Oleh: Andi Firmansyah
Dosen Hukum Perdata UIN Alauddin Makassar
Hukum sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan dan sistem yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat menjadi hal yang begitu normatif dalam penerapannya. Namun di sisi lain, hukum juga seharusnya mampu menjadi salah satu perangkat dalam membina dan mendidik masyarakat. Dalam hal ini, keteraturan dan keadilan sosial menjadi tujuan utama dari adanya hukum dalam masyarakat itu sendiri. Dari sisi ini, hukum tak lagi menjadi normatif yang diciptakan dengan sistem yang baku, sebab hukum lahir dari sebuah kondisi dan masalah kultural yang muncul dari kehidupan sosial itu sendiri. Artinya, butuh pengkajian lebih dalam atas kultur dan kondisi masyarakat sebelum menetapkan aturan-aturan atau hukum yang diberlakukan dalam masyarakat tersebut.
Terkhusus di Indonesia, hukum yang dibentuk berdasarkan landasan ideologi Pancasila, dirancang seragam untuk mengatur masyarakat yang multikultural, dan ditetapkan dengan tujuan mengatur sendi-sendi keadilan bermasyarakat menjadi konsep dan sistem yang masih kompleks untuk diintegrasikan ke dalam kehidupan bermasyarakat. Betapa tidak, Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang dihuni masyarakat dengan ribuan suku bangsa, agama dan ras memiliki sejarah dan kondisi kultural masyarakat yang berbeda-beda. Hal ini menjadikan aturan seragam yang dibentuk (hukum) masih sulit untuk dibumikan di negara ini. Hukum negara tak jarang berbenturan dengan skema pemahaman masyarakat tentang keadilan itu sendiri. Sebab aturan-aturan sebelum diproklamirkanya negara kesatuan Republik Indonesia masih mengakar dan diyakini secara turun-temurun oleh masyarakat di beberapa daerah di negara ini. 350 tahun penguasaan kolonialisme VOC dan 3,5 tahun imperialisme Kekasaran Jepang beserta hukum yang diciptakannya, bukan waktu yang singkat jika dibandingkan waktu yang dihabiskan Indonesia menata hukumnya sejak kemerdekaannya tahun 1945 hingga saat ini. Hukum yang ditinggalakan penjajah sedikit banyaknya mempengaruhi hukum yang berlaku setelahnya. Sebagai negara kolonial dan imperialisme, Belanda dan Jepang menciptakan hukum di Indonesia dengan tujuan membatasi hak-hak pribumi dan membentengi kebebasannya dalam mengeruk hasil bumi Nusantara. Tapi aspek kritik yang ingin disampaikan penulis bukan di persoalan historis tersebut, sebab menjadi kesalahan berfikir jika kita menganggap bahwa sejarah tak bisa dirubah. Sisi lain yang lebih penting untuk kita pikirkan dan kaji bersama yaitu bagaimana penegakan hukum di masa kini dan masa yang akan datang. Apakah hukum itu digeneralisasi sesuai kondisi kultur dalam memenuhi hasrat keadilan dalam masyarakat atau malah memang sengaja diciptakan dengan tujuan sama dengan apa yang terjadi di masa lalu yaitu hukum rimba? Penulis tidak menyalahkan sistem yang dianut dalam hukum yang berlaku di Indonesia. Namun, nalar penulis lebih tertarik ke arah bahasan, siapa yang merancang dan siapa yang diamanahkan menegakkan hukum itu sendiri.
Kita bisa berhitung, lembaga hukum mana lagi yang masih bersih dari penyelewengan hukum hingga hari ini. Pemberitaan masalah ketimpangan penegakan hukum di Indonesia kini telah menjadi sinetron yang memiliki banyak cerita di setiap episodenya. Lembaga yang seharusnya menjadi tumpuan harapan masyarakat dalam penegakan hukum semisal Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi pun tidak luput dari cerita ini. Kita tentu berkeyakinan bahwa masih banyak para aparat penegak hukum yang memiliki moral dan nurani bersih namun (sengaja) dipinggirkan, sehingga sudah seyogyanya momentum ini dimanfaatkan sebagai renaissance nurani hukum. Oleh sebab itu, komitmen dan kemauan politik dari pemerintah, parlemen, dan pimpinan lembaga penegak hukum menjadi alat vital dalam hal ini. Masyarakat amat merindukan teladan hukum, sehingga prasyarat kejujuran, ketegasan, dan keberanian dalam menegakkan hukum dengan moral dan nurani menjadi syarat minimal dari pencarian tersebut (Deryck Beyleveld, Law as a Moral Judgment, 1986). Sebaliknya, jika terbukti atau setidak-tidaknya terindikasi adanya praktik koruptif dan penyimpangan hukum di aras kekuasaan manapun, maka sudah selayaknya segera dibersihkan. Dalam konteks ini, Cicero sempat berpidato di depan tribunus dengan mengatakan bahwa ikan membusuk mulai dari kepala hingga ke ekor, sehingga tindakan yang pantas dilakukan menurutnya adalah dengan memotong dan membuangnya (Imperium, 2007).
Masalah pelik dihadapi ketika nurani seseorang tertutup kabut tebal akibat “keterlanjurannya” terlibat atas sandiwara mafia hukum dan peradilan. Pastilah mereka diam dan bungkam seribu bahasa karena khawatir sejarah kelamnya akan ikut terbuka, sehingga tepat ketika J.E. Sahetapy menyitir pepatah Belanda “de pot verwijt de ketel” yang artinya “belanga menuduh panci, maka akan sama-sama hitam pantatnya”. Satu hal yang tidak kalah pentingnya yakni dengan menggalang pengawasan oleh rakyat dan pers secara langung dan terus-menerus. Tanpa adanya pemberitaan dari media massa, tentu tabir kelam penegakkan hukum seperti sekarang ini tidak akan pernah tersingkap ke meja publik. A blessing in disguise! Oleh karenanya kita patut bersyukur, sebab baik aparat penegak hukum maupun masyarakat luas menjadi terlatih pendengaran telinganya, terasah penglihatan matanya, dan tersinari hati nuraninya. Perjuangan menegakkan keadilan berdasar moralitas dan hati nurani yang tulus memang terasa berat dan tiada henti. Akan tetapi, keyakinan atas pencapaiannya tidak boleh pernah goyah atau redup sedikitpun. Tentunya di masa yang akan datang kita berharap bahwa tak perlu lagi kita mengais-ngais untuk sekedar mencari sebongkah nurani di tengah-tengah ilalang keadilan. Bahkan saking pentingnya arti sebuah nurani hukum, Mahatma Gandhi pernah menyatakan, “In matters of conscience, the law of the majority has no place”.
Tumbuhnya nurani hukum di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara memang nampak sebagai sebuah konsep yang mengawang dan hanya pemanis di tengah amburadulnya penegakan hukum di negeri ini. Namun bukan tak mungkin, jika mimpi ini bisa diwujudkan walau harus melewati waktu yang terhitung tidak singkat. Sejarah besar yang pernah terjadi di beberapa negara di dunia ini, bukan merupakan hadiah dari Tuhan yang terjadi secara instant tetapi merupakan sebuah rekayasa dari orang-orang besar di zamannya. Revolusi Perancis, Revolusi industri di Inggris, Revolis Iran, Restorasi Meiji di Jepang, dan beberapa kejadian besar lainnya adalah sebuah rekayasa sosial yang dibangun dengan tahapan dan waktu yang tidak singkat. Semua peristiwa ini harus melewati pergantian generasi, namun ada pondasi gerakan yang telah dibangun sebelumnya. Begitu pun dengan renaissance nurani hukum di Indonesia, mungkin kita akan menunggu atau bahkan tidak akan menikmati hasilnya. Namun kita harus percaya, bahwa generasi kita bisa membentuk pondasinya dengan sebuah konsep gerakan jangka panjang dalam membangun nurani hukum untuk generasi kita selanjutnya. Dimulai dari kesadaran kita dan kesadaran menyadarkan (mendidik) orang disekitar kita bahwa nurani hukum lebih penting dari pada kepentingan sendiri-sendiri. Semoga