Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Di Balik Wacana Pembubaran MUI

×

Di Balik Wacana Pembubaran MUI

Share this article

 

 

Oleh: Muhammad Chirzin* 

Tuntutan pembubaran MUI bermula dari tindakan Densus 88 menangkap tiga orang ustadz, mubaligh, salah satunya, Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Dr. Zain an-Najah.

Kabar penangkapan beberapa ustadz tersebut segera viral, antara lain melalui pemberitaan ARRAHMAH.COM, Ustadz Farid Ahmad Okbah Ditangkap Polisi, 16/11/2021 07:35.

Ustadz Farid Okbah, Ketua Umum Partai Da’wah Rakyat Indonesia (PDRI) dikabarkan telah dibawa oleh aparat (16/11/2021l). Ustadz Farid Okbah dijemput pihak Densus 88 selepas dari Masjid untuk melaksanakdn sholat Subuh, tanpa alasan jelas.

ARRAHMAH.COM tanggal 18/11/2021 16:08 mengunggah berita keluarga Ustadz Farid Okbah, Ustadz Zain an-Najah, dan Ustadz Anung Al Hamat datangi Bareskrim Mabes Polri Jakarta Selatan dengan didampingi kuasa hukumnya, Ismar Syarifuddin, pada Kamis (28/11/2021), guna mencari tahu keberadaan ketiganya setelah ditangkap oleh Densus 88 pada Selasa (16/11).

Selain ke Bareskrim Polri, mereka akan mendatangi  Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sebab, pertama, penangkapan yang dilakuksn Densus 88 telah melanggar hak asasi. Kedua, tidak diberi akses kuasa hukum untuk melskukan pendampingan hukum.

Ketiga, proses penggeledahan  oleh Densus 88 dengan cara langsung masuk, tidak mengindahkan keberadaan santri perempuan yang tengah berada di lokasi. Persoalan lain, terkait paspor yang disita penyidik dari tempat penangkapan, yang diinginkan oleh keluarga untuk dikembalikan.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, ketiga tersangka tersebut masih menjalani pemeriksaan oleh penyidik Densus 88. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono mengatakan bahwa keluarga pasti akan diberi tahu mengenai keberadaan mereka, jika proses pemeriksaan  selesai dilakukan.

Sahabat ungkap proses penangkapan Ustadz Farid Okbah mirip penculikan. Demikian, unggah Repelita Online, 2021-11-17,20:46. Ismar Syafruddin terkejut atas tuduhan keterkaitan  Farid Okbah dengan organisasi terlarang Jamaah Islamiyah, karena organisasi tersebut sudah bubar pada 2007.

Repelita Online juga mengunggah berita, 2021-11-16, 18:30, bahwa Ustadz Farid Okbah pernah datang ke Istana, pada 29 Juni 2020 lalu. Dalam kesempatan itu, Farid Okbah menyampaiksn beberapa isu Nasional yang sedang ramsi saat itu, di antaranya RUU HIP. Kepada Presiden Jokoei, Farid meminta agar RUU HIP dicabut. Selain itu, Farid Okbah juga meminta Presiden Jokowi membangun pasar-pasar syariah di Indonesia.

Ia juga memberikan lima nasihat kepada Jokowi saat itu, yakni tegakkan shalat dan kebenaran, keadilan, memilih orang yang tepat, berantas korupsi, sampai pemerataan ekonomi agar tidak terjadi kesenjangan sosial.

Saat menemui Presiden Jokowi di Istana, Ustaz Farid Okbah merupakan perwakilan ormas Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi).

***

Hal itu menuai komentar pro dan kontra dari berbagai pihak.

MUI Pusat membuat bayan (pernyataan tertulis) atas nama Dewan Pimpinan MUI, Ketua Umum, KH Miftachul Akhyar dan Srkretaris Jenderal, H. Amirsyah Tambunan, tanggal 17 November 2021.

Mencermati terjadinya kesimpangsiuran informasi terkait peristiwa penangkapan terduga terorisme oleh Densus 88 Anti Teror Mabes Polri atas nama Dr. Zain an-Najah, maka Dewan Pimpinan MUI menyampaikan:

  1. Yang bersangkutan adalah Anggota Komisi Fatwa MUI yang merupakan perangkat organisasi di MUI yang fungsinya membantu Dewan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia.
  2. Dugaan keterlibatan yang bersangkutan dalam gerakan jaringan terorisme merupakan urusan pribadinya dan tidak ada sangkut pautnya dengan MUI.
  3. MUI menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada aparat penegak hukum dan meminta agar aparat bekerja secara profesional dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah dan dipenuhi hak-hak yang bersangkutan untuk mendapatkan perlakuan hukum yang baik dan adil.
  4. MUI berkomitmen dalam mendukung penegakan hukum terhadap ancaman tindak kekerasan terorisme, sesuai dengan Fatwa MUI No. 3 Tahun 2004 tentang terorisme.
  5. MUI Menghimbau masyarakat untuk menahan diri agar tidak terprovokasi dari (oleh) kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan tertentu.
  6. MUI mendorong semua elemen bangsa agar mendahulukan kepentingan yang lebih besar, yaitu keutuhan dan kedamaian bangsa dan negara.
  7. MUI menonaktifkan yang bersangkutan sebagai pengurus di MUI sampai ada kejelasan berupa keputusan yang berlaku tetap.

Rizal Fadillah menyebut Densus sebagai alat politik Islamofobia.

Data penanganan terorisme di Indonesia hampir seluruhnya “prestasi” Densus 88 ini berhubungan dengan umat Islam, baik organisasi, atribut, isu, aktivis maupun tokoh yang disasar. Terakhir Munarman Sekretaris FPI, Ustad Farid Oqbah Ketua Umum PDRI, DR. Ahmad Zain An Najah Anggota Komisi Fatwa MUI,  dan DR. Anung Al Hamat Dosen Universitas Ibnu Khaldun.

Cara menggerebek Densus 88 dinilai tidak layak. Semestinya jika niat baik bukan karena sensasi, ketiganya dapat dipanggil oleh pihak Kepolisian dengan panggilan hukum. Demikian juga dengan Munarman yang Advokat terkenal. Wajar akhirnya orang mempertanyakan kinerja Densus 88, institusi penegak hukum atau  alat kepentingan politik. Islamofobia yang menjadi sorotan dari kepentingannya.

Anggota DPR Fraksi Gerindra Fadli Zon menyarankan agar lembaga berbiaya besar ini sebaiknya dibubarkan saja. Islamofobia tidak boleh menjadi basis kerja Densus 88. Masyarakat membandingkan tidak bekerjanya Densus menangani KKB Papua yang nyata-nyata teroris. Terorisme yang membahayakan bangsa dan negara. Sehingga muncul ejekan Densus itu beraninya hanya kepada kotak amal dan pohon kurma tetapi kepada senjata mengkerut.

Penangkapan tiga pendakwah atau ulama baru-baru ini di samping dipertanyakan cara penanganan hukum dan sensasi Densus 88, juga profil yang bersangkutan yang mudah dibandingkan dengan definisi terorisme menurut Undang Undang Nomor 5 tahun 2018.

“Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.”

Bagi yang pernah mendengarkan dakwah, pandangan keagamaan, serta perilaku/akhlak para aktivis dan ulama seperti Munarman, Ustad Farid Oqbah, DR Ahmad Zain An Najah, dan DR Anung Al Hamat, adakah sedikit saja bersesuaian dengan definisi Undang-Undamg Nomor 5 tahun 2018 tersebut?

***

Penegakan hukum atau motif politik di ruang Islamofobia? Atau pengalihan isu oleh para koruptor dan predator bangsa dan negara? Para radikalis, teroris, dan penjahat oligarki penguasa negeri yang melindungi diri dengan menyerang hantu terorisme yang sengaja dibuatnya sendiri.

Rizal Fadillah menambahkan, dalam kaitan Jama’ah Islamiyah, menarik apa yang disampaikan pengamat terorisme Al Chaidar yang menjelaskan telah terjadi perubahan signifikan pada Jama’ah Islamiyah (JI) dari organisasi yang radikal menjadi lebih humanis. Menurutnya, sejak 2007 Jama’ah Islamiyah bukanlah organisasi teroris lagi.

Dosen Universitas Malikusshaleh Aceh ini menjelaskan bahwa tahun 2008 hingga 2013 JI menjadi organisasi da’wah dan meninggalkan operasi teror di berbagai wilayah. Tahun 2013 hingga sekarang JI menjadi organisasi humanitarian. Zain An Najah dan Farid Okbah belum kuat untuk ditempatkan sebagai teroris hanya karena terafiliasi pada JI. Uraian Al Chaedar menjadi penting untuk dikonfirmasi dan dibuka lebih luas oleh Pemerintah, jangan sampai penangkapan Densus 88 atas ketiga ulama di atas hanya menciptakan kegaduhan, tanpa bukti kuat, dan hanya sebagai pembenaran bahwa rezim saat ini memang Islamofobia.

Apakah ada pihak yang sedang menciptakan sosok pengganti Abubakar Ba’asyir untuk menakut-nakuti masyarakat? Upaya yang sangat tidak mendidik dan tidak bermoral.

As’ad Said Ali menulis opini tentang penangkapan terduga teroris sebagai berikut.

Operasi penangkapan thd 3 orang (FO, AZA, AA) yg dianggap bagian jaringan JI (Al Jamaah Al Islamiah) oleh DENSUS 88

merupakan rangkaian dari penangkapan sejumlah pimpinan org bawah tanah tsb terutama dalam setahun terakhir. Dengan kata lain penangkapan tsb merupakan pengembangan  terhadap info yang digali selama interogasi  thd tokoh tokoh JI sebelumnya.

Setiap terjadi penangkapan teroris, sebagian masyarakat seolah kaget, sebab mereka yang ditangkap tampak seperti anggota masyarakat biasa. Padahal mereka sesungguhnya anggota jaringan rahasia yang sedang melaksanakan misi secara setengah terbuka yang biasa mereka sebut tahap “tafaul ma’al ummah” misalnya, kegiatan pengumpulan dana, bantuan hukum, pendidikan agama terselubung dan lain-lain.

Kegiatan terselubung tersebut guna mengelabuhi pihak keamanan dan masyarakat. Secara diam-diam, JI sejak 2014 mengirimkan kader-kadernya untuk berlatih militer di luar negeri. Bukan hanya belajar kemiliteran, tetapi juga tentang pengetahuan lain yang diperlukan, seperti komputer, kimia, propaganda dan lain-lain.

Pengiriman ke Suriah, misalnya, berlangsung sampai akhir 2017 dengan kode sandi tertentu. Sedang pengiriman dana dilakukan secara rahasia melalui kerjasama dengan lembaga kemanusiaan internasional sebagai pengelabuhan. Pengiriman kader kader mereka dilakukan dalam beberapa gelombang dan sejak 2018 pengirimannya beralih dari Syria kenegara lain.

Kader-kader muda yang dikirim adalah lulusan setingkat sekolah lanjutan di lembaga pendidikan yang  dikelola di lingkungan  jaringan pendidikan JI sendiri. Tentu saja sebelum dikirim ke luar negeri terlebih dahulu dipersiapkan secara fisik dan mental di tanah air melalui pelatihan khusus. Dalam hal ini ketiganya diduga terlibat dalam hal pendanaan.

Karena sifatnya yang serba rahasia, maka tidak mengherankan MUI tidak menyadari  adanya infiltrasi kelompok yang bergerak secara rahasia tsb. Oleh karena itu organisasi para ulama tersebut perlu “mawas dari” agar hal itu tidak terulang lagi, karena hal ini menyangkut kredibilitas suatu organisasi.

Belum tentu ketiga orang yang ditangkap tersebut secara formal menjadi anggota kelompok dimaksud. Tetapi jika dilakukan penelitian di mana mereka belajar dan kepada tokoh mana mereka menimba ilmu serta kegiatan sehari-hari  mereka, maka kedok mereka akan terbuka. Misalnya, salah  satu yang ditangkap Densus pernah belajar di Mesir kepada seorang Syech radikal yang sangat anti terhadap Syech Ali Jum’ah, seorang pimimpin  Univ Al Azhar Mesir, yang terkenal sangat moderat. Ini sekadar contoh.

Penangkapan yang dilakukan oleh Densus didasarkan pada  informasi obyektif dan kajian mendalam. Polri mendasarkan penangkapan tersebut sesuai hukum, bahkan termasuk merujuk pada keputusan PBB yang menyatakan JI sebagai organisasi teroris. Proses peradilan pada akhirnya yang akan memutuskan sejauh mana kesalahan ketiganya.

AS Hikam berkomentar, dengan terkuaknya kasus infiltrasi kelompok jihadi takfiri seperti JI ke dalam organisasi seperti MUI ini, merupakan indikasi bahwa radikalisme dan ekstremisme berkedok agama masih menjadi salah satu ancaman eksistensial bagi NKRI. Apa yang terjadi di MUI bisa juga terjadi di ormas keagamaan (Islam) lain, sehingga harus menjadi semacam peringatan dini, walaupun tidak boleh menjadi alat stigmatisasi terhadap umat Islam, baik secara keseluruhan maupun sebagian.

Aparat gakkum dan kamnas (wabil khusus, Densus 88) di negeri ini sudah memiliki dan berusaha selalu konsisten dalam menerapkan protap yang bisa dipertanggungjawabkan secara legal, etik, dan bahkan politik dalam bekerja sebagai pelaksaan dan pelaksana amanat konstitusi. Proses hukum masih berlangsung dalam kasus di MUI ini dan kita sebagai warganegara RI bisa saja beropini, namun tetap berdasar pada asas yang berlaku.

Kita sebagai warga negara agar selalu waspada dan tidak kagetan apalagi terlalu cepat menjatuhkan vonis terhadap MUI. Organisasi ini juga sedang menjadi target dan sekaligus korban dari kelompok anti NKRI, sehingga harus juga kita bantu agar ia bisa membersihkan diri dari bahaya infiltrasi kelompok tersebut. Sebaliknya pula, pihak MUI juga perlu mawas diri terhadap berbagai kritik yang bisa dipertanggungjawabkan, baik dari dalam maupun dari luar terhadap kinerja lembaga dan/atau para personelnya, di  pusat sampai daerah.

MUI jelas tidak imun total dari ancaman radikalisme sebagai ideologi anti NKRI dan ekstremisme kekerasan berkedok agama. Karenanya, ia juga perlu ikut membantu aparat keamanan dan gakkum dalam proses ini agar secepatnya bisa membersihkan nama dan martabat MUI sebagai salah satu ormas yang legitimate dan memiliki pengaruh besar di NKRI.

Semoga dari kasus ini bisa diambil hikmah yang baik bagi kewaspadaan kita semua dalam rangka memperkuat solidaritas keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Tommy Wibowo Hamijoyo menulis, teman-teman harus tahu bahwa semua operasi Deterjen 88 sekarang sudah berubah komando. Jika ada Deterjen 88 mulai operasi penculikan lagi itu adalah kerjasama antara Deterjen 88 dengan MMS (Ministry of State Security) adalah badan intelijen China di bawah Departemen Keamanan Negara dan PKC partai komunis China.

Yang disisir sekarang oleh Deterjen 88 adalah para ustadz dan ulama yang menyerang keras terhadap SYI’AH dan KOMUNIS.

AS sudah tidak terlibat lagi yang berhubungan dengan terorisme, radikalisme dll. Semenjak Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri AS Si Pompei peta geostrategi AS berubah secara dinamis. Target Amerika sekarang adalah menyerang komunis China.

Demikian laporan dari teman² pusat infolahta badan intelijen strategis.

M Rizal Fadillah menambahkan catatan, bahwa jika dihimpun data tentang penanganan terorisme di Indonesia, maka hampir seluruhnya “prestasi” Densus 88 ini berhubungan dengan umat Islam, baik organisasi, atribut, isu, aktivis maupun tokoh yang disasar. Terakhir, Ustad Farid Oqbah Ketua Umum PDRI, DR. Ahmad Zain An Najah Anggota Komisi Fatwa MUI,  dan DR. Anung Al Hamat Dosen Universitas Ibnu Khaldun.

Cara menggerebek Densus 88 dinilai tidak layak, semestinya jika niat baik bukan karena sensasi, ketiganya dapat dipanggil oleh pihak Kepolisian dengan panggilan hukum. Demikian juga dengan Munarman yang Advokat terkenal. Wajar akhirnya orang mempertanyakan kinerja Densus 88, institusi penegak hukum atau alat kepentingan politik. Islamofobia yang menjadi sorotan dari kepentingannya.

Anggota DPR Fraksi Gerindra Fadli Zon menyarankan agar lembaga berbiaya besar ini sebaiknya dibubarkan saja. Islamofobia tidak boleh menjadi basis kerja Densus 88. Masyarakat membandingkan tidak bekerjanya Densus menangani KKB Papua yang nyata-nyata teroris. Terorisme yang membahayakan bangsa dan negara. Sehingga muncul ejekan Densus itu beraninya hanya kepada kotak amal dan pohon kurma, tetapi kepada senjata mengkerut.

Penegakan hukum atau motif politik di ruang Islamofobia? Atau pengalihan isu oleh para koruptor dan predator bangsa dan negara? Para radikalis, teroris, dan penjahat oligarki penguasa negeri yang melindungi diri dengan menyerang hantu terorisme yang sengaja dibuatnya sendiri.

  1. Rizal Fadillah menambahkan, dalam kaitan Jama’ah Islamiyah, menarik apa yang disampaikan pengamat terorisme Al Chaidar yang menjelaskan telah terjadi perubahan signifikan pada Jama’ah Islamiyah (JI) dari organisasi yang radikal menjadi lebih humanis. Menurutnya, sejak 2007 Jama’ah Islamiyah bukanlah organisasi teroris lagi.

Dosen Universitas Malikusshaleh Aceh ini menjelaskan bahwa tahun 2008 hingga 2013 JI menjadi organisasi da’wah dan meninggalkan operasi teror di berbagai wilayah. Tahun 2013 hingga sekarang JI menjadi organisasi humanitarian. Zain An Najah dan Farid Okbah belum kuat untuk ditempatkan sebagai teroris hanya karena terafiliasi pada JI, tuturnya.

Uraian Al Chaedar menjadi penting untuk dikonfirmasi dan dibuka lebih luas oleh Pemerintah, jangan sampai penangkapan Densus 88 atas ketiga ulama di atas hanya menciptakan kegaduhan, tanpa bukti kuat, dan hanya sebagai pembenaran bahwa rezim saat ini memang Islamofobia.

Apakah ada pihak yang sedang menciptakan sosok pengganti Abubakar Ba’asyir untuk menakut-nakuti masyarakat?

Upaya yang sangat tidak mendidik dan tidak bermoral.

****

Nasir Djamil minta Densus 88 jangan sewenang-wenang tangkap orang. Demikian pembukaan laporan mediadakwah.id,16 November 2021.

Sejumlah ustadz dan mubaligh, yakni Ustadz Farid Okbah, Ustadz Zain An Najah, dan Ustadz Anung Al-Hamat ditangkap oleh tim Densus 88. Hingga saat ini belum diketahui apa dasar penangkapan ketiga mubaligh dan tokoh Islam itu.

Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi III DPR RI M. Nasir Djamil, mendesak Densus 88 agar mengedepankan hukum dan keadilan, transparansi, serta tidak sewenang-wenang dalam hal penangkapan.

Mereka itu dalam ceramahnya tidak menghujat pemerintah atau berorientasi takfiri.

Menurut Nasir yang juga pernah menjadi anggota Pansus RUU Terorisme, pasal 28 ayat (1) UU 5/2018 memang memberikan hak kepada penyidik untuk melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme.

Namun dalam kasus seperti itu, Densus 88 harus memberikan penjelasan yang transparan atas penangkapan tersebut.

Hal ini, agar jangan terkesan Densus 88 yang pernah ditantang oleh organisasi teroris KKB Papua, malah sepertinya hanya menyasar mubaligh muslim, tebang pilih, dan cenderung menyudutkan umat Islam.

Nasir Djamil juga meminta selama dalam penahanan dan proses penyelidikan, Densus 88 wajib menghormati hak asasi ketiga orang ustadz itu. Perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia harus tetap diberikan selama mereka ditahan.

Densus 88, TNI dan Polri serta Pemerintah dalam menanggulangi terorisme harus mempertimbangkan faktor objektivitas. Sebab, sebagian besar tokoh dan penceramah muslim di Indonesia tidak pernah mengangkat senjata atau membeli senjata dari oknum aparat seperti yang dipakai oleh gerakan separatis, apalagi sampai mendirikan negara yang berpisah dari NKRI.

Nasir Djamil juga membandingkan dengan KKB yang telah dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh pemerintah pada April 2021 lalu. KKB itu membunuh aparat TNI dan Polri, rakyat sipil, tenaga kesehatan, membakar pasar, Puskesmas, sekolah, dan gedung pemerintah. Namun sayangnya, Densus 88 dan pasukan khusus TNI yang bertugas menanggulangi teroris seolah tak berdaya.

Publik bingung, kok ada organisasi yang sudah dinyatakan sebagai teroris dengan leluasa membunuh dan meneror aparat dan rakyat. Sementara mubaligh dan tokoh muslim diciduk dan dicurigai sebagai bagian kelompok terorisme. Di mana keadilan hukumnya?

****

Hidayat Nur Wahid (HNW) serukan tolak terorisme, tolak pembubaran MUI, dan dukung eksistensinya. Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR-RI dari Fraksi PKS, menegaskan dukungan terhadap pemberantasan terorisme. Karenanya, HNW dengan tegas menolak teror yang berbentuk framing yang dijadikan ‘trending topic’ oleh sebagian kalangan untuk membubarkan MUI (Majelis Ulama Indonesia), pasca penangkapan seorang Anggota Pimpinan MUI yaitu Zain An-Najah oleh Densus 88 karena dugaan terlibat kasus terorisme.

HNW mendukung MUI, organisasi legal dan formal, berdiri sejak 26 Juli 1975, wadah musyawarah para Ulama, Zuama, dan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, baik individual maupun yang terhimpun dalam ormas-ormas keagamaan Islam, dalam semangat Islam Wasathiyah (moderat), Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Wathaniyah.

Sikap kebangsaan MUI selama ini mendorong Islam Wasathiyah (moderat) dan kerukunan antar umat beragama, serta menolak ideologi radikalisme, aksi islamophobia, terorisme, komunisme, hingga separatisme.

MUI merupakan salah satu ikon Islam Moderat di Indonesia yang diketuai oleh pimpinan-pimpinan Ormas yang sangat dikenal moderasinya dan teruji jasanya bagi perjuangan Indonesia Merdeka seperti Muhammadiyah, NU dan lainnya.

Bahkan pimpinan utamanya sekarang ini berasal dari Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah yakni Ketua Umumnya dari NU yakni K.H. Miftakhul Ahyar dan Sekretaris Jenderalnya dari Muhammadiyah yakni Amirsyah Tambunan. Ketua Dewan Pertimbangan MUI juga adalah KH. Ma’ruf Amin mantan Ketua Umum MUI yang saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.

Umat Islam dan negara hendaknya waspada terhadap gerakan yang menunggangi isu terorisme dengan penangkapan terhadap salah satu anggota pimpinan MUI, yang ditunggangi untuk agenda lain, yaitu teror terhadap MUI dengan rekayasa wacana untuk pembubaran MUI.

Di tengah ramainya kekhawatiran bangkitnya komunisme gaya baru, seks bebas di Perguruan Tinggi akibat Permendikbud, terorisme KKB Papua, yang semuanya ditolak MUI, maka wacana untuk bubarkan MUI jadi layak dikritisi dan diwaspadai, sebagai gerakan yang menunggangi isu terorisme untuk bentuk teror yang lain yaitu membubarkan MUI. Ini merupakan agenda Islamophobia dan pelecehan lembaga keagamaan termasuk yang Islam moderat, dan bila berhasil dengan pembubaran MUI sebagai lembaga berkumpulnya Ormas-ormas Islam Moderat, minimal mengopinikan/memframing, maka akan menyebar saling curiga dan tidak percaya, bahkan bisa tercerai berailah umat yang dapat meningkatkan potensi diadu domba, sehingga memperlebar ketidakharmonisan dan pembelahan sesama anak bangsa, yang akhirnya juga akan melemahkan sendi-sendi NKRI.

Masyarakat beragama, khususnya Umat Islam, merasakan manfaat riil kehadiran MUI dalam urusan moderasi beragama di Indonesia dan penguatan NKRI.

Wacana pembubaran MUI tidak berasal dari pihak yang tulus melawan terorisme, melainkan ada pihak yang memanfaatkan isu terorisme yang diduga melibatkan salah satu anggota Pimpinan MUI, untuk tujuan membubarkan MUI dan melemahkan dan memecah belah umat, yang mereka sadari atau tidak, bisa berujung pada pelemahan NKRI.

Sangat baik kalau MUI selain himbauannya agar masyarakat tidak terprovokasi, tetap menjaga kerukunan antar umat beragama, dan kemaslahatan umum, juga mengkritisi kinerja dari Densus 88, agar betul-betul profesional, adil dan tak tebang pilih.

HNW juga mendukung MUI dan menolak provokasi bubarkan MUI, karena kasus individual yang masih dalam status tersangka itu. Apabila kasus yang menimpa individu (oknum) tersebut dihubungkan dengan tuntutan pembubaran organisasi (MUI), lantas generalisasi itu diperbolehkan dan diberlakukan secara tanpa tebang pilih, maka tidak ada lembaga apa pun, termasuk lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, hingga Kabinet Presiden Jokowi, DPR, DPD, KPK, Parpol, bahkan Kepolisian, yang luput dari kasus yang terjadi dengan ‘oknum’ anggota atau pimpinannya.

Untuk setiap kasus individual tersebut, pada ‘oknum’ yang terlibat ditegakkan aturan/ketentuan hukum, tapi tidak menuntut lembaganya dibubarkan.

Kesalahan yang disangkakan kepada individual, tidak boleh diubah menjadi kesalahan organisasional, apalagi organisasi sudah tegas menyampaikan sikapnya yang menolak terorisme dan mendukung pemberantasan terorisme. Kita tolak framing pembubaran MUI, yang juga menjadi teror terhadap MUI, dan mendesak aparat penegak hukum, termasuk Densus 88 untuk memberantas terorisme dengan benar dan tanpa hadirkan teror yang lain. Hal itu harus memenuhi semua ketentuan hukum dan hak-hak para tersangka, suatu hal yang dalam kasus terakhir, masih dikeluhkan oleh keluarga para tersangka dan tim hukumnya.

Densus 88 mesti bersikap profesional dan adil, tanpa pandang bulu memberantas teror dan terorisme yang secara terbuka telah lama dideklarasikan oleh KKB Papua, kelompok yang oleh Menkopolhukam sejak April 2021 telah dinyatakan sebagai organisasi Teroris.

Apalagi akibat teror KKB Papua sudah banyak korban berjatuhan dari kalangan TNI, Polri, Nakes, masyarakat sipil, sarana publik dan lainnya, tapi malah tak terdengar Densus 88 mengatasi terorisme KKB Papua yang jelas-jelas melakukan aksi teror, bahkan menantang perang dan aksi-aksi lain yang membahayakan keutuhan kedaulatan NKRI.

Bila hal seperti ini berlanjut, perasaan diberlakukan tidak adil makin menyeruak, karena keadilan hukum tidak ditegakkan, dan yang akan dirasakan oleh Umat adanya Islamophobia yang meresahkan Umat, dan tidak menguntungkan bagi penguatan kesatuan berbangsa dan bernegara untuk kokoh kuatnya NKRI. Densus 88 dan Pemerintah tidak boleh membiarkan teror terhadap MUI dengan wacana pembubaran MUI, karena itu tidak membantu mengatasi terorisme, justru memperlemah kohesi dalam NKRI.

Ahmad Syafii Maarif pernah mengingatkan, “Jika memang peradaban yang berwajah adil dan ramah yang dirindukan benar-benar telah dihadapkan pada jalan buntu, maka iman kita mengatakan, bahwa langit pasti tidak akan tinggal diam untuk membela pilar-pilar keadilan dan kebenaran dengan cara dan mekanismenya sendiri.”

 

* Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI

Leave a Reply