Oleh: Syamsul Hidayat (Ketua Umum IPM Sulsel 2016-2018)
KHITTAH.CO – Perhelatan Muktamar XXII IPM telah terlaksana lebih dari sebulan lalu. Jika merujuk pada aturan organisasi, seharusnya para formatur telah merampungkan susunan PP IPM periode 2022-2024 dan segera mempersiapkan pelantikan.
Tapi sampai hari ini jangankan pelantikan, gegap gempita menyambut pelantikan pun masih belum terlihat memenuhi akun resmi PP IPM. Sangat kontras dengan budaya media sosial IPM yang bahkan untuk kegiatan pengajian ranting sekalipun sangat massif terekspose di media sosial.
Tentu ada banyak tanya yang menyelimuti benak kader IPM se Indonesia. Ada apa dengan proses musyawarah formatur di Muktamar?
Drama pertentangan formatur sudah terlihat dengan gamblang saat pelaksanaan muktamar. Ketika itu salah satu formatur sudah langsung menyampaikan ketidaksepakatannya pada hasil muktamar.
Bahkan ia menyatakan akan langsung menyampaikan mosi tidak percaya dan penolakannya terhadap keputusan Muktamar XXII IPM kepada PP Muhammadiyah. Buntutnya, 9 Formatur sampai hari ini belum berdiri pada satu kata sepakat yang bulat.
Dinamika Berorganisasi
Sebagai miniatur kehidupan nyata, realitas kehidupan berorganisasi juga tidak lepas dari dinamika, termasuk proses permusyawaratan. Semua kontestan pasti memiliki trik dan cara tersendiri untuk bisa memenangkan pertarungan pada pemilihan formatur. Namun tetap musyawirin yang akan menentukan siapa yang akhirnya terpilih sebagati formatur.
Sejak pengaderan dasar, IPM telah menanamkan sikap paling ksatria bagi calon pemimpin yang sedang ditunaskannya yaitu “Siap Memimpin, dan Siap Dipimpin”. Kader IPM memandang apapun jabatan di setiap jenjang kepemimpan adalah sebuah amanah. Maka sejatinya, jika proses permusyawaratan telah selesai, fokus kader IPM adalah berbuat terbaik pada amanah yang diemban dan menjunjung tinggi hasil permusyawaratan.
Setiap keputusan yang telah diambil dalam permusyawaratan harus dijunjung tinggi melebihi hasrat dan ambisi pribadi atau golongan!
Menjadi Pimpinan sebuah organisasi besar seperti IPM tidak hanya dibutuhkan pikiran yang cemerlang dalam menyusun konsep dan gagasan pergerakan. Diperlukan pula kebesaran hati dan kematangan jiwa dalam menyikapi apapun dinamika yang berkembang dalam organisasi.
Menggerakkan roda organisasi IPM memerlukan soliditas yang penuh dari seluruh komponen yang ada, terutama para formatur. Bagaimana jadinya jika sejak awal beberapa formatur telah menunjukan sikap yang tidak mencerminkan kebesaran jiwa sebagai pemimpin.
Ayahanda yang Mengayomi
Buntut jalan buntu rapat formatur Muktamar IPM, menjadikan Ayahanda PP Muhammadiyah harus “sedikit” menengahi para formatur. Sebagai orang tua, ayahanda akan senantiasa menjadi sandaran yang menegakkan pundak semua anak-anaknya. Ayahanda dapat pula menjadi payung yang memberikan keteduhan kepada semua, tanpa memandang identitas apapun yang melekat pada anak-anaknya.
Hasil Muktamar IPM tentu bukanlah keputusan instan. Ada tahapan panjang yang menguras konsentrasi, waktu, materi. Dalam hal pemilihan formatur, sebelum para calon disahkan dalam forum Tanwir pra Muktamar, data dan identitas mereka tentu sudah melewati satu proses yang ketat. Prosesnya berupa skrining dan verifikasi di Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sehingga para calon formatur mendapatkan rekomendasi dari PP Muhammadiyah.
Maka sangat tidak elok, jika setelah semua proses itu telah dilalui, kemudian beberapa pihak setelah merasa “kalah”, menjadikan hal-hal administratif sebagai dasar gugatan. Yang jauh lebih menyedihkan dari itu semua, jika ada Ayahanda yang seharusnya menjadi sandaran dan payung bagi semua, terkesan memihak pada salah satu pihak.
Sikap Primordial dan Pengkhianatan Nilai
Salah satu budaya organisasi yang dijunjung tinggi oleh IPM adalah kesetaraan (egaliterianisme). Kesetaraan merupakan implikasi turunan dari pernyataan Tauhid. Siapapun bisa menjadi apapun di IPM, tanpa memandang status sosial, asal daerah, suku, ataupun status ekonomi. Semuanya setara di hadapan Allah swt, maupun dalam konstitusi IPM.
Jika ada kalangan yang menganggap bahwa kepemimpinan di IPM hanya boleh dipegang oleh suku tertentu, atau dari almamater perguruan tertentu, maka orang tersebut sekalipun ia mengklaim diri intelektual, ia masih terkontaminasi sikap primordial. Sikap ini merupakan pengkhianatan terhadap nilai dasar IPM: Tauhid!
Sejak awal berdirinya, IPM hadir karena kesatuan semangat dari seluruh pelajar Muhammadiyah yang ada di seluruh Indonesia. Spirit ‘Keindonesiaan’ adalah ruh IPM. Oleh karena itu, seluruh kader IPM dari manapun, berhak diberi kesempatan berkhidmat sebagai pimpinan tertinggi organisasi.
Mengawal Hasil Muktamar
Kepemimpinan Ketum Azam dan Sekjend Yusuf sudah mendapat tantangan sejak awal kepemimpinannya. Tantangan itu bahkan berasal dari pihak yang seharusnya bersama-sama menjaga dan saling menguatkan. Tentu ini sedikit berat bagi mereka, sebab harus menghadapi derasnya hunjaman dari dalam.
Harapan besar tentunya hanya kita labuhkan pada matahati ayahanda yang murni. Ayahanda yang merupakan “sandaran” “payung” bagi semua. Selain itu Ketum Azam dan Sekjend Yusuf tentu senantiasa didukung oleh kader IPM seluruh Indonesia.
Para kader IPM inilah yang menjadi basis kedaulatan ketum dan sekjend terpilih. Semoga Muktamar yang telah dilaksanakan dengan penuh antusiasme, meskipun dalam nuansa pandemi COVID-19 ini tetap terjaga. Jika tidak, maka sungguh IPM-ku sayang, IPM-ku malang!