Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
NasionalOpiniPolitik dan Hukum

Perempuan dan Teror

×

Perempuan dan Teror

Share this article
Sumber gambar : internet

Oleh : Asratillah

 

Bisa dikata, esai ini adalah refleksi yang agak telat, tapi tidak ada salahnya untuk menuliskan dan membagikannya kepada khlayak pembaca. Sekitar dua minggu lalu, tiba-tiba saya dihubungi oleh salah seorang staf khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, saya diminta agar bisa mengorganisir dan merekomendasikan beberapa narasumber yang bisa diajak untuk memberikan buah pikirannya pada sebuah acara Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) atau biasa kita kenal dengan istilah FGD (Focus Group Discussion).

FGD tersebut mengangkat tema “Menakar Keterlibatan Perempuan dan Anak dalam Aksi Terorisme”, dilaksanakan secara daring, pesertanya terdiri dari perwakilan Wahid Institute, Setara Institute, Ma’arif Institute, Profetik Instiute, Kantor Staf Presiden dan beberapa Guru Besar, acara dibuka langsung oleh Sekretaris Kementerian PPPA.

Dari beberapa narasumber ada beberapa gagasan menarik, tetapi semua bersepakat bahwa Indonesia saat ini telah memasuki era baru dalam penanganan terorisme. Kenapa disebut era baru ? ada beberapa alasan, Pertama, bahwa gerakan violent extremism  terutama yang bernuansa agama, seringkali berasosiasi dengan maskulinitas, sangat lekat dengan aroma ke-laki-lakian, diidentikkan dengan phallus.

Tetapi sejak kasus bom bunuh diri di Surabaya yang melibatkan satu keluarga (suami, istri dan anak), belum lagi percobaan penyerangan di Mako Brimob beberara tahun lalu yang eksekutor lapangannya adalah perempuan, ditambah dengan peristiwa teranyar di Katedral Makassar ( yang bomber nya adalah sepasang suami istri) dan penyerangan Mabes Polri. Maka kita menjadi tersadar, ternyata perempuan bisa sangat efektif dalam melakukan tindakan teror.

Ada semacam pergeseran peran perempuan dalam jejaring terorisme. Kalau selama ini peran mereka hanya sebagai supporter  langsung maupun tidak langsung (apakah berperan sebagai donatur, pencari dana, meminjamkan fasilitas rumah untuk pertemuan, mengatur lalu lintas group media sosial yang digunakan sebagai sarana berkomunikasi, atau sebagai istri yang memberikan sokongan emosional kepada para pelaku teror laki-laki), maka saat ini peran perempuan telah merambah sebagai suicide bomber / eksekutor lapangan.

Salah satu pertanyaan besar yang coba dijawab oleh peserta FGD adalah, kira-kira apa yang menyebabkan pergeseran ini ?.

Ada banyak hipotesa yang diajukan peserta FGD ( dan hipotesa-hipotesa inilah nanti yang perlu segera diuji melalui serangkaian riset), mulai dari hipotesa bahwa perempuan dianggap lebih efektif dalam mengelabui aparat keamanan, perempuan juga secara psikologis dianggap bisa terlibat lebih dalam secara emosional dalam jejaring terorisme dan tentunya ini memberikan nilai tambah dalam hal militansi, belum lagi perempuan (ibu rumah tangga, guru-guru PAUD yang didominasi perempuan dan pelajar/mahasiswi) lebih bisa bersetia dan menjadi corong bagi beberapa gagasan keberagamaan yang konservatif-ekslusif-intoleran.

Dr. Idris Thaha dari UIN Jakarta, memaparkan data yang cukup menarik, bahwa dari penelitian yang mereka lakukan, bahwa hampir sebagian besar guru PAUD (dan hampirnya semua perempuan) terpapar dengan gagasan-gagasan Islamisme dan corak keberagamaan yang intoleran. Ini sedikit banyaknya memberikan gambaran, bahwa kota-kota besar di Indonesia menyediakan lahan yang cukup subur bagi perekrutan perempuan agar terlibat dalam organisasi teroris.

Bahkan data dari BNPT, jumlah perempuan yang direkrut oleh ISIS terbanyak di kawasan Asia Pasifik termasuk dalam hal ini Indonesia, dan hampir sebagian besar direkrut dan dibaiat melalui media sosial (terutama melalui aplikasi Telegram). Ini menunjukkan bahwa kita sedang memasuki dunia global yang paradoks, di satu sisi media digital memungkinkan kita tuk bertutur sapa dengan yang jauh dan berbeda dengan kita, tetapi di satu sisi media digital juga menjadi instrument yang cukup efektif untuk mengkonsolidasikan identitas-identitas primordial, termasuk mengkonsolidasikan sel-sel gerakan violent extremism berbasis agama.

