Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Tujuh Mazhab Pegiat Literasi di Indonesia, Anda Penganut yang Mana?

×

Tujuh Mazhab Pegiat Literasi di Indonesia, Anda Penganut yang Mana?

Share this article

(Catatan Ringan Hari Buku Sedunia 2021)

Oleh: Hadisaputra *)

KHITTAH.CO – Setiap hari buku sedunia, yang diperingati tiap tanggal 23 April, biasanya disemarakkan dengan acara diskusi literasi dalam beragam bentuk. Ada bedah buku, seminar, workshop, pengajian dan model-model lainnya. Apakah anda pernah mengikuti acara semacam itu? Jika pernah, apakah anda menjadi lebih giat baca buku setelahnya?

Tentu, maraknya seminar, workshop, festival, diskusi, atau pengajian bertema literasi merupakan fenomena yang menggembirakan. Tapi, tunggu dulu.

Berdasarkan hasil penelitian penerawangan saya, kehadiran orang dalam diskusi literasi tidak berkorelasi langsung dengan kesadaran orang untuk membaca. Hal itu sangat bergantung pada kecocokan jenis aliran diskusi yang mereka ikuti, dengan passion para peserta diskusi.

Oleh karena itu, sebelum memutuskan menghadiri suatu diskusi literasi, penting bagi anda mengenali mazhab penyelenggara/pembicara diskusi itu. Catat ya, ada tujuh mazhab gerakan literasi di Indonesia (menurut saya sih, Anda bebas kok berbeda pendapat).

SATU, MAZHAB PENGUTUK

Tipe mazhab ini biasanya mengampanyekan pentingnya literasi dengan mengeluarkan kutukan, bahkan sumpah serapah, betapa malangnya negeriku. Sembari mengutip beberapa survei internasional, yang sering menempatkan Indonesia pada nomor buncit, atau selangkah lagi berada di buritan.

Contoh, penganut aliran ini misalnya, mengutip data UNESCO tahun 2012, minat baca orang Indonesia hanya 0,001%. Artinya dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang hobi baca. Tahun 2014, kaum pengutuk minimnya minat baca, kembali merujuk UNESCO yang melansir data bahwa anak Indonesia hanya membaca 27 halaman per tahun.

Posisi Indonesia semakin terkutuk dengan data riset World’s Most Literate Nations, Central Connecticut University, Amerika Serikat. Temuan riset itu menempatkan Indonesia berada pasa posisi ke-60, dari 61 negara yang diteliti. “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia,” kata penganut aliran ini, menirukan judul puisi Taufiq Ismail.

DUA, MAZHAB PEDAGANG

Mazhab ini biasanya memberi iming-iming keuntungan materi yang akan diperoleh oleh pembaca yang tekun. “Membaca akan meningkatkan produktivitas bisnis anda,” kira-kira begitu mantra yang sering mereka kutip.

Tapi karena iming-imingnya adalah materi, mereka juga lebih senang membaca seefisein mungkin. “Kalau sudah dapat intinya, kenapa mesti baca semuanya. Kalau bukunya bisa ditamatkan dalam 30 menit, mengapa mesti membaca 3 hari?” begitu narasi kampanyenya.

Lalu dilanjutkan dengan, “Bergabunglah bersama kami dalam ‘training super cepat’, 1 detik per halaman,” promosi mereka, eh ternyata jurkam mazhab ini juga dagang training.

Yang lebih inovatif (baca: aneh), para imam mazhab aliran ini juga menawarkan ‘buku Auditorial’. Tepatnya resume buku yang dibacakan narator sambil direkam. “Bagi Anda yang tidak punya waktu membaca, kami telah menghadirkan solusi bagi Anda. Anda bisa membaca (mendengar?) sambil menikmati perjalanan ke kantor,” begitu naskah iklan mereka di fesbuk.

TIGA, MAZHAB PERLAWANAN

Tipe ini biasanya dianut para aktivis kampus. Mereka mendorong teman-temannya giat mampu membaca realitas sosial dengan sudut pandang kritis. “Banyak ketimpangan struktural di sekitar kita kawan-kawan, hanya bisa dibaca dengan pendekatan kritis. Makanya anda harus rajin baca buku-buku yang bisa membangkitkan kesadaran perlawanan,” tulis sang aktivis senior di grup WA maba.

Secara praktis, aktivis yang rajin baca akan sering diundang menyampaikan orasi saat demonstrasi, jadi tim perumus materi-materi Kongres, pernyataan sikap, atau pamflet-pamflet agitasi. Mereka juga akan mendapatkan privelege menjadi pemateri dalam Latihan Kepemimpinan organisasi. Itulah pintu masuk mendapatkan panggilan “Kakanda” atau “Abangda”.

EMPAT, MAZHAB LANGITAN

Tipe kampanye literasi macam ini disampaikan dengan mengutip teks-teks kitab suci. Dalam tradisi Islam misalnya, sering dikutip surat Al-Alaq untuk menegaskan bahwa perintah pertama sang Nabi adalah membaca.

Sayangnya membaca lebih sering dilihat sebagai instrumen berburu pahala. Dalam bulan Ramadan misalnya, membaca lebih sering diartikulasikan sebagai perlombaan menuntaskan bacaan kitab suci.

LIMA, MAZHAB PEMUJA KENANGAN

Golongan ini berisi barisan orang-orang yang belum move on dari kenangan kejayaan tradisi literasi di masa lampau.

“Dahulu, Kekhalifahan Islam berjaya selama beberapa abad, karena penguasaan ilmu pengetahuan. Para khalifah  di zaman itu memiliki perpustakaan-perpustakaan raksasa, yang memiliki koleksi ratusan ribu hingga jutaan buku. Intinya, kunci sukses zaman kejayaan Islam diawali dengan kecintaan terhadap dunia literasi.” demikian kutipan khutbah para aktivis mazhab ini.

Pemuja kenangan ini juga kerap merujuk pada jejak tokoh-tokoh nasionalis. Misalnya para proklamator sering diasosiasikan sebagai kaum intelektual. Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dkk adalah para pejuang kemerdekaan yang sangat lekat dengan tradisi literasi.

Suatu waktu, saat dibuang ke Boven Digoel, yang memusingkan Hatta bukan beratnya hukuman, melainkan bagaimana caranya ia membawa berkoper-koper buku miliknya ke sana.

Tapi, sekali lagi tapi, sodara-sodara. Kisah-kisah itu lebih sering didengar seperti dongeng. Dongeng karena kisah itu lebih disampaikan ke kaum milenial yang tuna kuasa. Coba kisah itu disampaikan ke Pak Jokowi, Mas Mendikbud, atau Para Gubernur dan Bupati di seluruh pelosok nusantara.

Mungkin saja hati mereka akan tergerak membangun perpustakaan yang maha besar. Siapa tahu Pak Jokowi tersentuh dan berubah pikiran. “Saya batalkan pindah Ibukota, lebih baik kita bangun perpustakaan  terbesar di dunia,” kata Presiden  Indonesia tiga dua periode ini.

ENAM, MAZHAB PEMULUNG

Penganut mazhab ini merupakan para pemulung kutipan. Mereka senang membaca karena hobi mengmpulkan kata-kata mutiara. Kutipan-kutipan motivasi, membuat ‘hidup mereka lebih hidup’.

Kata-kata itu akan mereka tulis dalam diary, lalu diucapkan saat mereka dapat panggung untuk pidato, atau sebagai bahan update status di medsos agar tampak keren. Jurus pemulung kutipan juga kadang diadopsi oleh orang-orang yang sedang jatuh cinta. Targetnya: apalagi kalau bukan bikin puisi, atau nembak via surat cinta Chat.

TUJUH, MAZHAB SCOPUS

Penganut mazhab ini, biasanya orang kampus. Banyak orang pintar menjadi penganut mazhab ini, tapi mereka tidak dikenal publik. Soalnya, tidak banyak dari mereka yang menuliskan pemikirannya di koran atau media online. Mungkin (mungkin lho ya), dalam istilah Mas Gramsci, merekalah yang disebut intelektual tradisional, bukan intelektual organik.

Mereka lebih suka nulis di jurnal internasional, khususnya yang terindeks Scopus. Eksistensi mereka sebagai ilmuwan ditentukan dengan berapa banyak karya mereka yang dimuat dan dikutip sesama ilmuwan dalam jurnal-jurnal itu.

Membaca (jurnal internasional) bagi mereka adalah sebuah kewajiban. “Kita tidak mungkin melakukan penelitian, tanpa melakukan review literatur secara mendalam terhadap penelitian-penelitian terdahulu,” kata mereka.

***

Nah, meskipun para pegiat literasi terbagi menjadi tujuh golongan, semuanya tetap dijamin masuk surga, kecuali yang tidak mau. Yaitu mereka yang hanya gemar ikut seminar literasi, namun tak kunjung membaca. Ini bukan hadits Nabi ya.

Jadi, apapun mazhabmu, selama engkau tetap membaca, kita seakidah. Takbir!

 

*) Hadisaputra, Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Sulawesi Selatan

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply