Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Belajar Politik Dari Pengalaman Berpolitik

×

Belajar Politik Dari Pengalaman Berpolitik

Share this article

Oleh: Hajriyanto Y. Thohari

KHITTAH.CO, OPINI – Beberapa teman muda Muhammadiyah meminta saya berbagi pengalaman menulis tentang perpolitikan kader Muhammadiyah. Sungguh ini tidak mudah bagi saya. Pasalnya, tidak banyak, dan hanya beberapa orang saja, tokoh puncak Muhammadiyah yang terjun ke dunia politik secara professional, total dan terus terang. Kebanyakan, kalau toh ada, masuk gelanggang politik kurang terus terang, melainkan hanya bersifat coba-coba alias trial and error, dengan sedikit malu-malu. Artinya, berpolitik ala kadarnya saja atau sekadar test the water: sekadar menjajaki saja kira-kira sedalam dan sepanas apa permainan politik itu. Selanjutnya lantas keluar lagi dan kemudian kembali lagi menjauhi politik atau kalau tidak paling banter menjadi pengamat saja.

Walhasil memang tidak banyak kader puncak Muhammadiyah yang terjun ke dalam arena politik secara sungguh-sungguh dan terang-terangan. Dari yang cuma beberapa itu pun yang bisa sampai menjadi calon presiden hanyalah satu orang saja: Prof. Dr. Amien Rais. Itu artinya hanya Prof. Amien Rais lah satu-satunya kader kelas satu Muhammadiyah yang memiliki pengalaman luas sebagai politikus beneran sampai menjadi calon presiden yang running dalam pemilihan umum (2004). Tidak ada satupun yang lain!

Pengalaman adalah guru yang terbaik. Apalagi dalam politik di mana orang harus belajar banyak dari pengalaman yang empiris: mesti benar-benar dialami. Belajar berpolitik tidak bisa hanya dari buku-buku atau artikel yang bersifat teoritis saja, melainkan harus dari orang yang berpengalaman secara langsung. Sayangnya, dan ini akibatnya, kader-kader Muhammadiyah yang berminat menjadi politisi yang tangguh dan handal praktis hanya bisa mengambil pelajaran (‘ibrah) dari seorang saja: Pak Amien Rais. Para kader Muhammadiyah tidak memiliki banyak referensi (uswah) untuk dapat diambil pelajaran (ibrah)-nya bagaimana seorang dengan latar belakang gerakan Islam seperti Muhammadiyah berpolitik di negara Republik Indonesia yang semakin tidak sederhana ini.

Miskin Pelajaran politik

Menjadi calon presiden di negeri ini tidaklah mudah. Juga tidak sederhana. Apalagi setelah Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum di mana pengajuan calon presiden hanya bisa dilakukan sepenuhnya oleh partai politik saja. Bukan hanya diperlukan kegigihan dan nyali yang cukup untuk bisa maju menjadi calon presiden, melainkan juga banyak prasyarat (qonditio sine qua non) yang lain yang harus dipenuhi. Betapa benarnya hal itu terlebih lagi bagi seorang calon presiden yang memiliki latar belakang gerakan Islam yang sangat kental dan kuat. Pasalnya, bagi seorang aktifis Gerakan Islam untuk memenangkan pertandingan politik di negeri ini rasanya lebih sulit lagi dibandingkan calon dengan latar belakang antropologis dan ideologis yang lain. Apalagi ketika kecenderungan sektarianisme di kalangan umat Islam sendiri semakin menguat seperti akhir-akhir ini.

Saya rasa hal itu telah menjadi fakta politik yang akhir-akhir ini, benar atau salah, mulai disadari oleh banyak orang. Saya tidak tahu pasti apa factor-faktor yang lain di luar kecenderungan sektarianisme tersebut di atas, sehingga makin ke sini saya makin merasakan sulitnya seseorang yang mempunyai latar belakang pergerakan Islam yang kental menjadi presiden, bahkan sekadar calon presiden atau wakil presiden Indonesia. Mungkin ini hanya perasaan saya saja yang agak subyektif. Mungkin juga sebuah firasat. Saya tidak tahu pasti. Tapi yang jelas saya sekarang mempunyai perasaan seperti itu. Dan karena itu hanya perasaan maka tolong jangan dibantah. Namanya juga perasaan, bukan pendapat, apalagi pendapat akademis.

Sejak kemerdekaan, nyatanya negeri ini belum pernah mengijinkan tokoh-tokoh dari pergerakan atau golongan Islam menjadi presiden. Memang pernah terjadi sekali atau dua kali, tetapi itupun hanya sebentar dan pendek saja, laksana sebuah intermezo politik saja layaknya. Ada banyak faktor, ada banyak penyebab, semua orang bisa membuat teori dengan sederet argumentasi. Tapi singkat kata begitulah yang terjadi. Setelah reformasi, secara teoritis memang mungkin saja orang yang memiliki latar belakang pergerakan Islam yang kental menjadi capres. Tetapi rasa-rasanya itu hanya dalam tataran teoritis saja. Praktis makin berat dan musykil saja.

Dalam konteks dan persepktif ini, Pak Amien adalah sebuah pelajaran. Ibrah. Referensi. Bahkan referensi satu-satunya bagi kader Muhammadiyah. Dan karenanya ini sungguh penting sekali. Sebagai satu-satunya mantan pemimpin puncak Muhammadiyah yang terjun secara total dalam politik dan pernah runing sebagai calon presiden dalam Pilpres 2004, Pak Amien pasti bisa memberikan pengalaman kepada para kader Muhammadiyah, juga kader-kader Islam yang lain, akan pahit getirnya menjadi calon presiden Republik Indonesia. Dengan kata lain kader Muhammadiyah hanya bisa mengambil pelajaran yang sangat berharga dan nyaris tak ternilai harganya, hanyalah dari Pak Amien Rais semata. Pasalnya, Pak Amien maju sebagai calon presiden (2004) dengan tanpa preseden dan setelah beliau belum pernah ada satu pun kader Muhammadiyah bisa menyamainya. Bahkan saya tidak tahu sampai berapa tahun lagi!

Anak-anak muda Muhammadiyah bolehlah dikatakan miskin pelajaran politik yang empiris dari pemimpinnya sendiri. Sebab, memang hanya beberapa pemimpin puncak Muhammadiyah yang berpolitik, dan hanya satu yang pernah menjadi calon presiden, dan karena itu hanya satu pula yang meninggalkan pengalamannya yang sangat berharga. Kalau sekedar pelajaran politik yang teoritis bisa dibaca dengan mudah dari buku-buku teks ilmu politik. Juga kalau sekedar marketing politik ada banyak buku referensi tentang hal itu. Atau juga diperoleh dengan kuliah di Jurusan Ilmu Politik di berbagai universitas baik di dalam maupun di luar negeri. Tapi kalau pelajaran politik yang empiris bagi kader Muhammadiyah tidaklah banyak sumber sebagai referensinya.

Berbeda dengan kader-kader tetangga sebelah yang pimpinan puncaknya pernah menjadi presiden dan wakil presiden di negara ini, kader-kader Muhammadiyah belum memiliki pengalaman keberhasilan semacam itu. Tentu ini berpengaruh bagi pengembangan rasa percaya diri kita. Pasalnya, pengalaman politik yang empiris ini luar biasa pentingnya. Namanya pelajaran, pastilah pelajaran dari semua sisi dan dimensinya: sisi kebenaran dan kesalahan-kesalahannya (kalau ada), ketepatan langkah dan kekeliruan-kekeliruannya (kalau ada), kecermatan dan keterpelesetan-keterpelesetannya (kalau ada), dan last but not least dari sisi keberhasilan dan kegagalan-kegagalannya (kalau ada). Semuanya itu sangatlah penting dan berharga.

Meskipun hanya satu dan baru satu, tetapi bagi saya pengalaman Pak Amien luar biasa besar manfaatnya. Kader Muhammadiyah yang ingin berpolitik sekarang ini harus belajar banyak dari Pak Amien bagaimana beliau berjuang dan berpolitik, termasuk dan terutama ketika menjadi calon presiden. Meslipum Pak Amien tidak pernah secara terbuka menyatakan “lihat dan perhatikan pengalaman saya”, tapi sudah semestinya para kader Muhammadiyah bisa belajar dari pengalaman beliau dengan baik, kritis dan obyektif untuk kemudian dijadikan kaca benggala.

Anak-anak Muhammadiyah tidak perlu terlalu risau dengan banyaknya kritik atau bahkan bully di media sosial terhadap seorang tokoh yang terjun dalam arena politik. Namanya seorang tokoh besar yang terjun dalam politik: pastilah mengundang kontroversi dan pro-kontra. Pasti ada yang simpati, ada yang antipati; ada pendukung, ada tukang penthung; ada pemuja, ada pencerca! Itu sudah biasa dalam politik. Dalam politik memang “cinta tak kurang puja, benci tak kurang caci”. Caci maki di media sosial harus dianggap sebagai menu sarapan pagi! Kalaulah orang takut terkena ombak janganlah berumah di pinggir pantai. Kalaulah orang tidak ingin dikritik lebih baik tidak menjadi politisi. Jauh lebih baik menjadi khatib shalat Jumat saja yang jauh lebih jelas pahalanya.

Berpolitik di era demokrasi deliberatif dan keterbukaan seperti sekarang ini orang memang harus bermental baja. Pasalnya, sekali lagi, apapun sikap politik yang diambil dalam politik pastilah mengundang reaksi dan kritik dari publik secara terbuka: pro dan kontra, setuju dan tidak setuju, mendukung dan menentang, dan last but not least ada yang memuji dan banyak yang memaki. Benar sekali ungkapan “to avoid criticism say nothing, do nothing and be nothing” (Untuk menghindari kritik maka jangan bicara apapun, jangan berbuat apapun, dan menjadi siapapun!). Tetapi, seperti kata Pramudya Ananta Toer, sekali dalam hidup orang memang harus menentukan sikap. Kalau tidak ya tidak akan pernah menjadi apa-apa.

Bijak, Cermat dan Cerdas

Seperti juga dalam lapangan yang lain, dalam politik kegagalan itu selalu menjadi yatim piatu. Sementara keberhasilan banyak bapaknya. Dalam politik jika gagal orang akan ditinggal. Tetapi jika berhasil banyak sekali yang mengaku berjasa. Bahkan orang-orang yang semula mencaci akan segera datang memuji. Orang yang semula me-mentung tidak jarang kemudian datang mendukung. Pasalnya, kemenangan dalam politik selalu menghasilkan kekuasaan. Dan kekuasaan itu laksana madu: semut-semut akan datang mengerubungi siang dan malam.

Betapa benarnya hal itu terlebih lagi ketika kehidupan politik di negeri ini sekarang ini menjadi sangat berorientasi kekuasaan semata. Keberhasilan berpolitik sekarang ini hanya diukur melulu dari sudut kekuasaan. Politik yang didefinisikan sebagai “Siapa mendapatkan apa, kapan, di mana, dan bagaimana? (Who gets what, where, when and how?), tampaknya telah begitu merasuki kebanyakan jiwa politikus Indonesia. Pandangan bahwa berpolitik itu pada sejatinya adalah kerja kebajikan yang tertinggi (summum bonum) yang tidak harus selalu menghasilkan kekuasaan telah mengalami reduksi di sana-sini. Apalagi pandangan bahwa berpolitik itu merupakan tradisi dari kaum bangsawan sejati yang mempunyai tanggung jawab yang luhur (noblesse oblige) terhadap negara: sudah terdistorsi di sana-sini. Tak heran jika kebanyakan orang, apalagi di kalangan Islam, memandang politik itu kotor.

Kader Muhammadiyah dan umat Islam sebenarnya memiliki tanggug jawab untuk membangun kembali perpolitikan yang maknanya sudah mengalami reduksi dan distorsi itu. Orang Islam diajarkan untuk tidak berputus asa, apalagi frustrasi memandang keadaan. Kita harus terus belajar dan belajar bagaimana berpolitik yang baik dan berhasil. Tetapi itu semua tidaklah mudah. Dan juga: dalam politik orang harus bersungguh-sungguh, gigih, tidak setengah-setengah, dan jangan hanya coba-coba, melainkan harus total. Pastikan bahwa anda memang mempunyai passion dalam politik. Orang harus belajar dari pengalaman.

Saya selalu menganjurkan anak-anak muda Muhammadiyah yang suka politik untuk sering sowan bertemu Pak Amien Rais (dan tokoh-tokoh politik Muhammadiyah lainnya). Bukan hanya untuk meniru, melainkan untuk mengambil pelajaran dari tangan pertama. Sebagai manusia biasa tentu banyak yang positif dari kepolitikan mereka. Dengan segala kelebihan (pluses)-nya, mereka pasti telah menyediakan banyak pelajaran. Yang baik dan positif kita ambil dan kalau ada yang dirasa kurang tepat kita jadikan pelajaran.

Sungguh sangat meyakinkan banyak sekali pengalaman dan hikmah yang bisa diambil dari pengalaman tangan pertama. Tentu saja bagi kader Muhammadiyah yang bijak, cerdas dan cermat belajar. Itu pun juga kalau ada yang berminat dan berbakat. Apakah stock kader untuk itu cukup ada dan tersedia? Wallahu a’lam.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply