Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Ramadan & Al-Qur’an: Meneguhkan Jihad Literasi sebagai Etos Peradaban

×

Ramadan & Al-Qur’an: Meneguhkan Jihad Literasi sebagai Etos Peradaban

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Bulan Ramadan & Al-Qur’an, padanya saya “menangkap” (lebih dari sekadar menemukan) premis-premis. Premis ini menyentak kesadaran untuk memerangi nafsu yang diawali oleh proses pembacaan mendalam tentang diri dan relasinya dengan kehidupan eksternal yang penuh kompleksitas.

Ramadan dengan self controlling (pengendalian diri)-nya, dan Al-Qur’an dengan “spirit membaca”. Bukan hanya membaca teks dalam pengertian tekstual-literal. Tetapi termasuk membaca diri dan membaca diskursus semiotik yang mewarnai kehidupan.

Literasi adalah kata kunci untuk memahami kompleksitas. Selanjutnya memberikan kemampuan menorehkan perubahan untuk terlibat memberikan pahatan relief pada monumen sejarah dan peradaban manusia.

Literasi seringkali hanya seuntai kata yang diterpa angin dan berlalu begitu saja. Tidak mampu menggerakkan dan memberikan warna pada kehidupan. Jika ada, masih segelintir orang yang secara serius dalam pergumulan dan pergulatan tersebut.

Literasi sebagai wilayah kerja peradaban yang sangat strategis, membutuhkan sesuatu untuk bisa menjadi pemantik, energi atau spirit yang menggerakkannya. Jika literasi dipandang sebagai sesuatu yang perlu digerakkan (bukan sekadar hobby dan pengisi waktu luang), maka memerlukan basis filosofis, sejenis pandangan dunia, paradigma, ideologi atau minimal teori gerakan sebagai basis untuk bergerak/digerakkan.

Saya menemukan, atau sejenis “menemukan kembali”, apa yang telah ditemukan oleh Prof. Zakiyuddin Baidhawy (Rektor IAIN Salatiga). Diksi “jihad” bisa ditemukan dalam literatur Islam yang “daya juang”-nya sangat besar, sejak awal sejarah Islam sampai hari ini. Jihad, telah mampu menggerakkan siapa saja yang ingin mencelupkan diri dalam samudera maknanya, dan tidak sedikit rela mengorbankan harta dan jiwa atau “nyawa” sekalipun untuk meneguhkannya.

Mengedepankan paradigma appreciative inquiry ala Diana Whitney & Amanda Trosten-Bloom, saya mengambil sisi positif masing-masing dari “literasi” dan “jihad”, dan mengesampingkan paradigma defisit, negatif dari “jihad”. Saya menyebut “negatif” karena tidak sedikit yang memberikan “stempel agama” atas kekerasan yang dilakukannya, sebagai dorongan “jihad”. Ini satu contoh saja.

Dari paradigma appreciative inquiry ini, maka saya menemukan kedahsyatan, sejenis energi fusi jika diksi “jihad” ditautkan dengan “literasi”. Kata “jihad dilekatkan pada “literasi” akan melahirkan sebuah spirit, dorongan dan motivasi bergerak yang sangat dahsyat. Dan sebaliknya kata “literasi” dilekatkan pada “jihad” akan penuh pencerahan dan pencerdasan sesuai konteks atau dimensi perjuangan hari ini.

Maka lahirlah “Jihad Literasi” yang bisa dipandang sebagai etos peradaban. Ini senada dengan yang pernah disampaikan—serta ditulis kembali melalui media online ibtimes.co—oleh Prof. Zakiyuddin, “Jihad Akbar itu Dengan Pena, bukan Pedang”. Hari ini, di tengah peradaban dan kompleksitas, “jihad literasi” menemukan ruang urgensi dan signifikansinya.

Prof. Zakiyuddin, sangat menyadari bahwa, “jihad” adalah istilah tipikal yang mencerminkan ambivalensi agama. Dan menurutnya, istilah ini akan terus mejadi perbincangan hangat dan menawan, terutama pasca tragedi 11 September 2001 yang menghancurkan Menara Kembar World Trade Center.

Jihad, salah satu maknanya—menurut wikipedia.org—“bersungguh-sungguh”, atau bisa juga dimaknai “bekerja keras”. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia—(oleh Tim Prima Pena, terbitan Gitamedia Press)—jihad adalah perjuangan membela agama Allah (Islam) dengan segenap harta dan jiwa.

Jika kita mendalami tulisan Prof. Zakiyuddin (2021)—di kanal ibtimes.co—ada beberapa hal yang bisa dipahami terkait diskursus “jihad” sehingga seringkali dimaknai atau diidentikkan dengan, “perang”, “pedang” “kekerasan” dan “pertumpahan darah”. Menurutnya, bahwa sebagian orang Barat, memahaminya sebagai holy war (perang suci), suatu hantu yang mencerminkan kebiadaban crusader. Dari sini salah satunya yang menegaskan bahwa kekerasan inheren dalam konsep jihad.

Kembali ditegaskan oleh Prof. Zakiyuddin, “konsep jihad mempunyai basis pengalaman empirik sekaligus legitimasi teologis-yuridis yang telah berurat berakar lebih dari 14 abad lamanya dan meliputi sejarah kawasan yang membentang dari Spanyol hingga Asia Tengah”.

Prof. Zakiyuddin pun menegaskan dan inilah yang bisa dipandang dan semakin meneguhkan makna jihad sebagai perang. Bahwa, ada sekitar 199 rujukan bagi jihad dalam kitab hadis Shahi-al Bukhari, yang semuanya mengasumsikan jihad sebagai perang. Bahkan sebagaimana Lewis (dalam Prof. Zakiyuddin), mayoritas mutakallimin, fuqaha, dan muhaddisin klasik memahami kewajiban jihad sebagai kewajiban militer.

Dari pandangan tersebut, apakah saya sedang berupaya meneguhkan, bahwa untuk membudayakan literasi dalam kehidupan, harus diperjuangkan melalui “perang”, “pedang”, “kekerasan”, dan “pertumpahan darah”?. Pembaca keliru jika menarik kesimpulan seperti itu.

Lalu mengapa “jihad” ditautkan dengan “literasi”?. Makna jihad tidak tunggal seperti yang telah dijelaskan di atas. Selain diuraikan oleh Prof. Zakiyuddin, kita semua telah memahami bagaimana pernyataan dan penyadaran Rasulullah Muhammad Saw setelah pulang dari “Perang Badar”, “kita baru kembali dari jihad kecil menuju jihad besar”. Jihad besar tersebut adalah melawan hawa nafsu.

Kaum sufi memahami, jihad sebagai perang batin. Wahyu pertama secara lugas menyebutkan perintah “iqra” dan “qalam”. Dari ini, Prof. Zakiyuddin mengungkapkan “menulis ialah kemampuan literasi yang sanga penting. Writing habits menjadi penanda bagi permulaan dan kemajuan peradaban untuk manusia. Melaluinya ilmu pengetahuan ditransmisikan secara sistematis dan berkelanjutan”.

Dari sini, dengan berbagai situasi dan basis filosofis yang tidak sempat saya kutip semua, Prof. Zakiyuddin, menyimpulkan “Jihad Besar itu Dengan Pena, bukan Pedang”. Jika menarik relasi antara “perang” dan “kondisi kehidupan hari ini”, tidak relevan lagi jika “perang” yang dimaksud adalah dengan pedang, fisik atau yang identik dengan kekerasan fisik dan pertumapahan darah. Hari ini, idealnya adalah dengan “pena”.

Saya menyebut tidak relevan atau kurang relevan, salah satunya “hasrat kekuasaan” sebagai dorongan terkuat, dalam mengekspansi sasaran kekuasaannya tidak sama lagi dengan apa yang disebut “kolonialisme” dan “imperialisme”.

Selain itu jika merujuk pada diskursus semiotik Yasraf Amir Piliang, hari ini kita sedang memasuki era yang disebutnya, “pasca industri”. Selain istilah darinya, ini bisa juga disebut “revolusi industri 4.0” atau “peradaban digital”. Apa penanda utama era “pasca industri”? Yaitu, ruang dan waktu ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik. Jadi tidak lagi dengan “pedang” dan melalui “pertumapah darah”. Yang dibutuhkan adalah literasi, termasuk literasi digital, selain literasi dasar, “baca-tulis”.

Jika mau merenungi dampak lanjutan dari penaklukan locus (ruang) dan tempus (waktu) melalui kekuatan elektromagnetik—untuk konteks Indonesia saja—telah banyak mematikan “nalar”, “spirit literasi”, “spirit tabayyun”, “kejujuran”, “etika”, “kolaborasi” umat Islam. Bahkan dengan ini semua, hari ini semakin sulit mengenali yang mana “musuh” dan “kawan” karena segalanya telah dihilangkan batas-batasnya.

Umat Islam telah kehilangan spirit “iqra” yang pada era awal Islam telah menjadikannya sebagai pusat peradaban. Umat Islam ikut mengalami transformasi kehidupan dari kehidupan ekspansif ke kehidupan inersi, yang salah satu spirit negatifnya (tetap ada positif), “tidak tabayyun”. Sehingga tidak sedikit yang terus menerus memproduksi dan mereproduksi kebohongan demi kebohongan, hanya untuk memenuhi “hasrat kuasa” atau “hasrat berkuasa”-nya.

Saya merasa tergelitik membaca tulisan singkat M. Husnaini (seorang penulis dan kandidat doktor salah satu universitas di Malaysia). Tulisannya secara substansial menjelaskan empat keterampilan berbahasa, dan secara hierarkis diurutkan berdasarkan tingkat kesulitannya (dari paling “mudah” sampai paling “sulit”): berbicara, mendengar, membaca dan menulis.

Husnaini menegaskan “di antara orang sekampung, tidak sulit menemukan penceramah atau pengkhotbah. Apalagi, sekarang ini, baru mondok tiga tahun saja, sudah pintar berceramah. Malah ada diklat ceramah segala, sehingga anak kecil pun sudah diundang berceraman ke mana-mana, dan laris. Tetapi coba cari berapa banyak penulis di suatu kampung”.

Tulisan Husnaini ini, dibuatlah sejenis maksim dan diposting melalui akun resmi (facebook)-nya, “Mudah sekali menemuka penceramah di mana-mana. Namun, mencari pembaca, apalagi penulis, dalam satu kecamatan belum tentu nemu dua”.

Baik Husnaini, maupun saya sendiri, sedang tidak bermaksud untuk mempersempit makna “literasi”, tetapi aktivitas membaca dan menulis adalah ruh utama. Dan semestinya apa yang ditulis oleh Husnaini menyentak kesadaran dan nalar kepedulian kita. Dan idealnya kita harus—dalam istilah saya—“tersinggung positif”.

Ada juga sejenis “keluhan” sebagian jamaah, bahwa ceramah-ceramah yang ada narasi-narasinya dikonstruksi seputar surga-neraka, halal-haram semata, sehingga agama terkesan kurang mampu menjadi solusi atas setiap problematika kehidupan. Dan bahkan tidak sedikit atas nama “agama” semakin memperkeruh suasana atas problem yang dihadapi.

Semua ini, solusinya adalah berawal dari apa yang dimaksud dengan “literasi”, “iqra” dan “qalam”. Sama halnya, tulisan-tulisan yang saya hadirkan sejak hari pertama Ramadan sampai hari ini (tulisan ini), ada sejenis ikhtiar besar dalam diri—meskipun hanya sepercik—untuk memenuhi dahaga dan membuktikan bahwa sesungguhnya agama bukan hanya identik dengan surga-neraka.

Agama jika kita memahami, menyelami samudera maknanya tanpa terkungkung oleh dogmatisme dan selanjutnya dijadikan sebagai habitus akan mampu menjadi solusi atas berbagai problematika kehidupan. Persoalan berikutnya apakah kita setuju, mampu memahami, menyadari dan mau mengimplementasikannya. Jangan sampai, membaca tulisan saya saja, sudah “anti”. Ini persoalan besar.

Jihad literasi, selain berfungsi dan menjadi wilayah kerja peradaban yang sangat strategis. Jihad literasi akan bermuara pada cinta agama yang tidak eksklusif, untuk selanjutnya mampu menghadirkan agama cinta yang sangat inklusif, terbuka, toleran, ramah dan cinta damai, serta menjadi etos, motivasi dan energi untuk mengarungi kehidupan.

Jihad literasi, selain untuk menyelamatkan, termasuk akan mampu memberikan spirit kepada umat agar hadir menjadi solusi atas “matinya kepakaran”, termasuk “post truth”. Dimana post truth salah satu era yang menandai kondisi, dimana informasi hoax (kebohongan dan kepalsuan) digunukan untuk menyulut bara emosi dan sentimen di ruang publik. Ini hanya sebagian contoh, banyak hal yang akan sampai pada kesimpulan “jihad literasi” memiliki urgensi dan signifikansi yang sangat besar untuk konteks kehidupan hari ini.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Banteang Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply