Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Meski Kebebasan Akademik Menindihnya, Pesohor Akan Disetubuhi Melalui Gelar Honoris Causa

×

Meski Kebebasan Akademik Menindihnya, Pesohor Akan Disetubuhi Melalui Gelar Honoris Causa

Share this article

Oleh: Ermansyah R. Hindi

Lain cara berpikir di satu perguruan tinggi, beda pula gaya di perguruan tinggi lain. Bak kasmaran dengan dunia akademiknya, tetapi tidak mesra antara gelar honoris causa dan kebebasan akademik.

Ada masa akan dikenang, dimana seseorang akan diberi gelar Doktor Honoris Causa. Jika layak baginya mengapa ada upaya untuk menepisnya dari ‘pihak dalam’ perguruan tinggi?

Padahal pemberian gelar tersebut merupakan kewenangan perguruan tinggi bersangkutan. Hal tersebut telah dilimpahkan sepenuhnya dari pemerintah melalui Kemendikbudristek.

Apalagi seseorang adalah pesohor di negeri ini, yang dianggap memiliki kemampuan untuk mengelola pemerintahan ke arah lebih baik. Bukan soal pesohor di negeri ini, karena sebagaimana di daerah pun dilakukan hal yang serupa.

Ternyata, Aliansi Dosen Universitas Negeri Jakarta tidak bermaksud sebagai perguruan tinggi yang melakukan penolakan buta atas pemberian gelar Doktor Honoris Causa terhadap pesohor penting di negeri ini, melainkan kritik untuk memajukan dunia akademik atau masyarakat ilmiah tanpa kehadiran pembungkaman intelektual.

Terdapat kesan di atas permukaan, bahwa antara Ikatan Alumni dan Aliansi Dosen Untuk Kebebasan Akademik di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) terjadi konflik internal. Yang satu mendukung dan yang lain menolak pemberian gelar Honoris Causa.

Jika dipahami sebagai sebuah dinamika, begitulah yang lazim terjadi dalam perkembangan pengetahuan, yang diperhadapkan dengan tantangan seperti sorotan tentang hilangnya pesona perguruan tinggi sebagai basis intelektual, agen perubahan atau kontrol sosial. Ia tidak sendirian, pihak pemerintah pun menggaungkan tentang “kampus merdeka”. Kita akan melihat nanti seperti apa perkembangannya ke depan. Terutama masyarakat ilmiah di perguruan tinggi akan menilai seberapa besar perkembangan dari kebijakan negara.

Yang menarik, bagi Ma’ruf Amin, gelar Professor dan Doktor sudah disandangnya sebelum memangku Wakil Presiden Republik Indonesia. Buat apa dia berada dalam kengototan untuk memiliki deretan gelar Doktor Honoris Causa yang diberi oleh salah satu perguruan tinggi. Dia sudah cukup menduduki posisi penting nan papan atas di berbagai organisasi.

Selain itu, Erick Thohir diusulkan sebagai calon penerima gelar Doktor Honoris Causa. Gelar kehormatan itu dinilai berdasarkan prestasi atau karya di dunia bisnis, yang ditandai kepemilikan saham di sejumlah klub olahraga basket di Amerika Serikat dan klub olahraga sepak bola di salah satu liga negara di Eropa. Erick dinilai terlibat dalam penyelenggaraan Asian Games tahun 2018.*[1]* Sehingga dia layak memperoleh gelar Honoris Causa yang dimaksud.

Memang sah-sah saja, ketika ruang akademik atau masyarakat ilmiah memungkinkan untuk membuka ruang lain seperti ruang perdebatan *[2]* menyangkut pemberian gelar Doktor Honoris Causa terhadap seseorang. Pemberian gelar tersebut terlepas apakah ada kaitannya dengan latar belakang pekerjaan atau profesi dari orang yang akan diberi gelar kehormatan. Penyediaan data untuk dianalisis diantara pihak yang mempermasalahkan tentang pemberian gelar Doktor Honoris Causa terdapat kemungkinan akan bersaling-silang dengan interpretasi dan pergolakan persepsi dari masing-masing pihak yang mempertahankan argumennya.

Tarik menarik dalam wilayah dikursus ilmiah yang perlu dibangun untuk menghindari monopoli pemikiran dan membebaskan dunia akademik dari kebenaran tunggal. Hal yang wajar tatkala masing-masing memiliki perbedaan dalam konsep, sudut pandang atau cara berpikir. Disitulah akan mengalami perkembangan lain melalui perbedaan, bukan pertentangan, tetapi sesuatu yang plural, bukan polarisasi, tetapi suatu interpretasi yang berbeda. Ketika setiap pihak memiliki alasan yang dikemukan menurut pemahaman yang berbeda atas satu dasar apa pemberian gelar kehormatan, sudah tentu akan dipertimbangkan dan dinilai menjadi sesuatu yang bisa diapresiasi, sekalipun mereka berlarut-larut dalam polemik.

Tetapi, perbedaan bukanlah sesuatu yang membuat satu pihak yang akan disingkirkan dan pihak lain akan menikmati di atasnya. Ia adalah anugerah secara lapang dada perlu diterima oleh semua tanpa permainan topeng dan sejenisnya.

Gelar akademik sesungguhnya lebih dekat dengan nuansa formalisme, yang menempatkan fungsi pengetahuan seperti observasi, analisis, dan verifikasi atas obyek ilmiah dihadapkan dengan tanggungjawab intelektual nampak kaku dan monoton. Perdebatan akademik akhirnya akan dimanipulasi oleh kesamaan persepsi dan penalaran, yang terinstitusionalisasi dalam praktek keilmiahan dan kepemerintahan.

Beberapa hal yang tidak mustahil untuk dihindari dalam kaitannya dengan rencana pemberian gelar Doktor Honoris Causa terhadap dua tokoh sebagai pesohor terkemuka. Setidak-tidaknya masing-masing pihak dalam hal ini, aliansi untuk kebebasan akademik dan ikatan alumni bersama pemerintah menggunakan pendekatan terhadap kemungkinan pemberian gelar kehormatan.

Aliansi untuk kebebasan akademik mengajukan dua pendekatan dengan mengangkat latarbelakang historis atau suasana nostalgik, yaitu pendekatan teologis dan pendekatan sosiologis terhadap kelahiran dan pemberlakuan gelar Doktor Honoris Causa. Pertama, dalam pendekatan teologis, aliansi untuk kebebasan akademik memiliki pandangan bahwa mereka menemukan jejak-jejak pembenaran gelar kehormatan dari periode tertentu di abad 15 dan 16 antara agama dari ruhaniawan yang meyakini Tuhan *[3]* telah mengajarkan kebaikan dan pemeliharaan kehormatan manusia, yang memberi jalan bagi masa depannya untuk mendefinisikan ‘gelar kehormatan’-Honoris Causa terhadap siapa yang diberkahinya. Kewajiban manusia untuk menyebarkan kebaikan dan pemeliharaan kehormatan dari orang yang dipilihnya sebagai penerima Honoris Causa. Jika agama atau teologi diketahui, maka ada alasan yang sangat sederhana atas pemberian gelar kehormatan menjadi bagian dari hidup itu sendiri sebagai sesuatu yang ada. Sehingga manusia menemukan dirinya melalui keyakinan agama, yang berbicara tentang kehormatan diri dan keluarganya, terhadap ketergantungannya atas hal-hal yang tidak masuk akal, tetapi akhirnya dipahami jejak-jejak dan tanda-tanda pemeliharaan Tuhan. Dari sanalah manusia muncul pada abad dimana gelar kehormatannya dihistorisasikan, yang ditarik dari zaman klasik ke zaman sekarang.

Kedua, pendekatan sosiologis. Aliansi untuk kebebasan akademik melihat lingkaran kehormatan yang penuh pemujaan pada kaum terpandang secara sosial seperti aparat atau pejabat dan bangsawan, yang melingkari kesadaran mereka di masa sangat jauh dari generasi kita saat ini. Keingintahuan yang cair dari tatanan sosial tidak mengaburkan jejak-jejak yang ditinggalkan waktu itu. Gelar kehormatan di masa ini hanya untuk orang-orang tertentu, yang membuat manusia menemukan dirinya kosong dari kehidupan sosial. Karena itu, gelar kehormatan juga hanya diberi dari golongan atas.

Ketika manusia menempatkan dirinya berdasarkan susunan sosial, maka gelar kehormatan hanya sepanjang mereka bekerja, menjabat, berpangkat, berpunya sesuatu, dan berbicara tentang masa depan.

Manusia diberi gelar kehormatan karena memiliki hak bagi semua perkembangan positif dengan setiap kata-kata yang dia ucapkan begitu dipatuhi atau dihargai. Kesejarahan manusia sesuai susunan sosialnya adalah sejarah kehormatan itu sendiri. Sejarah dan masa depan manusia kehormatan manusia adalah sejarah kehidupan manusia dengan segala dinamikanya.

Seseorang melakukan pembacaan teks sejarah yang dilapisi dengan kekhawatiran atas peristiwa kemunduran pengetahuan jika pihak perguruan tinggi serius melaksanakannya secara resmi.

Dari sini, kedua pendekatan, gelar kehormatan manusia dipertaruhkan dalam dunia akademik dan tuntutan kebebasan didalamnya menjadi obyek historis, dalam doktrin agama berbasis teologis dan susunan sosial menjadi ruang pengetahuan memiliki nilai penting yang sangat besar bagi masa depan kehidupan manusia. Karena pendekatan agama-teologis dan sosiologis bisa diterapkan dalam pemberian gelar kehormatan, maka disitu pulalah ditemukan kebebasan akademik, yang diperjuangkan oleh aliansi. Kedua pendekatan tersebut tidak pernah diterapkan pada hal-hal lain, kecuali pada pemolaan kesejarahan dan masa depan kehidupan manusia itu sendiri. Pilihan obyek pengetahuan tentang gelar kehormatan yang mereka ciptakan dan metode yang diterapkan, semuanya disediakan perefleksiannya oleh sejarah. Sejarah tentang gelar Honoris Causa tidak pernah berhenti lahir seiring perjalanan waktu menuju masa depan kehidupan manusia. Betapapun hal itu berat bagi pemberian gelar kehormatan akan mengalami perbaikan atasnya, diterima atau ditolak tetap hadir dihadapan kita. Pembacaan sejarah yang tidak berat sebelah akan membuat seseorang lebih sering berusaha untuk mentransendensikan keberakaran pengalaman dan pelacakan jejak kebebasan akademik dibandingkan sekedar obyek gelar kehormatan.

Ada pula pendekatan hukum yang ditempuh oleh aliansi kebebasan akademik dan dibicarakan oleh pihak pemerintah, selanjutkan ditanggapi balik oleh pihak ikatan alumni perguruan tinggi bersangkutan. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan hukum tentang gelar kehormatan.

Ketika mereka menghindari rujukan hukum *[4]* mengenai gelar kehormatan, berarti tidak pernah melakukan apapun kecuali menghubungkan suatu episode peristiwa hukum tentangnya dengan episode peristiwa sejarah gelar kehormatan saat eksistensi, metode, dan konsep berjejak melalui keakarannya menjalar hingga urutan kronologis dan rincian peraturan dengan kemungkinan terjadi perbedaan sudut pandang. Tetapi, kebebasan akademik tidak terpasung selama kita menemukan celah pemahaman tentang pemberian gelar kehormatan. Keakaran dalam ketidakterbatasan wujud kehormatan manusia muncul saat seseorang menampakkan hukum waktu sebagai batasan episode peristiwa hukum. Keterbatasan episode pemberian gelar kehormatan menyisakan celah bagi segala sesuatu yang tidak dipikirkan akan dipikirkan. Misalnya, celah peristiwa hukum mengenai akreditasi A perguruan tinggi dan penilaian atas jasa-jasa luar biasa dari seseorang yang akan menerima gelar kehormatan.

Saat keterbatasan episode pemberian gelar kehormatan muncul pada dirinya lantara tidak memenuhi syarat menurut hukum, maka logikanya selalu memiliki sesuatu yang selalu dipikirkan pada saat dia memulai berpikir. Saat mengalami kemunduran menurut episode kesejarahan gelar kehormatan tidak pernah berhenti karena landasan pemikirannya selalu ada. Ketika mereka mengakhiri berpikir, maka yang ada selalu memiliki celah untuk berpikir kembali apa yang akan dipikirkan dari kesudahannya.

Itulah mengapa ketelitian yang apik, gelar kehormatan ditengahi oleh kebebasan akademik, yang memungkinkan pengetahuan bisa menemukan ruang komunikasi menuju titik tertentu, tetapi tidak pernah mengetatkan secara kaku untuk memasuki ruang analisis yang definitif dan penilaian final dibalik episode pemberian gelar kehormatan. Ada saja celah yang belum dipikirkan saat kita memiliki waktu untuk memulai berpikir dalam pemikiran yang pernah ada titik kemajuannya.
Catatan

[1] Erick Thohir diusulkan sebagai calon penerima gelar Doktor Honoris Causa berdasarkan prestasi atau karyanya.
Diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/1519790/ikatan-alumni-unj-kritikan-aliansi-dosen-zalimi-maruf-amin-dan-erick-thohir, tanggal 24 Oktober 2021, pukul 09.58 WITA.

[2] Ketika ruang akademik atau masyarakat ilmiah memungkinkan untuk membuka ruang lain seperti ruang perdebatan.
Diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/1520130/bantah-zalimi-maruf-amin-soal-gelar-kehormatan-aliansi-dosen-unj-hanya-kritik, tanggal 24 Oktober 2021, pukul 09.51 WITA.

[3] Jejak-jejak pembenaran gelar kehormatan di abad 15 dan 16 antara agama dari ruhaniawan dan pemeliharaan kehormatan manusia.
Diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/1519772/unj-akan-beri-gelar-doktor-honoris-causa-aliansi-dosen-mundur-ke-abad-16/full?view=ok, tanggal 24 Oktober 2021, pukul 10.42 WITA.

[4] Rujukan hukum tentang gelar kehormatan, diantaranya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply