Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Memberi Hadiah untuk Negeri dan Negara

×

Memberi Hadiah untuk Negeri dan Negara

Share this article

Oleh: Hasanuddin Wiratama*

“Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu” John F. Kennedy, Presiden AS. ke-35

Kalimat ini awalnya saya kira dibuat Tim Perumus SPI, pertama kali saya dengar dari bibir Rahmawati Rauf, salah satu panitia Training Center Taruna Melati 1 (TC. TM.1)  Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) Limbung tahun 1994. Beliau yang mengajak kami mengikuti kegiatan ini. Namun kalimat ini beliau ucapkan saat menjadi Sekretaris Umum Pimpinan Daerah Ikatan Remaja Muhammadiyah (PD. IRM) Gowa, saat membawakan materi pada pelatihan administrasi IRM Gowa, tahun 2001. Saat itu saya Kepala Biro Kesekretariatan Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PD. IPM) Gowa Kantor Limbung.

Ketika kuliah di Unismuh Makassar, saya baru mengetahui bahwa ternyata kalimat tersebut pertama kali dikatakan oleh John F. Kennedy, Presiden AS ke-35 yang terbunuh pada saat masih menjabat. Tetapi bukan Kennedy yang menginginkan saya membahasnya dalam tulisan ini. Tetapi ini adalah sejenis indoktrinasi di organisi otonom (ortom) Muhammadiyah, khususnya IRM (sekarang IPM) kepada calon anggota dan kadernya.

Semangat untuk memberi telah ditanamkan sejak awal kepada “bibit-bibit” Pimpinan Muhammadiyah, yang nantinya akan menjadi top leader di Muhammadiyah baik di tingkat daerah maupun wilayah. Semangat itu sudah tercermin dari setiap kalimat yang disampaikan di atas yakni “memberi kepada negara”.

Seharusnya, jika indoktrinasi diberikan untuk loyalitas kepada IPM atau Muhammadiyah maka kata “negara” diganti saja dengan kata “IPM” atau lebih kepada kata “Muhammadiyah”. Sehingga akan terdengar, “Jangan tanyakan apa yang IPM/Muhammadiyah berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada IPM/Muhammadiyah”. Tetapi kalimat itu tidak dirubah, dan tetap saja kata negara disebut negara.

Memberi untuk Negeri

Kalimat di atas adalah semacam slogan, motto, semboyan Lazismu. Pertama kali saya baca saat Gempa Palu Donggola Sulawesi Tenggara tahun 2018. Mungkin sudah digunakan sebelumnya, tetapi ini dibuat oleh Lazismu Pusat, yang tertera pada setiap bahan cetakan logo Lazismu. Pada saat di Palu, ada relawan yang berseloroh, “Seharusnya memberi untuk pengungsi, bukan memberi untuk negeri”, ini hanya sekadar candaan saja. Mungkin saja ini timbul dari pemahaman kebanyakan orang bahwa kata negeri itu identik dengan  milik pemerintah, misalnya sekolah negeri, pengadilan negeri, pegawai negeri.

Pemahaman ini sangat wajar sebab kata negeri sering digunakan untuk menunjukkan status sebuah badan hukum milik pemerintah dan bukan milik swasta. Hanya saja pada semboyan Lazismu, “Memberi untuk Negeri”, kata negeri ini dimaknai sesuai makna asalnya yakni tempat tinggal suatu bangsa. Nah, tempat tinggal suatu bangsa yang dimaksud dalam semboyan ini tentunya adalah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan suku bangsa dan bahasa, dengan penduduk lebih dari 273 juta. Itulah yang dimaksud negeri dalam semboyan Lazismu. Semboyan ini lahir dari kebiasaan Muhammadiyah sebelum Lazismu dibentuk. Kebiasaan Muhammadiyah itu, untuk senantiasa memberi kepada negeri.

Pada jaman pra kemerdekaan, Muhammadiyah telah terbiasa memberi untuk negeri, bahkan sejak awal mula Muhammadiyah didirikan. Sejarah telah mengukir jika awal Muhammadiyah didirikan telah menjadi perintis pendidikan modern yang senantiasa hadir hingga saat ini. Pertama kali di Kauman, Jogjakarta, kemudian madrasah madrasah Muhammadiyah mulai tersebar diseluruh pelosok pulau Jawa, bahkan hingga ke Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Salah satu madrasah Muhammadiyah yang didirikan di pulau Sulawesi berada di Kota Makassar yang didirikan langsung oleh Buya Hamka sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Hingga setelah Proklamasi Kemerdekaan, Muhammadiyah gencar membentuk jaringan-jaringannya, berbentuk cabang dan ranting, namun bukan hanya jaringan organisasi, Muhammadiyah gencar mendirikan amal usaha bidang pendidikan mulai dari TK ABA hingga Universitas Muhammadiyah.

Di Limbung Gowa, Madrasah Mua’limin (setingkat SMP dan SMA) pertama kali dididirikan oleh Muhammadiyah, bukan atas inisiatif langsung Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tetapi kader Muhammadiyah lokal, yang telah dikader dan menjalankan fungsinya sebagai subjek dakwah Muhammadiyah. Mereka masing-masing menginisiasi pendirian sekolah/madrasah yang tentunya hal ini menjadi tugas dan kewajiban negara.

Dalam sejarah Muhammadiyah Gowa Sulawesi Selatan, SMP yang pertama kali berdiri adalah milik Muhammadiyah Cabang Limbung, setelah beberapa tahun kemudian pemerintah mendirikan SMP Negeri 1 Limbung (SMP Negeri 1 Bajeng) itu pun awalnya menumpang di gedung milik SMP Muhammadiyah Limbung. Di ujung timur Gowa, Kec. Tombolo Pao, sekolah SMP dan SMA pertama kali didirikan oleh Muhammadiyah Cabang Pao Tombolo di Kampung Datarang yakni Mts. dan MAS Muhammadiyah Pao Tombolo, pada tahun 1980-an. Pada  tahun 2000-an, setelah pemekaran kecamatan, kemudian dididirikanlah SMA Negeri yang letaknya tidak jauh dari sekolah Muhammadiyah. Pemilihan lokasi ini mungkin strategi pasar oleh pemerintah.

Jika kita membuka kembali lembaran sejarah baik yang berada di perpustakaan maupun hasil pencarian di internet akan kita temukan jika Amal Usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan cukup banyak jumlahnya. Berdasarkan data dari Diktilitbang Muhammadiyah sejumlah 162 Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah pada tahun 2020. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun tahun sebelumnya, disebabkan pada beberapa tempat Sekolah Tinggi/Akademi digabungkan menjadi sebuah universitas.

Kemudian data yang kami peroleh,  jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah lebih dari 10 ribu,  tepatnya 10.381 unit. Jumlah ini dihasilkan berkat kerja keras anggota/kader Muhammadiyah yang berfungsi sebagai bubjek dakwah Muhammadiyah. Meskipun, masih banyak kalangan, yang sering menyampaikan bahwa Muhammadiyah bukan ormas terbesar di Indonesia, tetapi itu diukur dari jumlah anggota. Tetapi, dengan jumlah yang lebih sedikit, kader Muhammadiyah telah memberikan kontribusi nyata sejumlah 10.381 unit lembaga pendidikan.

Meskipun Muhammadiyah memiliki lembaga pendidikan terbanyak di Indonesia, hingga hari ini tidak pernah seorang Pimpinan Muhammadiyah yang berani mengklaim jika sebuah instansi  pemerintah adalah untuk Muhammadiyah.

Muhammadiyah memiliki ratusan rumah sakit/poliklinik dan fasilitas kesehatan lainnya. Namun dalam kegiatan perkaderan ortom, pengajian Muhammadiyah, baitul arqam Muhammadiyah, dan kegiatan internal lainnya baik metode tatap muka maupun via online aplikasi zoom, kita tidak pernah mendengar dari Pimpinan Muhammadiyah jika sebuah institusi/lembaga pemerintah seharusnya dikelola oleh Muhammadiyah. Bahkan hinggga hari ini BPJS milik negara, masih berutang kepada Rumah Sakit Muhammadiyah.

Negara mengurusi pendidikan melalui Kementrian Pendidikan, pasca reformasi seingat saya sudah 5 kali berganti nama, jika di Muhammadiyah, ada majelis Dikdasmen dan majelis Diktilitbang. Majelis Dikdasmen sejak saya menjadi siswa SMP Muhammadiyah Limbung hingga hari ini, masih tetap bernama majelis Dikdasmen.

Pada bidang kesehatan, negara mengurusi bidang kesehatan melalui Kementerian Kesehatan. Rumah Sakit Muhammadiyah, diselenggarakan melalui Majelis Kesehatan, MPKU (Majelis Pembina Kesehatan Umum). Di sini jelas ada kata “Pembina” dan ada kata “Umum”, tidak sekadar dikatakan Majelis Kesehatan.

Melalui ribuan lembaga pendidikan dan ratusan lembaga kesehatan, Pimpinan Muhammadiyah belum pernah menyatakan, baik secara resmi, maupun sekadar ucapan personal jika Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan seharusnya dipimpin Kader Muhammadiyah.

Memberi untuk Negara

Suatu ketika, salah seorang kader Muhammadiyah mendapatkan teguran, sebab pada waktu yang sama menjadi Kepala Madrasah Muhammadiyah sekaligus menjadi Guru di sekolah negeri. Karena teguran ini terpaksa beliau tinggalkan jabatan sebagai kepala madrasah dan memilih menjadi guru agama di sekolah negeri, dengan alasan bahwa sekolah negeri membutuhkan guru agama dan sekolah negeri akan kesulitan mencari guru agama jika dia memilih tetap menjadi kepala madrasah.

Tahun 1990-an, salah satu Madrasah Muhammadiyah Gowa diserahkan ke kepemilikannya ke pemerintah. Saat itu bangunan sudah tidak layak, murid sangat sedikit begitu pun Muhammadiyah Gowa tidak mempunyai uang untuk merehabilitasi RKB bahkan untuk menggaji guru. Berbagai upaya dilakukan Pimpinan Muhammadiyah, namun masih tidak berjalan dengan baik. Namun yang miris adalah tawaran pemerintah, alih-alih memberi bantuan kepada Muhammadiyah untuk rehab dan operasional madrasah, pemerintah justru menawarkan perubahan status dari Madrasah Swasta milik  Muhammadiyah menjadi Madrasah Negeri milik pemerintah.

Alasannya, jika tetap milik Muhammadiyah, maka sulit bagi pemerintah untuk memberikan anggaran. Berbeda jika sudah menjadi madrasah negeri, maka seluruh biaya sudah menjadi kewajiban pemerintah. Akhirnya, demi menyelamatkan murid yang masih ada, dan guru guru yang masih aktif, diserahkanlah madrasah ini ke pemerintah. Seharusnya, pemerintah menjadi pelindung tetapi justru sebaliknya. Dengan ikhlas pimpinan Muhammadiyah menyerahkan Madrasah kepada negara sebagai hak milik negara.

Cerita diatas hanya satu salah realitas yang terjadi di tubuh Muhammadiyah, masih banyak lagi cerita cerita lain, yang asset Muhammadiyah dihadiahkan kepada pemerintah. Dengan beragam alasan, Muhammadiyah memberi hadiah kepada negara. Mulai dari kurangnya dana operasional, hingga banyaknya PNS yang tidak punya instansi.

Cerita tentang banyaknya PNS (ASN) yang tidak punya instansi sudah ada sejak tahun 1980-an, sehingga madrasah madrasah Muhammadiyah dipimpin oleh PNS yang diangkat oleh pemerintah. Muhammadiyah tidak bisa menolak, sebab bantuan dana tidak bisa diharapkan dan anggaran gaji kepala madrasah sedikit. Meskipun secara jelas PNS tersebut bukan kader Muhammadiyah, dan Muhammadiyah punya kader untuk kepala Madrasah. Ini berlangsung hingga sekarang meskipun sudah berkurang. Bukankah itu sebuah hadiah untuk negara dari Muhammadiyah, yang mendirikan madrasah dan mempersilakan negara mengelola madrasah tersebut melalui ASN mereka?

Kasus terakhir di MAS Muhammadiyah Limbung, seorang kader Muhammadiyah tidak bisa menjadi kepala Madrasah, ditolak oleh aturan pemerintah, dengan alasan Kader Muhammadiyah tersebut adalah ASN dengan pangkat yang rendah. Padahal ini Madrasah Muhammadiyah dan beliau adalah Kader Muhammadiyah, serta dari pihak Pimpinan Cabang Muhammadiyah lebih menginginkan beliau. Namun, aturan pemerintah tidak mengizinkan. Dan Muhammadiyah patuh terhadap aturan aturan yang dibuat oleh pemerintah meskipun itu bertentangan dengan hak kepemilikan Muhammadiyah. Muhammadiyah memilih mengalah, karena madrasah yang didirikannya untuk umat bukan untuk Muhammadiyah.

Majelis-majelis (seperti kementrian) dalam Muhammadiyah didirikan untuk menjadi wadah subjek dakwah Muhammadiyah dalam bidang-bidang tertentu, seperti disebutkan sebelumnya Majelis Dikdasmen, Majelis Dikti, MPKU, Lazismu. Dan program program lain yang dirumuskan, direncanakan, diselenggarakan tanpa pernah mengharapkan adanya bantuan yang bersumber dari APBN maupun APBD, apalagi dari Kementerian.

Tahun 2018 lalu, saat gempa Palu, Muhammadiyah, melalui MDMC hadir di sana melakukan program tanggap darurat hingga program recovery (rehab/rekon) hingga hari ini sudah masuk tahun keempat pasca gempa palu, Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) masih terus bergerak menjalankan program rehabilitasi dan rekonstruksi. Demikian pula yang terjadi di Sulawesi Barat, Mamuju dan Majene.

Sejak 15 Januari 2021, melalui surat tugas dari MDMC PP Muhammadiyah, Muhammadiyah masih hadir di Majene menjalankan program rehabilitasi dan rekonstruksi. Program ini ditujukan bagi korban bencana alam, dan tidak ada feedback langsung kepada Muhammadiyah pusat maupun Muhammadiyah setempat. Bahkan kadang, penerima manfaat huntara (hunian sementara) tidak mengetahui apa itu Muhammadiyah meski telah menghuni Huntara dari Muhammadiyah sejak April 2021 lalu.

Muhammadiyah senantiasa  mengedepankan prinsip : “Apa yang telah Engkau Berikan kepada Negaramu”, ketimbang memanfaatkan peluang peluang yang ada di lembaga negara (Kementrian, DPR, Pemerintah Daerah). Kader Muhammadiyah tidak pernah dididik untuk memanfaatkan peluang peluang itu, apalagi jika peluang itu berorientasi pada proyek infrastruktur atau jabatan jabatan strategis. Terakhir, untuk para kader militan Muhammadiyah “Jangan Tanyakan Peluang Apa Yang Negara Berikan Kepadamu, Sudah Banyak OTT KPK”.Wallahu A’lam Bishawab.

 

* Ketua PC. Pemuda Muhammadiyah Limbung. Ketua MDMC PD. Muhammadiyah Gowa

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply