Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Sastra

Cinta di Ujung Senja

47
×

Cinta di Ujung Senja

Share this article
Example 468x60

 

Ilustrasi:  Liputan6.com

Example 300x600

Oleh:  Sulistiyani*

Sepasang netra mengguratkan berjuta luka.

Saat jiwa berkelana mengenang rasa yang terlupa.

Meski cinta tak lagi bersama mengarungi bahtera.

Hidup harus berjalan meski tanpa dia yang tiada

 

Cinta di ujung melukiskan guratan lara.

Mengurai epilog duka kian menyala.

Perawatannya menorehkan luka tanpa kata.

Hanya embusan doa yang menemani tidur panjangnya.

***

Hawa dingin menusuk kalbu. Seakan membawa selaksa rindu. Saat peluk hangat tubuhnya membuat segala amarahku tak lagi menggebu. Masih terbayang senyum manis yang begitu syahdu mengalirkan kebahagiaan di setiap deru napasku.

Senja diiringi rinai dari balik jendela kian deras. Sedikit menimbulkan genangan air, selebihnya menyisakan jutaan kenangan saat masih bersamanya. Hujan seakan membawa anganku terbang melayang. Menyisi ruang waktu yang telah hilang. Mengingatnya menorehkan luka yang kian menganga. Makin menambah duka karena raga harus bergelut hidup tanpanya. Rindu tanpa kata. Rindu tanpa suara. Rindu yang selalu ada di setiap doa yang kulangitkan di sepertiga malamku. Menyebutkan namanya yang selalu ada dalam embusan nafasku. Mencintainya sepanjang waktu, meski jasad tak lagi bertemu.

Hujan nenjadi suasana yang paling kurindukan. Berjalan bersamanya di tengah hujan, menjadi kenangan yang tak terlupakan. Menikmati senja yang tenggelam dari balik hujan. Hingga hujan, menjadi saat terakhir dengannya yang menyisakan tangisan. Masih teringat jelas di ingatan, keteguhannya meyakinkanku untuk memilihnya. Dia yang telah mampu menggenggam hatiku, menghantarkanku menjadi kekasih halalnya dua tahun yang lalu.

Suatu malam, kami berbincang sebelum melelapkan mata.

“Yah, Bunda besok ke dokter kandungan lagi ya. Ayah bisa temani kan?” tanyaku saat itu.

“Insya Allah, Ayah temani Bund,” ucapnya sembari memelukku saat menjelang tidur.

“Moga ikhtiar kita berhasil ya, Yah. Hadiah setahun pernikahan kita,” kata-kata penyemangatku untuknya agar tak patah semangat untuk tetap berikhtiar mendapatkan momongan yang telah setahun kami nantikan. Kami saling berpelukan erat penuh cinta dan kasih sayang, sekaligus saling menguatkan.

Hingga subuh menjelang, dia yang terbiasa membangunkanku untuk salat malam, tetap lelap tertidur. Azan subuh yang biasanya sudah berada di masjid untuk salat berjemaah pun tak membangunkannya. Kuusap perlahan kepalanya penuh cinta, kucium pipinya penuh kehangatan, lalu kubisikkan lembut di telinganya.

“Ayah, bangun yuk. Salat Subuh,” ajakku lembut. Dia masih bergeming, seakan menikmati mimpi indahnya dengan senyum lembut yang selalu menghiasi wajah tampannya. Kulit putihnya terlihat pucat, mungkin pengaruh AC yang terlalu dingin. Sementara hujan deras di luar rumah terdengar makin gaduh. Segaduh hatiku, yang terusik dengan lelapnya suami yang tak beranjak memberikan jawaban.

“Yah, bangun!” Sedikit kuguncang tubuh suami yang terasa makin dingin dan kaku. Jantungku makin berirama laju tak menentu.

“Yah, bangun. Jangan becandain Bunda. Jangan main-main dong, Ayah!” Suaraku makin nyaring membangunkannya. Tanganku terus mengguncang tubuhnya. Hujan masih setia menemaniku di luar sana. Kumatikan AC, agar suhu ruang kamar terasa lebih hangat. Kepeluk tubuh suamiku erat.

“Ayah, bangun sayang! Kita salat Subuh berjemaah! Ayah sudah terlambat ke masjid!” kuucapkan dengan suara yang makin tinggi di telinganya, sembari terus membangunkannya.

Dingin menghinggapi kulit wajahku saat menyentuh pipinya. Aku merasa diriku paling bodoh ketika menyadari detak jantung suamiku tak lagi berdetak. Jantungku terasa berhenti melaju. Jiwaku seakan hilang meninggalkankan ragaku. Menyadari dia yang kucinta telah meninggalkanku selamanya. Tak kudengar lagi suara teriakanku menyebutkan nama suamiku. Hingga aku tersadar, usai satu jam kemudian seluruh keluarga mengelilingiku yang telah siuman. Semenjak tak sadarkan diri saat menyadari suamiku telah pergi.

Suara teriakanku terdengar dari ruang keluarga tepat di depan kamarku. Ibu, yang mendengar suara teriakan itu segera bergegas masuk ke kamarku. Melihat suami yang terbujur kaku, dan aku yang sudah tak lagi mengingat apapun, membuat ibu panik dan segera memanggil Ayah, kemudian menelpon dokter keluarga yang segera datang kerumah kami.

“Sabar ya Pak, Bu. Arya telah tiada. Ikhlaskan kepergiannya,” ucap dokter Reno dengan wajah menunduk menyampaikan berita sedih pada Ayah dan Ibuku kala itu. Kemudian, dokter Reno segera mendatangiku yang sudah mulai siuman. Mencoba menguatkanku. Semua keluarga sangat berduka. Terkejut dengan kepergian suamiku yang tiba-tiba. Kutatap wajahnya, terlihat senyum manis tetap menghiasi bibirnya. Seakan dia hanya terlelap sejenak saja. Bukan benar-benar pergi untuk selamanya.

Setahun terlewati. Aku masih di sini. Deras hujan masih kurasakan dari jendela ini, dinginnya menyergap hati. Kuhapus air mata yang sedari tadi mengalir deras. Seakan berkompetisi dengan derasnya hujan di luar sana. Kukuatkan hati kembali. Melupakan sejenak kepedihan yang menggelayuti hati.

Yah, kau tak penuhi janji. Bukankah malam itu kau berjanji, untuk menemaniku berkunjung ke dokter kandungan? Andaikan saat itu kau menemaniku, betapa bahagia hatimu melihat benih cintamu berada di rahimku. Kejutan bahagia untukmu. Untuk kita yang setahun menanti kedatangannya. Lihatlah anakmu Yah! Terlahir tanpa kau di sampingnya. Lihatlah anakmu, Yah! Tampan, putih, dengan sesungging senyum manis yang menghiasi bibirnya. Sama sepertimu. Batinku menjerit. Tangisku bukan berkurang. Namun kian membuncah seirama hujan yang kian deras terdengar.

Sesaat lamunanku buyar. Saat terdengar suara tangisan Aldino, anak semata wayangku dengan Mas Arya seakan tak mengijnkanku larut dalam kepedihan. Kuberi nama Aldino, yang artinya kekuatan, agar kelak dia tangguh seperti ayahnya. Menjadi kekuatan ibunya yang berjuang sendiri membesarkan anaknya, tanpa kehadiran bahu yang menopangnya.

Seminggu semenjak kepergiannya, kurasakan sakit di sekujur tubuhku. Meriang, mual-mual, khususnya saat pagi hari. Mungkin aku terlalu lelah, terlalu larut dengan kesedihan sejak kepergian belahan jiwaku, pikirku. Hingga Ibu mengajakku ke dokter untuk memeriksakan diri. Dokter mengatakan bahwa aku hamil. Tak yakin dengan pemeriksaan saat itu, keperiksakan diri lebih lanjut ke dokter kandungan yang menjadi langgananku esok harinya.

Penuh debar harap, saat alat USG menyentuh perlahan perutku yang telah sebelumnya diolesi gel untuk memudahkan alat bergerak. Kucoba menenangkan hati dan pikiran.

Yah, harusnya kau berada di sini. Menenangkan saat risauku. Menggenggam tanganku tuk menguatkan seperti biasa saat hasil USG menunjukkan hasil tak ada apapun di dalam rahimku. Kau selalu mengatakan padaku usai pemeriksaan dengan kata-kata yang mampu menghipnotisku untuk tetap tersenyum, batinku kembali menjerit.

“Bunda, Allah sayang pada kita. Artinya kita disuruh ta’aruf  lebih lama Bund,” ucapnya sembari tertawa. Mengusap kerudungku lembut untuk menenangkan. Kemudian setelahnya, akan mengajakku ke tempat-tempat romantis sekaligus bertamasya kuliner yang menjadi kesukaanku. Hari-hariku selalu dipenuhi dengan cinta yang ia taburkan tanpa rasa bosan. Hingga setahun lalu, dia benar-benar meninggalkanku selamanya. Meninggalkan benih cinta yang harus kurawat dan kujaga sebagai pewarisnya.

Kini, semua tanpa dia. Tak ada lagi canda tawa yang mengiringi hari-hari sepiku. Senja telah pergi. Berganti dengan celotehan manja Aldino yang sudah bisa membahasakan kata ‘Emm’ di usianya yang menginjak dua bulan. Waktu terus berlalu. Hidupku harus tetap berjalan meski tanpa dia. Dia yang selamanya ada di dalam hatiku, meski jasad tak mungkin kembali bertemu. Hanya rindu yang hadir di setiap deru napasku. Pada sujud panjangku, disebutkan namanya tanpa henti, hingga kelak kami dipertemukan dalam abadi. Cinta di ujung senja akan selamanya ada. Sehidup sesurga dengannya.

 

*Penulis Novel Rindu/Guru SMKN 2 Balikpapan

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

[metaslider id="39673"]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Oleh: Dzanur Roin* Seorang ayah bersama putranya berjalan ke…

Sastra

Oleh: Rita Audriyanti*  Sejak Bapak dimakamkan tanpa kehadiran Emak…