yang berakhir tanpa ujung, juga sebagian melibatkan oligarki yang bersenyawa dengan demokrasi. Pertanyaan lain, kenapa Pilkada dipaksakan untuk dilaksanakan ditengah pandemi?. Jawaban sederhananya. Bawah perebutan kekuasaan lebih penting daripada keselamatan rakyat. Nyatanya, pasca Pilkada, angka korban virus terus melonjak, dan para oligark, sudah selesai hajatannya.
Pertempuran antara mereka adalah pertempuran yang tak terlihat, tetapi dirasakan dampaknya, bukan hanya untuk masa kini, tapi bisa berefek hingga puluhan tahun ke depan. Pertempuran yang jelas tak punya orientasi untuk kepentingan publik, tetapi tak lain hanya untuk keselamatan kapal bisnis dan oligarki mereka.
Belakangan kita disodori lagi perang antara Moeldoko dengan partai Demokrat, sementara kasus Korupsi Jiwasraya dan Asabri mengemuka. Apa pentingnya perang Partai Demokrat dan Moeldoko untuk kita?. Adalah pertanyaan terpisah jika disandingkan dengan pertanyaan lain. “apa pentingnya perang antara Moeldoko dengan Demokrat dalam kacamata demokrasi?. Model pertanyaan ini bisa diajukan pula, apa pentingnya pemerintah membubarkan FPI?. Kenapa mesti ada darah yang tumpah hanya untuk menghadapi anak-anak bangsa yang secara fisik hanya bisa ditekuk satu dengan tangan?.
Kita tidak bisa membaca ini sebagai peristiwa kematian dan FPI. Pun tidak bisa kita baca bahwa perang Moeldoko dan Demokrat adalah perang individu dan partai. Di dalam politik, tumbal selalu diperlukan untuk stabilitas pertahanan kekayaan aliansi oligark. Mereka tak memerlukan nyawa orang untuk diselamatkan, jika ada kepentingannya terganggu. Sama dengan eksistensi oligarki yang tidak mengenal rezim politik. Ia tidak peduli demokratis atau otoriter, Oligarki bisa bersenyawa dimana saja. Oligarki tidak peduli kita memilih Republik atau Monarki, ia akan merasuk di dalamnya.
Karena itu, perang politik yang datang dan pergi belakangan ini, sepenuhnya adalah perang beberapa gelintir manusia yang tuna kuasa tapi haus harta. Seluruhnya adalah untuk penumpukan modal serta pertahanan kekayaan, dan semua itu mencari perlindungan dari Negara. Wallahu a’lam bishowab.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin