Pada bagian tulisan sebelumnya (Lihat: Hukum Ekonomi Islam & Jihad Konstitusi: Spirit Melawan Privatisasi SDA (Bagian 1) ) telah sampai pada pembahasan tentang bagian neoliberalisme, untuk kedua ini menambahkan penjelasan konsekuensi privatisasi (sebagai akibat neoliberalisme ). Selain itu memberikan gambaran tentang ekonomi norma dasar hukum Islam, hukum Islam dan konstitusi negara sebagai modal untuk mengcounter neoliberalisme.
Neoliberalisme yang mendorong privatisasi tanpa kecuali tentang privatisasi sumber daya air yang diuraikan dalam buku tersebut, menimbulkan beberapa konsekuensi antara lain : Pertama, swasta sebagai pengelola. Dari hal ini terjadi peningkatan harga beberapa kali lipat, dan bahkan ada pemetaan skala prioritas dalam pelayanan yang pada dasarnya sesuai dengan pihak swasta yang dimaksud. Dan tidak seperti jargon yang didengung-dengungkan ternyata privatisasi berdasarkan fenomena di beberapa negara tidak meningkatkan kualitas dan efisiensi.
Kedua, Bagi mereka harga rendah tidak efesien. Harga udara meningkat karena konsumen menikmati semua biaya operasi, biaya pemeliharaan, penggunaan modal dan juga termasuk biaya hutang – hutang lama perusahaan kepada kreditor. Inilah yang disebut Full Cost Recovery yang menjadi instrumen utama melaksanakan kebijakan privatisasi, baik privatisasi air (sesuai buku tersebut) dan tentunya termasuk privatisasi lainnya.
Ketiga, Mengalir kepada si kaya, tentunya hanya bisa dijangkau bahwa kekayaan, aset negara kepada si kaya. Keempat, berdampak pada ketahanan pangan. Untuk konteks privatisasi sumber daya udara sebagaimana substansi bahasan buku tersebut, tentunya karena udara telah menganut prinsip sebagai komoditas ekonomi, maka ini berdampak pada tanaman yang membutuhkan udara dalam jumlah banyak. Terjadi perombakan alokasi udara bagi sektor pertanian.
Selain itu konsekuensinya juga berdampak pada polusi udara, dan daya rusak alam atas pengelolaan udara oleh swasta yang tidak bisa dijamin akan ikut merawat daya rusak yang ditimbulkan. Ini beberapa hal yang bisa kita temukan dalam buku tersebut, terkait dengan dampak buruk daripada neoliberalisme termasuk privatisasi sumber daya air.
Dan termasuk dalam buku tersebut kita bisa menemukan fakta- fakta privatisasi sumber daya air (halaman 48 – 58). Pada dasarnya berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan diuraikan dalam buku tersebut bisa disimpulkan bahwa janji –janji, harapan –harapan manis yang diajukan atas sebuah privatisasi sumber daya air ternyata kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Dan ini terjadi di beberapa negara baik di negara –negara maju terutama di negara- negara berkembang.
Sebagai contoh, janji proyek –proyek raksasa pengalihan air akan meningkatan suplay air, namun yang sebenarnya terjadi, proyek –proyek tersebut merampas air dari suatu komunitas atau ekosistem untuk di bawah ke komunitas atau ekosistem lainnya. Bertambahnya pertanian irigasi yang tandus. Ini terjadi di Amerika. Dan untuk di Indonesia fakta yang ada bahwa PAM Jaya di Jakarta menerapkan konsesi jangka panjang, mengalami kenaikan tarif beberapa kali, janji dalam kontrak tidak disepakati dan serta terjadi praktek semacam “pemerasan” oleh perusahaan penerima konsesi.
Dari uraian di atas kita sudah bisa memahami tentang neoliberalisme dan mekanisme kerja yang terkesan menciptakan ketidakadilan dan memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat, terutama kelas bawah. Untuk mengcounter arus hegemoni dan fakta – fakta “pemerasan” dari spirit neoliberalisme maka kita membutuhkan pemahaman, instrument filosofis dan ideologis yang bisa menjadi pemantik kesadaran.
