Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Isodinamika Islam (2): Kepada yang Abadi dan yang Nisbi

×

Isodinamika Islam (2): Kepada yang Abadi dan yang Nisbi

Share this article

Sumber ilustrasi: liputan6.com

Oleh: Muhammad Syarif Hidatullah*

Berakhlak-lah engkau sebagaimana akhlak Allah. Berakhlak memiliki makna kecenderungan dan kecondongan antar posisi Tuhan yang bereksistensi wajibul wujud (Wujud yang Pasti Ada), diri kita dan hubungan diri kepada makhluk. Bah berpuisi yang tak terhitung lagi manusia selalu menciptakan kemudian mencondongkan hati mereka pada makhluk; pada Ibu, pada Ayah, Adik, Kakak, pujaan hati, pada hewan peliharaan kesukaan, pada tumbuhan, dan makhluk lain yang selalu kita ingin-angankan dan sungguh yang dimaksudkan adalah, manusia menaruh hati sepenuh jiwa kepada makhluk, menyanjung dan bahkan memasuki level “menyembah” kepada apa yang hati manusia itu condongi sehingga kita sangat mudah mencondongkan hati dan pikiran kepadanya.

(Baca tulisah sebelumnya: Isodinamika Islam: Pemaksaan Tuhan Agar Manusia Menyempurna)

Berbuat baiklah engkau sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu, sebagai seorang hamba dan makhluk. Sebagian besar kita, selama ini terlalu menyukai dan membiasakan diri untuk bercengkerama bersama kepada selain Allah, padahal Allah tanpa satu pun kali tak memberi kita udara dan angin yang mengerakkan daun-dedaunan, menyemilirkan danau dan sungai-sungai yang mengalir, memberi padi atau gandum, ditumbuhkan hingga dapat kita makan dan minum dari apa yang Tuhan berikan kepada seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali pun satu.

Aku berbicara kepadamu, bahkan ketika engkau tak mau melihatku, aku berayu-rayu madu walau engkau tetap memalingkan wajahmu, aku merayap-rayap padamu namun engkau berlari kecil hingga menjauhiku, aku berjalan untuk menujumu, namun engkau berlari jauh tak ingin pun mendekati, aku berlari kencang padamu, wahai kekasihku kau palingkan seluruh badanmu. Bagimu adalah kejelekkan ketika engkau hanya memberikan belakang badanmu, namun bagiku adalah kesempurnaan, aku mengagumi semua kejelekkan yang engkau katakan hina, namun engkau berpindah tempat entah di mana. Aku memanggil-manggil namamu di keheningan; di kesendirian, namun hanya kau kirim suara tangisan angin malam, kau lenyap lagi tanpa suara sedikitpun, namun aku terus memanggil-menangis pilu mengais-kais kasih sayangmu, kemudian aku mengeja-eja satu huruf sampai lengkap sebutanmu, namun kau tak satu kalipun menjawab ejaan terbata-bata kaku lidahku memanggilmu. Aku datangi bumi seluruh, tak kutemukan sosokmu, aku datangi air namun tak pernah aku melihat wajahmu, aku datangi langit tak pernah ada yang mengenalmu, aku datangi kerumunan tetek-bengek dan hiruk-pikuk manusia seluruhnya, tak pernah ada yang aku tahu. Di sebuah stasiun dan peron juga dimensi hanif, aku temukan aku; aku temukan Engkau. Kamu bukan lagi kamu, namun betapa tak ada lagi ruang di semesta pikiran dan Qolbu bahwa Kau hanya di dadaku. Kamu ada di dalam, ada di hati. Tidak ada di mana-mana, sebuah tanda kau berada di mana-mana, di manapun ku hadapkan wajahku; ada wajahmu.

Tahukah kita? kita selalu keliru menulis baris-baris kata di atas untuk diberikan sepenuh jiwa pada makhluk dalam rentetan kisah hidup ini, padahal jiwa yang hanif dan seharusnya kata-kata itu selalu bukan untuk makhluk.

Aku selalu menulis dengan rasional, aku selalu menulis dengan rasa, aku selalu menulis dengan harapan ilham, aku menulis dengan hanya mengharap pada Tuhan, aku menasihati diriku dengan kasih sayang, aku tak ingin sempurna, kekasihku-lah seorang yang sempurna, aku adalah apa yang aku pikirkan jika demikian engkaulah yang ada di dalamnya, aku telah hilang, hanya ada kamu, kamu dan engkau benderang. Aku sirna, kamulah yang ada sebagai kawan. Berakhlaklah engkau sebagaimana telah, sedang, dan akan Allah berakhlak padamu. Jangan katakan “Jadilah dirimu sendiri”, karena dengan sendiri kau tak pernah memiliki apa-apa. Berkasihlah engkau sebagaimana Allah telah mengasihimu.

Ada yang salah dengan cara dan jalan kita mencinta; kita selalu terpesona dan keliru memilih Yang Dicinta. Kita sulit membedakan mana kadar cinta pada makhluk dan cinta pada Allah. Tuhan tak pernah melarang manusia untuk mencintai sesamanya; Tuhan hanya selalu wasiatkan “Cintailah makhluk lain karena Aku”. Bukan, “Cintai makhluk, namun meminggirkan Aku”.

Tuhan selalu mengirim surat cinta kepada para hamba-Nya yang paham; hamba yang halus, hamba yang hanif, hamba yang punya kemampuan berpikir, kepada hamba yang berakhlak walau tak banyak punya kemampuan berpikir, kepada semua yang Tuhan kehendaki; bahwa “Dapatkan terlebih dahulu kasih-Ku baru kemudian kau gunakan kasih yang Aku berikan kepada semua makhluk-Ku”, pada redaksi yang lain Allah swt. menulis surat cinta dengan berbagai kiriman tanda-tanda yang ada di Bumi dan diri manusia, dengan berkata “Dapatkanlah kunci keridhoan-Ku, maka gunakan kunci itu untuk membuka hati-hati para hamba yang engkau temui”. Pada surat yang lain, Allah menulis “Mari, carilah Aku maka engkau akan dapati Aku juga akan mencarimu”, pada lembaran setangkai daun Tuhan menulis “Dekatilah Aku dahulu, maka akan Aku dekatkan apa saja yang engkau mau”, pada lembaran telapak tangan manusia, Tuhan juga mengirim tanda dengan menuliskan “Bersihkan niatmu untuk mendekati Aku”, pada dahi-dahi manusia, Allah menulis “Bersihkan hatimu; buang sifat-sifat tercela kemudian masukkan sifat-sifat-Ku di dalammu, maka engkau dapat melihat Wajah-Ku”, pada sisi manusia di tiap lirikan mata mereka, Allah juga mengirim tanda “Jika engkau tak pernah bisa menjadi seorang makhluk jika tak pernah Aku cipta, maka kau tak pernah bisa menginginkan apa saja tanpa kau mengenal Aku dan meminta”.

Ya Allah, Tuhan seluruh manusia dengan berbagai sebutan dan nama-nama, dengan berbagai pensifatan yang tak pernah benar terhadap-Mu namun masih saja Engkau cinta. Yaa Allah, kau masih saja mengizinkan manusia penuh dosa, para makhluk-Mu yang sombong berjalan di atas bumi-Mu, mengais rezeki dari pemberian-Mu.

Ya Allah, terlalu banyak kesalahan dan keliru makhluk-Mu, namun selalu kau mengirim lembaran ayat-ayat, mengirim tanda-tanda, mengirim isyarat-isyarat, lembaran-lembaran mushaf cinta pada makhluk-Mu; lalu kami bisa apa jika Engkau mengirimkan kami isyarat yang di luar kemampuan makhluk-Mu; maaf, kamilah yang menutupi diri untuk mau melihat dan memahami isyarat-Mu karena selalu saja nafsu mengajak kami bertamasya jauh meninggalkan-Mu.

Ya Allah; ini Aku walau Engkau Maha Tahu; aku berjalan sebagai salik dan tenggelam menuju-Mu.

 

*Penulis/Direktur Eksekutif @Salajapustaka Institute

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply