Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Sastra

Masker Emak

×

Masker Emak

Share this article

Oleh: Rita Audriyanti* 

Sejak Bapak dimakamkan tanpa kehadiran Emak dan anak semata wayangnya, Etih, dunia rumah orang miskin ini makin sepi. Tidak disangka, penyebab kematian Bapak ternyata karena Covid-19. Bapak sempat dirawat di Rumah Sakit selama tiga minggu. Hingga meninggalnya, Emak dan Etih tidak diperkenankan menjenguk Bapak.

Sepeninggal Bapak, Emak tetap saja ke pasar. Berjualan sayuran. Etih membantu Emak seperti biasa. Mereka bangun dini hari. Ke pasar menumpang angkot menuju Pasar Induk. Lalu membawa belanjaan untuk dijual kembali di Pasar Bekasi.

Sudah bertahun-tahun Bapak, Emak dan Entih menjalani profesi ini. Mereka tidak punya kios. Hanya ada lapak berupa bale-bale, piranti menggelar aneka sayur. Siangnya, bale-bale kecil itu disandarkan dekat dinding pasar.

**

Emak memperbaiki letak maskernya. Masker yang ia jahit tangan. Bahannya diambil dari kain batik bekas gendongan Etih masa kecil. Pagi itu, Emak sendirian ke pasar.

Etih di rumah. Ia kurang enak badan. Emak sudah membuatkan Etih ramuan anti masuk angin. Juga sudah mengerok punggung Etih tadi malam.

“Besok kamu di rumah saja. Emak yang ke Pasar.”

Etih mengangguk pelan. Kepalanya makin berat. Etih menarik selimut. Tidur melingkar.

Emak sudah sarapan. Ia berangkat ke pasar. Begitu menutup pintu, terdengar Emak batuk-batuk kecil. Lalu hilang ditelan suara musik dangdut dari rumah tetangga.

Di pasar, Emak menggelar dagangannya. Tak banyak sayur yang didapat hari ini. Beberapa calon pembeli memegang dagangan Emak, lalu berlalu. Emak menguap beberapa kali. Ia ingat Bapak. Rindu dengan suaminya yang belum empat puluh hari wafat. Lamunan Emak kemana-mana.

“Mak, nanti kalau si Abdullah jadi melamar anak kita, terima saja. Saya lihat orangnya baik. Walaupun ia miskin seperti kita, tapi akhlaknya baik. Gapapa, modalnya kelakuan aja dulu. Nanti dia bisa bersama-sama Etih maju bersama.”

Emak menangguk. Setuju. Sudah waktunya Etih berumah tangga. Diam-diam Bapak sudah punya tabungan dari uang keuntungan setiap hari.

Malam sebelum kejadian, Bapak menyerahkan sebuah bekas kaleng susu ke tangan Emak.

“Ini buat Etih nikah nanti.”

Lamunan Emak pecah. Emak tersadar saat ada pembeli sudah memilih sayuran.

“Cep. Nitip dagangan, yak. Saya mau ke toilet dulu.”

Emak bergegas menuju toilet umum di belakang pasar. Karena terburu-buru, Emak terpeleset di anak tangga yang baru dipel. Kepala Emak membentur besi bengkok dekat ubin. Posisi Emak terlentang. Kainnya tersingkap. Emak mengaduh. Tangannya memegang kepalanya. Orang-orang ramai membantu Emak bangun. Emak dibawa ke Pos Pasar. Dikasih minum teh manis hangat. Emak tidak banyak bicara. Detak jantungnya makin kencang. Darah segar mengenai kerudung dan maskernya.

“Cep, sini!”

Cecep buru-buru menghampiri Emak.

“Jangan kasih tau Etih ya Emak jatoh. Ntaran juga sembuh. Emak ga apa-apa,” pinta Emak.

Cecep mengangguk pelan. Dalam hatinya berkata, mana mungkin Etih tidak boleh tahu. Kalau ada sesuatu terjadi dengan Emak, bagaimana?

Karena makin pucat, beberapa pedagang akhirnya membawa Emak ke Rumah Sakit.

**

Etih sudah merasa lebih baik. Ia sudah mandi. Keramas. Ia siap-siap hendak menyusul Emak ke pasar.  Tiba-tiba Kang Cecep menyingkap pintu rumah Etih.

“Tih. Ayo buruan susul Emak!”

“Tadi Emak jatoh di WC. Palanya bedarah. Sekarang Emak ada di RS.”

Etih kaget. Wajahnya pucat. Kakinya gemetar.

Disambarnya kerudung bergo yang tergantung di dinding. Lalu buru-buru mengunci rumah. Ikut membonceng motor Kang Cecep.

Sepanjang jalan menuju Rumah Sakit, kedua orang senasib ini diam membisu. Kang Cecep sudah mereka anggap seperti keluarga sendiri. Dalam diamnya, air mata Etih deras membasahi pipi. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi dengan Emak. Timbul rasa sesal mengapa mebiarkan Emak ke pasar sendirian. Etih merasa terlalu manja. Hanya masuk angin saja, membiarkan Emak ke pasar sendirian. Ia mengutuk dirinya.

“Etih. Terlalu kamu! Teganya kau biarkan emakmu ke pasar sendirian. Kau tau ia juga kurang sehat. Dimana rasa sayangmu? Katamu, Emak satu-satunya harapanmu. Tapi kau malah memanjakan dirimu dengan tidur-tiduran di rumah. Kalau ada apa-apa dengan Emak, kaulah penyebabnya.”

Etih tiba-tiba menjerit memanggil Emak. Kang Cecep kaget. Roda motor sempat oleng. Kang Cecep menepi, mematikan mesin motor.

“Etih, kamu kenapa?”

Etih yang terbawa arus lamunan, hanya menggeleng.

Tiba di Rumah Sakit, Etih tidak menemukan dimana Emak dirawat. Sudah bertanya kesana kemari, belum ada kepastian juga. Seorang satpam memperhatikan Etih.

“Oh, ibu-ibu ya. Tadi dibawa ke RS Wisma Altet. Katanya korona.”

Etih terduduk. Lemas.

Tidak jauh dari tempat Etih duduk, ia melihat sebuah masker. Itu masker Emak. Etih berdiri dan berlari mengambil masker itu. Ia meraung sejadi-jadinya. Meremas masker Emak. Orang-orang berdatangan, bertanya ada apa dengan Etih.

Seorang suster lewat dan bertanya kepada Etih.

“Ohh, Ibu Ijah, ya? Memang sudah dipindahkan ke RS lain. Positip korona. Saya tadi ikut bantu ke ambulan.”

Etih terkejut. Lalu pingsan.

Semenatara, Kang Cecep telah balik ke pasar. Meninggalkan Etih sendirian tanpa kepastian  akan  nasib Emak.

  • Penulis 77 buku karya solo dan antologi; pegiat literasi

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply

Opini

Oleh: Dzanur Roin* Seorang ayah bersama putranya berjalan ke…