Pemahaman dan instrument yang dimaksud dan dalam pandangan penulis (baca: Munawwar Khalil) menyebutnya “dialektika” adalah pemahaman dan manifestasi daripada norma dasar hukum Islam termasuk hukum ekonomi Islam. Dan untuk tulisan ini saya tambahkan pemahaman konstitusi negara sebagai instrument mengaplikasikan Jihad Konstitusi.
Kenapa saya tambahkan tentang konstitusi negara, karena saya menemukan indikasi bahwa kontekstualisasi neoliberalisme dengan salah satu spiritnya deregulasi di Indonesia justru sebaliknya. Bukan deregulasi yang terjadi malah mengkonstruksi suatu regulasi yang berpihak pada kepentingan neoliberalisme yang diperkuat dengan pelibatan peran oknum elit negara yang melupakan sumpah dan janji jabatannya dan melupakan amanah konstitusi.
Dalam buku tersebut, penulis, Munawwar Khalil menjelaskan bahwa dalam konteks sosial-ekonomi, ajaran Islam bersifat dinamis serta dalam keberpihakannya pada keadilan sosial bersifat mutlak. Karena dalam pandangannya ketidakadilan bisa merusak tatanan sosial serta bertentangan dengan moralitas.
Dan ternyata dalam uraian buku itu, kita bisa memahami bahwa ajaran Islam tentang ekonomi merupakan bagian dari visi besarnya tentang nilai universal. Ini berarti bahwa rumusan pernyataan yang valid tentang dasar, proses dan motivasi ekonomi dalam masyarakat Islami harus didasarkan pada proposisi nilai Islam yang universal.
Munawwar Khalil menjelaskan bahwa aspek terbaru ekonomi Islam yang berbeda dengan lainnya baik ekonomi Neo-Klasik, Marxis, Institusional dan lain – lain adalah keberpihakannya kepada nilai etik-religius. Islam menegaskan pentingnya refleksi etika pada motivasi ekonomi manusia.
Yang perlu dipahami sebagaimana diuraikan dalam buku tersebut bahwa titik sentral norma – norma hukum Islam adalah menentukan kebebasan manusia untuk bertindak dan bertannggung jawab terhadap kemahakuasaan Tuhan.
Di dalam buku tersebut kita bisa memahami bahwa manusia mampu mencapai cita –cita kekhalifahannya dengan tunduk patuh kehendak Tuhan. Berdasarkan kualitas ini, memantik kesadaran untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan jika ada sesuatu tidak pada tempatnya maka harus diarahkan untuk meluruskan keadaan yang tidak diinginkan dengan berusaha mencapai keseimbangan (mizan) dan kelurusan (qist).
Manusia memiliki kebebasan dan kesetaraan. Kesetaraan merupakan proposisi etik yang mendasar. Dari perspektif kesetaraan dalam konteks kebebasan ini memunculkan makna baru bahwa bukan hanya kebebasan ekonomi tetapi juga kebebasan dari ketamakan dan kerakusan. Pada bagian ini saja kita sudah bisa menemukan satu pemantik kesadaran untuk melawan spirit neoliberalisme yang identik dengan ketamakan dan kerakusan.
Norma – norma hukum Islam yang terdiri dari tiga lapis (jenjang) bisa juga dipahami dalam buku tersebut (halaman 11-12). Norma tersebut tersusun secara hierarkis mulai dari yang abstrak sampai pada yang dikongkretisasi menjadi norma yang lebih kongkret. Di antara lapisan norma tersebut bisa dipahami apa yang disebut asas – asas hukum Islam, kaidah – kaidah hukum Islam dan peraturan – peraturan hukum yang lebih kongkret.
Relevansinya dengan neoliberalisme dan sekaligus sebagai spirit perlawanan, dialetika untuk mengcounter hegemoni neoliberalisme dalam buku tersebut kita menemukan apa yang disebut dengan aksioma – aksioma nilai dasar hukum ekonomi Islam.
Munawwar Khalil, dalam buku tersebut menjelaskan bahwa dalam pandangan Islam dalam hubungannya dengan dirinya sendiri dan dan lingkungan sosialnya dapat dipresentasikan dalam empat aksioma nilai dasar hukum ekonomi Islam yaitu: kesatuan (tauhid), keseimbangan/kesejajaran (al-‘adl wa al – ihsan), ruang kebebasan (ikhtiyar) dan tanggung jawab (fardh).
Berdasarkan aksioma pertama, kesatuan (tauhid) bisa dipahami salah satunya untuk dalam konteks ekonomi bahwa dalam kegiatan ekonomi semua harta (aset) hakikatnya adalah milik Allah SWT, dan pelaku ekonomi hanya mendapatkan amanah untuk mengelola. Oleh karenanya seluruh aset dan anasir ekonomi harus dikelola sesuatu ketentuan Allah
Aksioma kedua, keseimbangan/kesejajaran (al-‘adl wa al-ihsan) bahwa keberagamaan harus diseimbangkan agar menghasilkan tatanan sosial yang baik. Pada dataran ekonomi, prinsip atau aksioma ini menentukan konfigurasi aktivitas – aktivitas distribusi, konsumsi serta produksi yang terbaik, dengan pemahaman yang jelas bahwa kebutuhan seluruh anggota masyarakat yang kurang beruntung didahulukan atas sumber daya riil masyarakat
Pada aksioma kedua ini, sangat jelas bahwa spirit ekonomi islam dan ekonomi neoliberalisme memiliki oposisi biner. Sangat berbeda bagaikan langit dan bumi, bagaikan malaikat dan iblis karena spirit ekonomi liberalism justru sebaliknya bahkan meminta pemerintah untuk menghilangkan subsidi dan mengedepankan spirit persaingan bebas dan berbasis individualistik.
Aksioma ketiga, ruang kebebasan. Dari aksioma ini, bisa dipahami bahwa dalam konteks ekonomi bahwa pada dasarnya aktivitas ekonomi dibolehkan hanya saja pada tingkat filosofis tentang kebebasan Islam berbeda dengan konsep otonomi kontraktual mutlak individu. Dalam Islam konsep kebebasan itu bersifat relatif. Dan akibat yang bisa diterima dari kebebasan untuk dalam Islam lebih mengutamakan akibat yang secara sosial meningkatkan kesejahteraan kelompok – kelompok yang kurng beruntung.
Aksioma keempat, tanggung jawab. Kebebasan manusia harus diimbangi dengan pertanggungjawaban manusia, dan harus siap menjalani konsekuensi logisnya. Keuniversalan sifat al-‘adl, makasetiap individu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan tak seorang pun dapat lolos dari konsekuensi perbuatan jahatnya hanya dengan mencari kambing hitam.
Dengan memahami norma dasar hukum Islam dan termasuk aksioma – aksioma nilai dasar hukum ekonomi Islam, maka akan memantik kesadaran kita menegakkan keadilan atas ketidakadilan dari desain spirit ekonomi yang terimplementasi dari neoliberalisme.
Melawan privatisasi dan termasuk ekonomi neoliberalisme dalam konteks Indonesia bukan hanya melalui bentuk pemahaman norma dasar hukum Islam dan hukuk ekonomi Islam tetapi “jihad konstitusi” sebagaimana yang pernah dan sampai sekarang sering dilakukan oleh Muhammadiyah penting menjadi perhatian untuk terus digaungkan.
Ini menjadi penting karena implementasi neoliberalisme dalam konteks Indonesia, saya menemukan ada formulasi baru yang sesungguhnya keluar dari pendirian dari neoliberalisme itu sendiri: deregulasi dan menjauhkan keterlibatan pemerintah atau negara.
Di Indonesia justru eksistensi neoliberalisme terwujud melalui payung hukum sebagai hasil “perselingkuhan” oknum elit negara dengan pemilik modal yang mengkhiati ikrar suci dari sumpah dan janji jabatan, mengkhiati amanah konstitusi dan mengkhianati rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Namun tentunya masih ada ruang yang dibenarkan oleh konstitusi negara, bahwa segala peraturan perundang –undangan yang dinilai bertentangan dengan UUD NRI 1945 bisa ditinjau ulang (judicial review) melalui Mahkamah Konstitusi. Apalagi konstitusi juga mengamanahkan dan menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Berarti ini adalah landasan kontitusional penolakan privatisasi atas aset bangsa yang dimaksud.
Diakhir tulisan bagian 2 ini, saya menyadari bahwa review buku ini, sesungguhnya tidak mampu mewakili kedalaman pembahasan pada buku yang ditulis oleh Munawwar Khalil.
Agusliadi Massere
Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kab. Bantaeng Periode 2018-2023