Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Pemimpin Sang Pencerah

×

Pemimpin Sang Pencerah

Share this article

Oleh: Syariful Hidayatullah*

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang Imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan dia juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan dia juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan  setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR. Bukhari:4789)

Menelaah dan mencoba mentadaburi hadits tersebut bahwa pada dasarnya semua manusia tanpa terkecuali merupakan pemimpin atas masing-masing amanah yang ditanggungnya. Bahkan individu pun merupakan pemimpin atas wilayah individunya (artinya pemimpin atas dirinya sendiri baik jiwa raga pikiran hati tubuh dan segala hal tentang individu itu sendiri) dan kelak juga akan mempertanggungjawabankan di hadapan Tuhannya. Jika individu saja merupakan pemimpin juga dan dimintai pertanggungjawaban, lantas bagaimana dengan pemimpin secara real yang mempimpin banyak individu atau manusia???

Sudah menjadi kodrat dan sunatullah manusia ingin dihormati, dihargai, ”dimanusiakan”, dipuji, disanjung, dan sebagainya. Demikian tidak ada satu pun manusia yang mau diremehkan, disalahkan, direndahkan atau sebaliknya. Seorang panutan atau pemimpin diibaratkan layaknya sebuah  pohon yang daunnya rindang dan akarnya kokoh serta buahnya lezat, sehingga dengan kerindangan daun itu dapat mengayomi anak buah atau warganya dari teriknya mentari (permasalahan), kuatnya akar mampu menopang banyaknya ranting yang merupakan kiasan dari berbagai macam karakter dan watak dari anak buah atau warganya, sedangkan buah yang lebat merupakan hasil kebijakan-kebijakan dari  sang pemimpin yang dapat dinikmati oleh anak buah  atau  warga untuk kemakmuran dan kesejahteraan hidupnya. Menurut hemat dan perenungan penulis terhadap sosok pemimpin seperti itu. Namun bagaimana realita dalam  kehidupan nyata?

Ada banyak kisah yang seharusnya dan sebenarnya dapat dijadikan contoh, teladan, dan panutan bagi para sang pemimpin. Mulai kisah yang dicontohkan langsung oleh Baginda Rasulullah SAW bagaimana pola dan model kepemimpinan beliau yang harusnya  itu mutlak dijadikan pedoman dan diikuti, bagaimana kemudian pola kepemimpinan yang dicontohkan para Khulafaur Rasyidin, selanjutnya diikuti oleh para tabi’in dan seterusnya hingga masa sekarang ini.

Masa kepemimpinan Rasulullah dan sahabat tidak perlu diragukan lagi, karena mereka memimpin berdasarkan wahyu Allah dan bimbingan rasul, namun yang perlu di analisis adalah pola kepemimpinan masa sekarang, masa modern yang jaraknya terpisah jauh dengan Rasulullah dan sahabat hingga 14 abad. Masih mampunya para pemimpin tersebut memegang teguh dan ittiba’ terhadap pola leadership yang telah dicontohkan dan warisakan Rasulullah?

Ada banyak teori tentang pola kepemimpinan yang terjadi di masyarakat, di antaranya: Pertama, gaya otokrasi, gaya leadership yang menjadikan pemimpin lebih pandai dan tahu dari lainnya dan ketika membuat keputusan akan dilakukan sendiri tanpa melibatkan masukan orang lain. Kedua, gaya demokratis, gaya leadership yang bersifat open dan menjunjung azas kebersamaan semua elemen kepemimpinan, memberikan kesempatan masing-masing berpendapat dan selalu mengutamakan musyawarah mufakat untuk menentukan keputusan kebijakannya.

Ketiga, gaya afiliasi, gaya leadership yang merangkul semua lini dan aspek dari anggotanya, membuka pipa-pipa kebutuan karena “gap”  individu yang selanjutnya di rangkul bersama dalam satu tim yang kompak dan harmonis. Keempat, gaya laissez-faire, gaya leadeership yang menampilkan permukaan sang pemimpin membiarkan bawahannya untuk bergerak mengikuti arus yang ada tanpa adanya pengawasan yang ketat. Gaya ini merupakan lawan dari gaya otokratis. Bawahan diberikan kebebasan berekspresi tanpa ada arahan dari pimpinan.

Kelima, gaya transformasional, gaya leadership yang berusaha memotivasi dan menginspirasi bawahannya serta memberikan pengarahan kepada perubahan yang positif dalam kelompok. sang pemimpin terus berupaya untuk komitmen membawa gerbong organisasi yang dipimpinnya menuju tujuannya dengan tetap terus membantu dan mendorong bawahannya untuk meningkatkan kompetensinya hingga memperkuat gerbong organisasinya. Keenam, gaya transaksional, gaya leadership yang memandang hubungan antara pimpinan dan bawahan sebagai suatu transaksi relasi. Disini hubungan lebih pada majikan dan karyawan yang terwujud pada pemberi kerja dan penerima upah. Bawahan tahu akan pekerjaannya dan imbalan yang akan diterima atas prestasinya. Sang pemimpin dimungkinkan untuk menawarkan pengawasan dan arahan jika diperlukan oleh bawahannya.

Ketujuh, gaya situasional, gaya leadership yang menekankan pengaruh signifikansi dari lingkungan dan situasi terhadap kepemimpinannya. Beberapa langkah yang dilakukan sang pemimpin dalam mengarahkan bawahannya yaitu: (a) memberikan informasi atau pengarahan kepada bawahan apa saja yang harus dikerjakan, (b) meyakinkan bawahannya agar membeli ide dan pesan mereka, (c) memberikan izin bawahan untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam mengambil keputusan, dan (d) mendelegasikan anggota untuk membuat sebagian besar keputusannya.

Dari sekelumit teori kepemimpinan tersebut, jika saat ini kita sebagai pemimpin masuk  kategori manakah? (jujurlah kepada diri sendiri). Jika kita sebagai bawahan, model pemimpin yang bagaimanakah yang diharapkan dan dambakan semua bawahan? ( jujurlah kepada diri sendiri).

Secara umum pasti seorang pemimpin akan memilih menjadi pemimpin yang  ideal, menjadi idola seluruh bawahan, dihormati dan sanjung seluruh bawahan. Itu hal yang wajar dan manusiawi, namun untuk memperoleh semua itu apa yang telah kita lakukan kepada bawahan kita? Sudahkan kita sebagai pemimpin menghargai dan menghormati hak bawahannya kita? Menutup kekurangan bahkan aib bawahan kita kepada lainnya sebagaimana hal itu seperti miliki kita sendiri?

Sudahkah kita memberikan apresiasi kepada bawahan dalam bentuk apapun yang mampu membahagiakan psikologisnya hingga kinerjanya terus meningkat? Sudahkan kita menegur bawahan yang salah secara bijaksana tanpa bawahan merasa direndahkan dan bahkan permalukan? Sudahkan kita mengucapkan terima kasih setiap apapun yang dilakukan bawahan dan mengucapkan “Mohon maaf tolong” untuk  setiap hal yang kita perintahkan kepada bawahan? dan masih banyak pertanyaan lain yang perlu dipikirkan, renungkan dan bahkan dilaksanakan oleh kita sebagai sang pemimpin agar bawahan merasa nyaman dan bahagia dalam pengayoman kita.

Dalam realitas terkadang kursi pimpinan melenakan, sanjungan dan pujian terkadang memplesetkan orang dari jalan lurus yang seharusnya dilalui, intimidasi dan pressure dari lawan politik sedikit mampu mewarnai arah laju kapal dan bahkan bisikan-bisikan lembut yang  menggoda tanpa sadar mampu merubah arah layar kapal kepemimpinan yang  terkembang hingga terlena dari tujuan awal. Tidak jarang hal tersebut terjadi,di awal kepemimpinan memang orang masih mampu obyektif dan bijaksana dalam memimpin dan memtuskan.

Tanpa kendali kuat, iman yang kuat dan terus memohon pertolong Allah, pelan namun pasti kursi pemimpin yang empuk melenakan jarum kompas yang lurus menjadi miring hingga dermaga anjungan kapal berubah haluan. Hanya pemimpin yang mampu memegang prinsip kokoh dan siap berkorban memgenggam bara api dengan kuat hingga padam walau harus terbakar tangannya adalah pemimpin yang kelak mendapat naungan Allah SWT di mana tidak ada satu pun naungan selain itu.

Selain itu,pemimpin yang melandasi pola interaksi kepemimpinannya atas dasar kepentingan tidak akan bersifat abadi dan baik, sifatnya temporer dan nisbi karena ketika kepentingan  selesai maka  bawahan belum tentu akan tetap diayomi. Selain itu bisa saja akan tergantinkan oleh yang lainnya dan lebih menguntungkan atau memiliki kepentingan yang baru.

Jenis pemimpin seperti itu cepat atau lambat akan terasa sangat tidak ideal di mata bawahan dan akan dijauhi pelan-pelan oleh bawahannya. Kalau pun masih ada bawahan yang dengannya masih sebatas karena masing-masing memiliki kepentingan  juga, mencari muka, dan takut. Jenis pemimpin seperti ini tidak memiliki aura sebagai pemimpin yang kharismatik dan akan cepat ditinggalkan bawahanya, kesetiaan dari bawahan tidak ada.

Beda dengan seorang pemimpin kharismatik yang mampu mengayomi dengan adil, menyediakan telinga untuk mendengar bawahan dari banyak sisi dan banyak pihak hingga memutuskan kebijakan yang adil. Menelisik secara tuntas dengan triangulasi data dan snowbolling terhadap masukan dan informasi yang diterimanya.

Selain dirinya akan  terjun langsung dalam mencari kebenaran sebelum memutuskan, melandasi relasi karena mengemban amanah Allah dan menanamkan diri bahwa hidup untuk melayani. Memperlakukan secara adil dan merata sesuai kapasistas dan profesionalitas. Jika hanya sekedar menjadi pemimpin itu mudah namun yang sulit dan perlu banyak dilatih adalah menjadi pemimpin yang mencerahkan, menghangatkan, mengayomi,menyejukkan dan didambakan bawahan itu yang tidak mudah.

Semoga Allah memudahkan dan  terus menolong kita dalam mengemban dan menjalankan amanah hingga khusnul khotimah.  Konsisten memegang prinsip,tegas, dan tawadu, rendah hati tanpa rasa “adigang adigung adiguna” menegakkan hukum secara adil tajam luar dalam. Terus bersandar kepada Allah dan memohon pertolongan agar dimudahkan segala urusan dunia akhirat. Bismillah fastabiqul khoirot dan berusaha terus hidup untuk melayani.

 

* Staf Bawaslu Daerah Istimewa Yogyakarta, Bidang Hubungan Masyarakat

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply