Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Refleksi Madrasah Iman Sebagai Manifestasi Kesadaran

×

Refleksi Madrasah Iman Sebagai Manifestasi Kesadaran

Share this article

Oleh: Agus Umar Dani (Sekbid KDI PW IPM Sulsel)

KHITTAH.CO, OPINI – Dalam dunia organisasi pada setiap moment prosesi pelantikan kerap kali kita dengarkan sambutan ayahanda yang selalu memberikan suntikan semangat, spirit kolaboratif, paradigma kolektif kolegial, sampai kepada perwujudan keputusan yang dilakukan dengan musyawarah yang baik. Yang juga tak kalah sering disampaikan, yakni tentang dunia organisasi dan 1001 dinamikanya, tentang konflik yang kadang datang secara tiba-tiba, dan tentang romantika perjuangan yang akan terus mewarnai perjalanan. Dalam satu momentum yang sangat berharga, sepenggal cerita tentang organisasi, masa bakti selama kepengurusan diibaratkan sebagai satu perjalanan yang agung, panjang dan berliku.

Ikatan Pelajar Muhammadiyah adalah bahtera, dan personalianya adalah awak kapal. Dalam pembagian peran atau tupoksi kerja, tentu saja Ketua Umum adalah nahkoda terpilih, de facto dan de jure yang konsekuen untuk diikuti segala bentuk pengarahannya tentang apa dan seperti apa pekerjaan yang mesti dilakoni selama perjalanan. Saat bahtera telah berlayar, semua yang ikut serta bertanggung jawab atas diri dan kelompok, sebab keseimbangan perjalanan jelas ditentukan oleh siapa saja yang terlibat. Selama perjalanan akan selalu ada rintangan, tantangan, dan juga masalah. Yang visioner akan terus bertahan, sementara pecundang akan memilih untuk menceburkan diri ke dalam samudera pengkhianatan. Setiap pelayaran memiliki tujuan, apakah sampai ke pulau satu untuk mendapatkan sesuatu lalu kembali, ataukah harus melintasi dua hingga tiga pulau.

Visi nahkoda mestilah disokong oleh kekuatan para awak yang dapat berupa sumbangsi fisik ataupun pemikiran untuk menjaga perjalanan agar tetap aman hingga tujuan. Awak yang baik adalah awak yang berpikir, tidak sekadar mengikuti perintah nahkoda, namun juga mempertanyakan, kenapa suatu perintah harus diikuti. Dalam dunia organisasi, sepak terjang dan kualitas diri seorang pemimpin diukur dari seberapa bijak ia dalam memimpin dan seberapa cekatan ia dalam mengambil keputusan bila diperhadapkan dengan masalah. Jika personalia organisasi sudah berani melakukan autokritik, maka surpluslah akal sehat dan kerja-kerja organisasi.

Ramadhan Sebagai Madrasah Iman

Jika pemimpin dalam suatu organisasi mesti menilai sepak terjang individunya, maka Allah pun melakukan hal serupa. Ritual peribadatan puasa selama ramadhan hanya dikhususkan bagi umat Islam saja. Bahkan, Islam pun masih harus terseleksi oleh nash-nash kitab suci. Penggunaan term “Wahai Orang-orang yang Beriman” pada awalan surat al-Baqarah tentang perintah puasa, menjadi satu tanda yang penting untuk diperhatikan secara seksama, dimaknai dan termanifestasi. Bahwa perintah untuk melaksanakan puasa hanya dikhususkan kepada umat Islam yang ‘beriman’. Jika salah seorang di antara kita mempertanyakan indikator keberimanan individu umat islam, barang tentu kita akan merujuk kepada matan hadits kedua dalam kitab Hadis Arba’in karangan Imam An-Nawawi, bahwa keberimanan yang dimaksud adalah Rukun Iman yang enam. Kenapa nash hadits tersebut tidak mempersyaratkan hal-hal terlarang?

Jawabannya adalah karena yang beriman akan senantiasa menjaga diri dari segala bentuk perkara yang memiliki potensi untuk menenggelamkan kita ke dalam lubang kemaksiatan. Sehingga bukanlah sesuatu yang anomali jika selama bulan suci ramadhan masih ada tempat-tempat makan yang terbuka di siang hari dan masih ada saudara-saudara kita yang masih acuh tak acuh pada perintah puasa. Sejatinya, peribadatan puasa hanya mampu dijalankan oleh mereka yang mendapatkan ridha dan label keberimanan yang mumpuni.

Meskipun tidak ada yang menjamin bahwa yang berpuasa akan terhindar dari perkara-perkara yang ‘gak ada akhlak’, amoral dan tindakan yang melanggar lainnya. Imam Al-ghazali berkata, “Al Imaanu Yaziidu Wal Yanqus, Yaziidu bittoah, Walyanqus Bilmaksia” (Kadar keberimanan seseorang itu naik turun. Naik karena ketaatan dan turun karena kemaksiatan). Tiap manusia berpotensi melakukan ketaatan, para ulama memberikan saran untuk senantiasa berkumpul dengan orang-orang yang shaleh hingga kadar keberimanan seseorang berada pada keberimanan yang konsisten. Begitupun dengan kemaksiatan dan segala bentuk keburukan.

Setiap individu bisa terjerumus disebabkan oleh lingkungan yang tidak sehat, kesalehan yang tidak terlembagakan, dan proses pembelajaran yang tidak konsisten.

Pembelajaran Berharga

Pada bagian ayat surat Al-Baqarah tentang perintah puasa, Allah mengiformasikan kabar gembira bagi setiap individu yang taat melakukan ibadah puasa, yakni pemberian hadiah berupa label ketakwaan. Takwa berarti takut, tunduk, serta taat yang akan membuahkan ketenteraman jiwa dan terhindar dari perasaan was-was.

Ramadhan sebagai bulan tafaqqur, tentulah dimaknai sebagai sesuatu yang praksis. Menahan lapar dan haus adalah segelumit pembelajaran untuk kita semua agar sama-sama merasakan penderitaan orang miskin yang ada di sekeliling kita tentang lapar dan dahaga. Karena telah dibelajarkan, barang tentu kita meski berlapang dada, mengulurkan tangan untuk memberikan bantuan, baik makan dan minum, sampai pada tempat tinggal yang layak.

Ramadhan adalah momentum untuk merenungkan segala bentuk aktivitas kita selama sebelas bulan yang lalu dengan memikirkan dosa-dosa yang kita perbuat, sekaligus memproyeksikan hal-hal baik selama sebelas bulan ke depan.

Selayaknya bahtera yang akan berlayar selama sebelas bulan lamanya, Ramadhan mestilah kita manfaatkan secara maksimal untuk mempersiapkan bekal sebaik dan secukup mungkin. Tujuannya adalah agar label takwa mampu kita pertahankan dari guncangan dan rintangan selama perjalanan di sebelas bulan yang akan datang, hingga akhirnya kita dimadrasahkan kembali oleh Ramadhan.

Manifestasi Kesadaran

Untuk memastikan tiap-tiap orang di sekitar kita sampai kepada titik bahagia hari raya, maka bagian kedua yang spesial selama ramadhan adalah zakat. Ditujukan kepada delapan syarat penerima yang berfungsi sebagai pembersih jiwa oleh yang berpuasa sekaligus uji materi kepada setiap yang berpuasa. Hal ini lumrah kita dapati karena kerap kali dikampanyekan dan disampaikan oleh para penceramah di mimbar-mimbar masjid selama ramadhan.

Autokritik

Jika saudara pembaca adalah para instagramer, maka barang tentu kita semua pernah membaca kalimat tentang “Puasa Makan dan Minum, Namun tidak Puasa Sampah Plastik”. Kalimat ini tidak terlontar begitu saja, melainkan didasari oleh pengalaman empiris yang betul-betul terjadi di sekeliling kita.

Mari kita merenung sejenak, selama satu bulan penuh ramadhan kemarin pada setiap kita usai melaksanakan buka puasa bersama di masjid-masjid atau tempat-tempat buka bersama khusus, ada berapa banyak sampah plastik yang kita hasilkan? Kita semua tahu bahwa saat ini kita sedang berada pada kondisi darurat sampah plastik. Sadar atau tidak, kitalah aktor-aktor yang sejatinya berkontribusi besar pada penumpukan sampah plastik di lingkungan kita masing-masing.

Tidak ada konsensus yang menunjukkan seberapa banyak sampah plastik yang kita hasilkan selama ramdahan, namun mata kita tak mungkin luput menyaksikan fenomena seperti ini di sekitar kita. Pribadi sendiri menyaksikan hampir setiap malam buka puasa di masjid, suguhan air mineral harga lima ratusan rupiah persediannya tidak pernah kosong. Bahkan hingga ramadhan usai, beberapa dus air mineral masih tersisa di dalam gudang. Tak perlu disebutkan di masjid mana.

Karena tulisan ini dalam konteks peribadatan, tentunya IPM pun mesti hadir sebagai penetral. Sebab sebelumnya telah terlaksana satu event besar di salah satu kabupaten di Sulsel, yakni deklarasi “Pelajar Zero Plastic”. Deklarasi ini tidak hanya sebatas buah bibir, karena pasca deklarasi ditidaklanjuti dengan pembagian tumbler kepada para kader yang hadir pada saat itu. Faktanya UTOPIS. Dari sekian banyak kader yang hadir, ada berapa orang saja yang konsisten dan konsekuen terhadap deklarasi sebelumnya? Pointnya, kebanyakan dari kita adalah penghasil sampah plastik selama ramadhan kemarin.

Padahal kita sama-sama tahu bahwa “telah nampak kerusakan di darat maupun di laut itu disebabkan oleh ulah tangan-tangan manusia”. Bunyi salah satu ayat di dalam surah Ar-Rum. Barang tentu hasrat untuk mengurangi penggunaan sampah plastik itu ada dalam setiap benak kita masing-masing. Apalagi jika kita telah menyaksikan film dokumenter “Pulau Plastik”. Kita berkeinginan, namun untuk cakupan kuasa yang lebih luas tentunya penting oleh pemerintah untuk turut serta dan campur tangan menangani permasalahan sampah plastik ini.

Namun yang menjadi bahan refeleksi untuk kita semua, apa saja yang bisa kita lakukan untuk komitmen mengurangi sampah plastik? Serta ruang apa saja yang bisa kita masuki untuk berkontribusi dalam pengurangan sampah plastik? Apapun yang bisa kita perbuat, perbuatlah! Karena yang berbuat meski kecil, jauh lebih bermanfaat ketimbang yang hanya sekadar bercerita konsep tanpa realisasi. Penggunaan tumbler pun juga bagian dari komitmen, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai air mineral. Meskipun radius kebermanfaatannya terbilang kecil, setidaknya hasrat pengurangan sampah plastik kita termanifestasikan. Sedikit namun konsisten, sudah cukup bermanfaat untuk sekadar permulaan.

Semangat Diawal, Loyo Diakhir

Fenomena penuhnya shaf shalat di masjid pada sepuluh awal ramadhan seringkali kita jumpai. Namun, shaf shalat ini akan terus berkurang serta menipis menjelang tujuh belas hingga akhir ramadhan. Jika mencari-cari indikasi awal fenomena seperti ini, tentu ada banyak variabel yang mempengaruhi, di antaranya: penceramah yang tidak variatif, imam yang terlalu lama, fasilitas masjid yang kurang bersahabat, hingga sendal-sendal yang tidak aman. Namun yang paling mencolok adalah tak sedikit dari jamaah yang menjelang akhir ramadhan kemudian memilih untuk menghabiskan waktu di pusat-pusat perbelanjaan, tempat ngopi, hingga tempat berkumpul yang kurang produktif.

Fenomena ini bisa para pembaca yang budiman saksikan sendiri di berbagai platform sosial media termasuk instagram ataupun facebook. Di linimasa sosial media, dengan mudah kita temukan betapa di sepuluh hari terakhir ramadhan Mall Panakkukang dibanjiri oleh manusia yang rela berdesak-desakan untuk berbelanja perlengkapan hari lebaran.

Panic Buying

Jamaah tarawih yang semakin berkurang menjelang akhir ramadhan, salah satunya dipengaruhi oleh panic buying. Hal ini terjadi karena adanya kekhawatiran tentang barang yang tak lagi tersedia jika belanjanya sudah begitu dekat dengan hari lebaran. Hal ini kemudian membentuk semacam kebiasaan berlomba-lomba untuk mendatangi pasar-pasar, mall-mall dan semua tempat perbelanjaan yang ada. Tentu hal semacam ini telah lari dari esensi puasa. Kita membelajarkan diri untuk menahan lapar dan dahaga, namun tak mampu menahan diri dari hasrat bermewah-mewah dan berlebih-lebihan di hari raya. Di sisi lain, hal seperti ini pula lah yang tak mampu dielaborasi oleh para penceramah di masjid-masjid. Konsentrasi ataupun isi ceramah sebatas penyampaian kutipan ayat ataupun hadis tanpa menyentuh ruang-ruang kebiasaan masyarakat yang ada.

Melalui tulisan ini, kita semua semestinya bisa sama-sama merefleksi diri. Pakaian baru yang kita gunakan di hari raya apakah betul-betul penting untuk diperadakan, ataukah hanya sebatas pemenuhan nafsu? Dari sekian banyak mentahan makanan yang dipersiapkan untuk hari raya, apakah betul-betul kita butuhkan ataukah sekadar perlombaan ajang gengsi-gengsian tetangga? Mari merefleksi.

Konvoi & Embel-embelnya

Pada beberapa tahun terakhir, takbiran tidak lagi diwarnai dengan habitus para anak muda yang berkeliling dengan miniatur-miniatur masjid sebagai ikonik malam perayaan takbiran. Namun lebih kepada menghabiskan malam menjelang lebaran dengan hura-hura atau time’s Happiness. Karena sama-sama keramaian, sebagian besar dari kita lupa bahwa malam takbiran tidaklah sama dengan malam pergantian tahun.

 

jalan kita dapati anak muda yang sedang melakukan konvoi kendaraan roda dua dengan setelan motor yang didesain khusus menggunakan knalpot ribut yang tidak memenuhi standar berkendara di jalan raya. Bahkan tak jarang, perserta konvoi sampai kepada adegan buka-bukaan baju dan berdiri di atas motor serta meneriakkan hal-hal konyol yang tidak berfaedah.

Pembakaran petasan dilakukan hampir di setiap lorong, jalan, hingga di rumah masing-masing. Hilanglah esensi pembelajaran kita selama ramadhan. Berlalulah madrasah iman yang begitu mulia. Selama sebulan kita hanya menggunakan topeng iman kemudian sehari sebelum hari raya nampaklah kembali watak-watak aslinya. Meski begitu tetaplah do’a mendoakan, agar kita semua terhindar dari berbagai bentuk kemunafikan dan senantiasa berada dalam koridor yang tak melampaui batas.

Ied Mubaraq, Taqabbalallahu Minna Wa Minkum. Siyamanaa Wa Siyamakum.

Nuun Walqalami Wa Maa Yhasthurun.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply