Oleh: Muhammad Chirzin*
Bangsa Indonesia selalu memperingati Hari Pahlawan Nasional setiap tanggal 10 November. Kini bangsa Indonesia untuk kedua kalinya menyambut Hari Pahlawan dalam suasana Pandemi. Peringatan Hari Pahlawan mengundang penguatan nilai-nilai kepahlawanan sesuai dengan tantangan zaman.
Komunitas Ibu-ibu yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Peduli Anak Cucu pada aksi Aliansi Rakyat Menggugat menggugah anak-anak bangsa untuk bangkit memperbaiki kondisi carut-marut di negeri ini, antara lain menuntut pencabutan regulasi yang sarat dengan gaya hidup hedonis.
Komunitas di Jawa Barat juga mengisi Peringatan Hari Pahlawan dengan berkumpul di Gedung Sate Bandung. Sementara aktivis di Jakarta mereka berunjuk rasa di sekitar kawasan Patung Kuda.
KAMI Karawang mengusung poster, “Jokowi Munduuuur.” Silaturahmi dan demo di Hari Pahlawan Nasional tersebut tampaknya tidak mendapat liputan media massa mainstream.
Di Hari Pahlawan tersebut beredar kembali video pernyataan Ustadz H.M. Quraish Shihab bahwa pengikut pemimpin pembohong akan terkena siksa. Mengapa? “Anda ikut mengukuhkan kedurhakaan dan kebohongannya itu.”
Pada hari dan tanggal yang sama viral melalui Repelita Online pernyataan Luhut Binsar Panjaitan mempersilakan audit bisnis PCR dengan ancaman, “Kalau Gue Gak Terbukti Ambil Untung, Gue Tumbuk Lo!”
Kompas, Rabu, 10 November 2021 halaman 3 kolom Politik & Hukum menurunkan tulisan berjudul “Makna Kepahlawanan Bergeser”. Pahlawan bukan lagi mereka yang melakukan perjuangan fisik untuk mrmbebaskan bangsa dari penjajahan, tetapi sosok yang mengupayakan kemandirian dan kemajuan rakyat dan bangsa Indonesia.
Pandemi Corona-19 turut menggeser makna sekaligus nilai kepahlawanan di masyarakat. Mereka tak lagi melihat semangat dan sosok besar yang identik dengan perjuangan fisik, tetapi justru orang-orang terdekat dengan peran-peran kecil yang krusial dalam menghadapi permasalahan kehidupan dan kebangsaan, termasuk pandemi Covid-19.
Mayoritas responden Jajak pendapat Kompas merasakan nilai-nilai kepahlawanan di lingkungan sekitarnya semakin kuat dibandingkan periode sebelum pandemi Covid-19. Nilai krpahlawanan yang paling mereka rasakan adalah solidaritas sosial, yakni saling membantu sesama yang semakin kuat. Pemaknaan kepahlawanan ysng diperlukan adalah patriotisme progresif yang mewujud dalam sikap membangun, merawat, mengolah, dan menata bangsa.
Menurut Prof. Azyumardi Azra, pahlawan masa kini tidak lagi menghadapi perang secara fisik, tetapi persaingan dalam ranah ekonomi, teknologi, dan sosial budaya. Mereka yang relevan sebagai pahlawan adalah sosok-sosok yang berjuang untuk kemandirian ekonomi dan sosial, mengatasi kemiskinan dan kesenjsngan, serta membangun Indonesia yang bersih dari korupsi, koludi, dan nepotisme.
Pada peringatan Hari Pahlawan 2021 yang bertema “Pahlawanku Inspirasiku” Presiden Jokowi memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh bangsa yang telah berpulang. Pertama, Tombo Lututu, pejuang asal Sulawesi Tengah. Wafat dalam medan perang pada 17 Agustus 1901.
Kedua, Raden Arya Wasangkara, ulama, pejuang, sekaligus pendiri wilayah Tangerang. Gugur dalam pertempuran melawan VOC pada tahun 1720 di Ciledug. Ketiga, Sulta Aji Muhammad Idris, pejuang asal Kalimantan, memerintah tahun 1735-1778. Berangkat ke Tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis.
Keempat, Usnar Ismail, sutradara film, sastrawan, wartawan, dan pejuang. Lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 20 Maret 1921, meninggal dunia di Jakarta pada 2 Januari 1971. Dikenal sebagai Bapak Perfilmsn Indonesia, karena karya-ksryanya yang apik. Sepanjang karirnya telah membuat lebih dari 30 film.
Beberapa cendekiawan menorehkan pesan-pesan kepahlawanan, antara lain Prof. Haedar Nashir, Prof. Daniel Rosyid, dan Dr. Yufi Latif. Prof Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, melalui Republika.vo.id mengajak segenap bangsa Indonesia tak hanya jadikan Hari Pahlawan acara seremonial belaka.
Menurut Haedar, memperingati Hari Pahlawan sebagai ikhtiar menyerap nilai perjuangan pahlawan Indonesia, sekaligus mengaktualisasi nilai kepahlawanan agar hidup dalam jiwa, alam pikiran, sikap, dan tindakan warga dan elit bangsa. Bangsa Indonesia tengah menghadapi tantangan kompleks saat warga dan eliet bangsa Indonesia tidak menjaga persatuan.
***
Hari Pahlawan menghidupkan kembali nilai-nilai kepahlawanan baik bagi warga. Pertama, nilai pengorbanan. Para pahlawan berkorban demi merawat eksistensi bangsa dalam panggung sejarah dengan mengaktualisasikan nilai pengorbanan dengan baik, membantu sesama, dan tidak memprovokasi konflik berbangsa dan bernegara. Pahlawan berani berkorban pikiran, harta, bahkan jiwa untuk Indonesia. Memberi, bukan meminta, dan bukan mengambil.
Kedua, meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan yang lain. Persoalan dan tantangan bangsa Indonesia begitu banyak dan kompleks sehingga tidak mungkin terselesaikan tanpa kolaborasi dan persatuan segenap elemen anak bangsa. Ketiga, nilai kenegarawanan. Pahlawan mengajarkan ekspresi sikap kenegarawanan dalam tindakan jujur, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Pahlawan berdiri tegak di atas nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan kepatutan, serta ksatria.
Keempat, nilai uswah hasanah atau keteladanan hidup. Menjadi teladan baik merupakan salah satu simpul harapan bangsa saat negara alami kerapuhan sosial imbas pertarungan politik dan ekonomi ambisius. Pahlawan hidup sejahtera nan bersahaja, jiwanya seluas samudra.
Masyarakat memperoleh obor dan suluh dari sikap, pikiran, cita-cita, langkah, dan jejak para pahlawan.
Prof. Daniel Mohammad Rosyid menggoreskan pena,
Sepuluh Nopember dan Belajar Merdeka.
Kita memperingati satu episode penting dalam sejarah Republik ini. Bagaimana para pemuda dari hampir seluruh pelosok negeri berdatangan ke Surabaya untuk menjawab ultimatum Pasukan Sekutu agar Indonesia menyerah dan kembali menjadi bagian dari negeri jajahan Belanda. Waktu itu pasukan NICA dan elemen PKI poros-Moskow membonceng Pasukan Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia Ke II. Beberapa hari sebelumnya, pada 22/10/1945, Hadratusyeh Hasyim Asy’ari telah mengeluarkan fatwa jihad yang kemudian semangat jihad itu dikobarkan oleh Bung Tomo dalam pidatonya yang masyhur. Pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris kemudian harus kehilangan beberapa perwira tingginya di pertempuran Surabaya itu, sekitar 3 bulan setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17/8/1945. Begitulah penjajah tidak pernah rela membiarkan bangsa ini sebagai bangsa yang merdeka. Melalui serangkaian aksi polisionil dan perundingan, Belanda berhasil memaksakan kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 1949. Salah satu kesepakatannya adalah Republik Indonesia diubah menjadi Republik Indonesia Serikat. Ini adalah kelanjutan dari strategi devide et impera yang selama hampir 300 tahun dipaksakan Belanda di Nusantara sebagai bentang alam seluas Eropa dengan kekayaan alam yang melimpah ruah.
Strategi berikutnya, selain membebankan biaya perang Belanda di Indonesia ke Pemerintah Republik, RIS harus mengikuti prinsip-prinsip pengaturan keuangan sesuai International Monetary Fund. Sejak itulah Republik dijebak dalam hutang ribawi hingga hari ini. Upaya menjajah yang tak pernah kendor adalah sifat dasar para imperialis nekolim untuk memastikan pasokan bahan-bahan baku, hasil-hasil pertanian, dan pertambangan yang dibutuhkan oleh revolusi Industri Barat.
Sustained imperialism ini dipertahankan melalui sebuah proxy, neo-cortex war dengan memanfaatkan tiga institusi penting industrialisasi dan westernisasi, yakni perbankan, korporasi, dan sekolah. Perbankan memastikan negara-negara yang baru merdeka itu masuk dalam perangkap hutang ribawi, korporasi menjadi instrumen non-state actors untuk melakukan operasi pengurasan sumber-sumber daya alam atas nama investasi dan kemitraan. Sekolah menjadi instrumen penyediaan buruh yang cukup terampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik, sekaligus cukup dungu untuk disiplin dan taat bekerja bagi kepentingan pemilik modal.
Kemerdekaan yang telah diproklamasikan Dwi Tunggal itu mensyaratkan budaya bangsa yang merdeka yang diamanahkan oleh Pembukaan UUD1945 pada Pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun sejak Orde Baru, pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa telah dibegal oleh persekolahan menjadi sekadar instrumen teknokratik untuk kepentingan sustained imperialism tersebut. Persekolahan terbukti menjadi instrumen sekulerisasi besar-besaran. Beberapa kebijakan Mendikbudristek baru-baru ini makin memperjelas misi persekolahan itu. UU no 18/2019 tentang Pesantren adalah instrumen menyekolahkan pesantren untuk dikerdilkan menjadi penyedia buruh trampil.
Gelombang industrialisasi dan pembesaran persekolahan itu telah menyebabkan peran sektor pertanian yang makin merosot, urbanisasi besar-besaran selama 40 tahun terakhir. Jika selama Orde Lama wong cilik harus menjadi tentara, atau anggota PKI untuk naik kelas sosialnya, maka sejak Orde Baru hingga hari ini, wong cilik perlu bersekolah, terutama untuk menjadi profesional, pegawai negeri, atau buruh pabrik, dan toko milik para taipan asing, aseng maupun asong. Menjadi petani bukan lagi pilihan menarik bagi kaum milenials.
****
Merenungkan Hari Pahlawan dalam pertempuran Surabaya hampir 76 tahun silam itu sebagai upaya merebut kembali kemerdekaan dan mempertahankannya, sebagai bangsa kita perlu merumuskan kembali filosofi dan praksis pendidikan kita sebagai strategi budaya untuk menyediakan prasyarat bagi bangsa yang merdeka. Keberadaan internet telah mengurangi dominasi persekolahan dan pandemi telah mengurangi dominasi itu lebih jauh. Dalam perspektif Sepuluh Nopember, untuk merebut kembali kemerdekaan itulah kita perlu merekonstruksi Sisdiknas kita menjadi instrumen budaya untuk belajar merdeka dalam rangka menyediakan prasyarat budaya bagi bangsa merdeka. Seperti amanat Ki Hadjar, kita perlu memperkuat keluarga dan masyarakat dalam Sisdiknas untuk mendidik warga muda. Peran sekolah akan jauh berkurang seperti telah terjadi selama 5 tahun terakhir ini. Peran sekolah tidak akan dan tidak boleh sebesar dan sedominan dulu lagi. Kini kita perlu bergeser pada paradigma belajar, atau berguru, bukan bersekolah.
Dr. Yudi Latif menulis pesan Fitrah Kepahlawanan.
Di Hari Pahlawan, Yudi Latif’s Private Library menghadirkan buku Carl S. Pearson, The Hero Within: Six Archetypes We Live By (2015).
Psikolog Pearson mengingatkan bahwa orang-orang biasa bisa menghadirkan kehidupan luar biasa apabila mampu mendayagunakan “the power of mythic archetypes“, yakni mitos tentang pola dasar (archetype) kepahlawanan dalam diri. Menurut Pearson, ada 6 model pola dasar kepahlawanan dalam diri. Pertama, model yatim piatu (orphan): memandang hidup sebagai penderitaan; tugas kepahlawanannya berjuang mengarungi kesulitan.
Kedua, model pengembara (wanderer): memandang hidup sebagai petualangan; tugas kepahlawanannya menemukan kesejatian diri. Ketiga, model pendekar (warrior): memandang hidup sebagai pertarungan; tugas kepahlawanannya membuktikan harga diri. Keempat, model murah hati (altruist): memandang hidup sebagai komitmen terhadap kebajikan lebih luhur; tugas kepahlawanannya menunjukkan pertolongan (pelayanan).
Kelima, model bersahaja (innocent): memandang hidup sebagai keriangan; tugas kepahlawanannya meraih kebahagiaan. Terakhir, model tukang sulap (magician): memandang hidup sebagai seni menciptakan dunia; tugas kepahlawanannya mentransformasikan diri.
Di tengah pesta pora elite negeri, yang melupakan rakyat sebagai yatim piatu, warga tak bisa terus meratapi penderitaan sambil melamunkan kedatangan Sang Herucokro. Warga harus bangkit bertempur, menghidupkan jiwa warrior dalam dirinya.
Ketika politik menjelma jadi seni memerintah dengan menipu rakyat demi kerakusan elitis, kepahlawanan yang harus dibangkitkan dalam diri adalah jiwa “murah hati” (altruist) yang rela melayani.
Akhirnya, di republik korup yang dirayakan maling teriak maling, ratusan undang-undang dibuat untuk dilanggar, diperlukan aktor politik yang mampu menghidupkan kekuatan magician.
Magician menjalani hidup secara innocent, tetapi lebih aktif sebagai pembuat perubahan. Seorang magician bersedia bangkit berdiri, bahkan jika penuh risiko atau menuntut perubahan revolusioner.
Jika para warrior lebih mengandalkan kehendak, dan kekerasan hati utk membuat perubahan, para magician percaya kekuatan visi akan menciptakan momentumnya tersendiri. Terpancar dari sosok magician seperti Mohandas K Gandhi, Martin Luther King, Nelson Mandela, Ali Shariati.
Saya pribadi menyajikan nilai-nilai ilmu sebagai amanat yang niscaya ditunaikan. Ilmu itu tiga tahapan. Bila seseorang memasuki tahapan pertama, dia akan sombong. Jika seseorang memasuki tahapan kedua, dia akan rendah hati. Dan jika seseorang memasuki tahapan ketiga, dia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya.
*****
Kebutuhan manusia pada ilmu jauh lebih banyak daripada kebutuhan mereka pada makanan dan minuman, karena makan dan minum dalam sehari hanya dibutuhkan satu atau dua kali, sedangkan ilmu dibutuhkan manusia dalam sehari sejumlah tarikan nafas. Manusia yang beruntung ialah yang beriman dan beramal saleh, bukan yang hanya tahu apa itu iman, dan apa itu amal saleh.
Ilmu itu harus disampaikan kepada siapa saja yang berhak menerimanya, dan berkewajiban untuk memilikinya. Ilmu itu bagai air, sebagian turun dari atas berupa wahyu, dan sebagian muncul dari bawah buah perenungan manusia. Keduanya tak perlu dipertentangkan, karena sumbernya sama.
Orang-orang menginginkan perubahan, tetapi mereka menghindari langkah-langkah yang diperlukan. Tuhan tidak akan mengubah keadaan bangsa ini, apabila anak bangsa ini sendiri tidak berusaha memperbaikinya. Sudah sepatutnya setiap orang berbuat baik kepada sesama tanpa mengharap imbalan apa saja, sebagaimana Tuhan telah berbuat baik kepadanya demikian rupa.
Berbuat baik itu untuk diri sendiri. Jangan pernah kecewa kalau tidak dibalas atau dihargai. Pekerjaan paling sulit adalah berkata “tidak” kepada pihak yang telah banyak mengutangi. Pikiran membuahkan perkataan; perkataan membuahkan perbuatan; perbuatan membuahkan kebiasaan; kebiasaan. membuahkan kepribadian; kepribadian membuahkan kebahagiaan atau kesengsaraan.
Tuhan mengalokasikan waktu yang sama untuk seluruh makhluk-Nya dalam sehari semalam, namun waktu terasa begitu singkat bagi orang yang sedang berbahagia, dan sebaliknya, terasa begitu lambat bagi orang yang sedang menderita. Tetapi kebahagiaan dan penderitaan itu tetap dapat mengantarkan ke gerbang kebaikan, selama kita selalu bersabar dan bersyukur.
PAHLAWANKU INSPIRASIKU!
* Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.