Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Cahaya Ramadan dan Narasi-Narasi Kehidupan

×

Cahaya Ramadan dan Narasi-Narasi Kehidupan

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere

KHITTAH.CO, – Manusia adalah makhluk yang terus melakukan “perjalanan”. Bahkan dunia sebagai salah satu alam kehidupan yang dilewati dan sering dianalogikan sebagai “tempat persinggahan”, justru manusia sedang tidak “diam”.

Sebagai bentuk kecintaan Allah kepada hamba-Nya, Allah memiliki “harapan” dan menurunkan pedoman agar manusia selalu berada di atas platinum track-nya yang juga merupakan implementasi empirik dari komitmen dan monoloyalitasnya sebagaimana telah dipersembahkan kepada Allah di alam arwah.

Dalam perjalanannya, manusia tidak hanya membutuhkan kekuatan namun termasuk cahaya. Cahaya bekerja menunjukkan dan mengarahkan arah yang harus dilewati. Cahaya bukan hanya berdimensi transendensi tetapi termasuk dimensi profan. Hal ini penting agar dengan cahaya tersebut, kita berjalan di atas peta psikologis, peta sosiologis, peta ideologis, dan peta teologis yang benar.

Pada hakikatnya, kehidupan manusia dimaknai sebagai pencarian makna hidup (makna kehidupan), ini bukan hanya membutuhkan kekuatan. Berbeda jika hidup hanya untuk konteks vegetatif (nutritive, reproduksi, tumbuh) dan konteks animalia (instingtif, sensasional, mobile)—meminjam istilah Asratillah—maka mungkin sudah cukup dengan kekuatan. Manusia unik dan berbeda, sehingga butuh cahaya.

Keunikan manusia—di antaranya, diberikan—akal, ilmu pengetahuan dan kebebasan memilih) sehingga menjadikan kehidupan ini sebagai samudera tanda. Ada banyak narasi dalam kehidupan ini, tidak sedikit yang menyesa(t/k)kan. Manusia pun mengalami kebingungan dan ketersesatan bahkan terseret keluar dari platinum track (jalan sukses ilahiah)-nya.

Hal itu pula—narasi-narasi kehidupan—sehingga dalam hidup ini ada dua model manusia:—jika meminjam istilah Erich Fromm (ahli psikoanalisis)—Pertama, “nekrofili”; dan kedua, “biofili”. Kedua model manusia ini memiliki garis diametral yang berjauhan, kontradiktif. Dan kita cenderung memilih di antaranya sebagai idola dan/atau teladan. Saya memberikan penegasan perbedaan antara “idola” dan “teladan”. Idola adalah sosok yang perilakunya diikuti meskipun itu buruk, sedangkan teladan sosok yang perilakunya diikuti dan sudah pasti (harus) mencerminkan nilai-nilai kebaikan.

Pertama, nekrofili, adalah sosok manusia yang memiliki rasa cinta pada segala sesuatu yang tidak memiliki jiwa kehidupan, tidak memberikan makna. Konteks kehidupan hari ini, di tengah peradaban digital, saya menemukan fenomena dan sangat dominan penampakan manusia nekrofili.

Bisa jadi, inilah yang berkontribusi, menjadikan Indonesia: Netizen paling tidak sopan di Asia Tenggara, dan terburuk ke-29 dari 32 negara (yang disurvey) di Asia; negara dengan tingkat koruptor yang sangat tinggi; produksi dan reproduksi hoax; tingkat literasi yang disukai; dan saya yakin para pembaca bisa dengan lancar untuk membantu menunjukkan dan menambahkan contoh-contoh dari hal tersebut.

Kedua, biofili, adalah sosok, (bahkan baik pribadi maupun kolektif) yang memiliki kecintaan pada segala sesuatu yang memiliki jiwa, penuh makna. Hal ini, kita pun bisa menemukan dalam kehidupan. Meskipun (mungkin), mereka-mereka ini atau kita yang memilih model biofili, merasa sedang menempuh “jalan sunyi”, artinya tidak banyak yang memilih.

Bagi Freire, ada model pendidikan tertentu, yang justru lebih menciptakan manusia “nekrofili” daripada melahirkan “biofili”. Dalam jangka waktu lama, bagi Freire ini akan mencetak generasi-generasi / manusia-manusia penindas.

Di antara dua belas bulan, ada satu bulan yang disebut bulan Ramadan. Meskipun ini terkesan khusus untuk umat Islam, namun nilai-nilainya memancarkan cahaya rahmatan lil ‘alamin. Rahmat bagi alam semesta, siapa pun dan di mana pun dia.

Ada banyak penanda yang di dalamnya mengandung cahaya dan bisa ditemukan dalam bulan Ramadan. Dan inilah yang saya sebut sebagai cahaya Ramadhan. Di dalamnya ada pedoman, terdapat tuntunan, anjuran, harapan dengan banyak sikap dan perilaku terhadapnya. Begitu pun cara memahaminya. Dan inilah yang saya maknai sebagai narasi-narasi kehidupan.

Pada bulan Ramadhan, pertama kali diturunkan Al-Qur’an dan surat yang pertama adalah QS. Al-Alaq [96] 1-5. Di antara nama-nama yang diberikan pada Al-Qur’an—atau kitab yang proses perampungannya membutuhkan waktu kurang lebih 23 tahun—adalah An Nur (Cahaya).

Surat pertama menyatakan satu makna dan perintah esensial yaitu “Iqra”. Iqra bisa pula dimaknai—selain membaca, memahami, menelaah, mendalami apa pun yang menurut Quraish Shihab—adalah proses pencarian cahaya atau cahaya.

Ramadan yang di dalamnya terdapat berbagai tuntunan yang harus diamalkan pada dasarnya mengandung atau minimal untuk menemukan cahaya. Dan bahkan—sebagaimana tulisan saya, pada hari ke-12 Ramadan—ayat-ayat tentang puasa dan Ramadan di dalamnya mengandung pula cahaya harapan.

Menurut Yasraf Amir Piliang, Istilah narasi (narasi) pada awalnya dikenal sebagai terminologi kesusateraan, yang kurang lebih artinya adalah cerita, seperti novel, dongeng, atau mitos. Akan tetapi (sebagaimana) dikutip oleh Yasraf dari JF Lyotard dan Fredric Jameson “menggunakan istilah ini dalam konteks epistemologis yang luas, sebagai narasi kehidupan, yang melaluinya dapat manusia merangkai konsep, memahami kehidupan, dan memaknai realitas.

Yasraf menegaskan “narasi merupakan cara bagaimana dunia direpresentasikan ke dalam berbagai konsep, ide, gagasan, ceirta yang untuk memahaminya diperlukan-upaya interpretasi. Begitupun pemahaman Gerard Genette (dalam Yasraf), “narasi memampukan setiap orang untuk mendapatkan pandangan global dan sinkronis tentang kehidupan”.

Ramadan, yang dikenal pula sebagai bulan puasa, bukan hanya berisi cahaya tetapi di dalamnya terdapat narasi-narasi kehidupan. Dan saya menemukan satu hal bahwa antara cahaya Ramadhan dan narasi-narasi kehidupan memiliki relasi dan relevansi yang bisa disejajarkan dengan istilah—yang sering dipakai dalam konteks kehidupan pribadi manusia—“simbiosis mutualisme”. Atau mungkin istilah yang paling tepat, memiliki “korelasi positif”.

Sebagai sebuah narasi kehidupan—saya saja yang masih memiliki sedikit ilmu—telah banyak menemukan ide, nilai, tuntunan yang darinya saya telah mampu merangkai berbagai konsep dan selanjutnya memberikan pemahaman mendalam untuk menemukan makna realitas kehidupan.

Dari tulisan saya saja mulai dari hari pertama sampai hari ke-12 Ramadan (kemarin) dan Insya Allah berlanjut sampai ke-30 Ramadan, ada banyak hal yang secara epistemologis, kita bisa menemukan relasi antara puasa dan kehidupan. Selain itu secara aksiologis akan memberikan manfaat atau menegaskan manfaat puasa dalam kehidupan.

Satu contoh saja—yang mungkin dinilai terlalu idealis, dan bahkan pada muaranya “dituduh” menjadi utopis—bagaimana puasa mampu menjadi salah satu bentuk pencegahan korupsi di Indonesia. Saya yakin dengan seyakin-yakinnya, jika kita benar-benar melaksanakannya, maka korupsi tidak akan pernah dilakukan. Salah satu narasi dari puasa atau pun Ramadan itu sendiri adalah ruang konstruksi atau pun rekonstruksi pengendalian diri.

Lalu bagaimana konkretisasi dan/atau rasionalisasi relasi antara cahaya Ramadhan dan narasi-narasi kehidupan. Cahaya Ramadan yang salah satunya terutama kehadiran Al-Qur’an esensi perintah iqra agar kita bisa menemukan naras-narasi yang tidak menyesa(t/k)kan atau justru kita keluar dari jalur platinum (jalan sukses ilahiah).

Dengan narasi kehidupan atau dengan kemampuan menemukan dan merekonstruksi narasi kehidupan di bawah cahaya Al-Qur’an, cahaya puasa (seperti kandungan harapan di dalamnya dan pengendalian diri) kita akan memancarkan cahaya tersebut seluas-luasnya. Mampu menjangkau banyak kalangan.

Begitu pun kita akan memancarkan cahaya bukan hanya dengan pendekatan teologis, yang terkadang masih ada orang yang kurang tertarik (seperti ateis). Dengan narasi kehidupan, cahaya tersebut bisa dipancarkan melalui multidimensi: psikologis, sosial-budaya, ekonomi dan politik.

Masih ada di antara kita, akan segera melaksanakan dan meyakini ajaran agama jika aspek normativitas telah menemukan justifikasi melalui pembenaran sains (teknologi, kesehatan, dan lainnya yang berdimensi kehidupan profan). Di sinilah urgensi dan narasi-narasi kehidupan yang di bawah cahaya Ramadhan mampu memancarkan kembali cahaya Ramadan itu, menembus berbagai sekat.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI

Leave a Reply