Selain memberikan lahan subur bagi perekrutan organisasi-organisasi teroris, kota-kota juga menjadi lahan yang memberikan ruang bagi gerakan-gerakan teroris untuk hidup dan beraktivitas. Lihat saja , banyaknya klaster perumahan ekslusif yang dikembangkan oleh developer-developer kita, dan ini sedikit banyaknya (berdasarkan info dari BNPT dan Komisi III DPR RI) menjadi arena bagi sel-sel gerakan terorisme untuk membangun jaringannya (kasus pengeboman Katedral Makassar, diawali dengan pembentukan kelompok pengajian di perumahan Villa Mutiara Makassar).

Dan bagi saya, tata kelola ruang kota yang terlalu berorientasi pada komodifikasi ruang publik menjadi ruang-ruang kepemilikan privat, sedikit banyaknya turut memberikan andil dalam memberikan ruang pengembangan sel-sel teroris, disamping membuat kota menjadi tidak kompatibel dengan multikulturalitas (bandingkan dengan kebijakan pemerintah Singapura yang tidak memberikan ruang bagi perumahan-perumahan yang penghuninya relatif homogen secara etnik).

Alasan kedua, mengapa kita telah masuk dalam babak baru penanganan terorisme. Awalnya tindakan terorisme di Indonesia sedikit banyaknya tidak melibatkan keluarga, bahkan tidak sedikit aktor terorisme diketahui oleh keluarga bahwa dirinya terlibat dalam jejaring teroris nanti setelah tertangkap. Tapi kini  aksi teoris dibicarakan, direncanakan dan diputuskan di kamar tidur bersama pasangan atau di meja makan bersama anak-anak dan pasangan (kasus Surabaya).

Salah seorang peserta FGD menyebut fenomena ini dengan istilah kinship terrorism (terorisme yang berdasarkan kekerabatan dan melibatkan kerabat dekat). Walaupun demikian keterlibatan perempuan muda dalam terorisme banyak diawali dengan terpaparnya mereka dengan wacana keberagamaan ekslusif, melalui media-media sosial.

Maka dari itu, peran keluarga perlu direvitalisasi (dan kondisi keluarga kita yang rapuh begitu kentara selama masa pandemi, saat lembaga-lembaga sosial keagamaan-profesi-pendidikan menjadi lumpuh sehingga fungsi-fungsinya dikembalikan kepada keluarga, justru keluarga kita terlihat gagap dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut, bahkan  banyak yang justru menjadi arena kekerasan), Alissa Wahid dari Wahid Institute memaparkan data bahwa hampir sebagian besar remaja kita tidak merasakan signifikansi dari kehadiran orang tua mereka.

Bagaimanapun keluarga mesti  (setelah komunitas) menjadi basis pertahanan terakhir dari hal-hal destruktif (termasuk terorisme). Impotennya keluarga-keluarga kita sedikit banyaknya menyumbang pada kondisi psychological discontent anak-anak muda kita. Setiap orang (baik laki-laki atau perempuan) memiliki semacam need for significant, dan jika ini tidak bisa dipenuhi oleh negara, komunitas bahkan keluarga, maka gerakan agama yang ekslusif dan menawarkan ilusi kebanaran absolut, menjadi primadona di mata anak-anak muda kita.

Ada satu pertanyaan menarik yang juga sempat mencuat dalam FGD tersebut, apakah keterlibatan perempuan dalam terorisme merupakan buah dari emansipasi perempuan ? apakah buah dari bergulirnya wacana kesetaraan gender selama ini ?. Jawabnya tidak.

Karena bagaimanapun keterlibatan perempuan dalam jejaring teroris (baik supporter, bomber bahkan leader seperti di Timur Tengah), tetap menempatkan perempuan dalam posisi subordinat (baik dalam kerangka teologis maupun dalam pengambilan keputusan strategis). Dengan kata lain ke-agenan perempuan dalam aksi teror bukanlah ke-agenan yang otentik, tetapi ke-agenan yang semu (pseudo agency). Alih-alih merupakan implikasi kesetaraan gender, keterlibtaan perempuan dalam terorisma adalah buah dari paradoks relasi gender.

Tapi bagaimanapun teorisme adalah persoalan yang pelik, karena terorisme merupakan fenomena politik, teologi hanyalah bungkusan atau alat untuk melegitimasi kekerasan. Dan kita ketahui soal politik bukan soal yang sederhana, karena maling teriak maling dalam politik adalah hal lumrah.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply