Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Shalat Bukan Hanya Kunci Surga

×

Shalat Bukan Hanya Kunci Surga

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere* 

Di antara umat Islam, saya menemukan masih ada yang memaknai bahwa shalat adalah semata-mata kunci surga. Makna surga dalam konteks pemahamannya adalah sesuatu yang menjadi balasan atas amal kebaikan pasca kehidupan dunia, yaitu di akhirat. Dan bisa diilustrasikan lain, bahwa bagi mereka shalat seakan tidak memiliki korelasi positif atas sikap dan perilakunya dalam kehidupan duniawi. Shalat hanya memiliki relasi dan relevansi terhadap hal-hal yang transenden, itu pun bagi saya masih merasakan  ada sesuatu yang paradoks di dalamnya, atau belum “tuntas”.

Shalat seakan hanya menjadi catatan malaikat Raqib yang kelak akan menjadi (sejenis) bahan evaluasi untuk menentukan seseorang masuk surga atau tidak. Padahal berdasarkan berbagai pembacaan literatur, meskipun saya tidak fokus pada ilmu fiqih dan saya menyadari masih minim dalam hal itu, kita bisa sampai pada pemahaman dan kesadaran bahwa shalat mampu pula meninggalkan jejak, pengaruh, atau menjadi pemantik bagi alam bawah sadar, habits, gelombang otak, fungsi dan kekuatan otak, dan bahkan mekanisme on/off DNA.

Dari hal di atas, sekilas kita bisa memahami bahwa shalat bukan hanya menjadi kunci surga, tetapi memengaruhi keadaan biologis dan psikologis diri kita. Lebih lanjut akan memantik pemahaman dan kesadaran, terutama jika menarik garis relasi pada ilmu psikologi, neurosains, teori pengembangan diri, filosofis habit, dan termasuk mekanisme kerja alam bawah sadar, bahwa secara tidak langsung shalat mampu memengaruhi kesuksesan dan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi.

Sebelum diulas lebih jauh dan mendalam, kita perlu memahami terlebih dahulu bahwa shalat adalah salah satu pilar Islam, selain 4 pilar lainnya. Adalah Sachiko Murata dan William C. Chittick (2005) menegaskan “Meskipun mengucapkan syahadah merupakan tindakan fundamental Muslim, melaksanakan shalat (do’a wajib), dalam pengertian tertentu, adalah jauh lebih mendasar. Nabi menyebut shalat ‘tiang utama’ agama….Al-Qur’an memerintahkan pelaksanaan shalat lebih banyak daripada perintah aktivitas lainnya.

Jika kita memperhatikan skema ESQ Model Ary Ginanjar Agustian, saya dan para pembaca akan bisa mendapatkan interpretasi yang sangat dahsyat, bahwa ibarat peredaran planet yang berotasi/mengorbit pada garis orbitnya dalam mengelilingi pusat galaksi, 5 pilar (baca: rukun) Islam memiliki jumlah yang berbeda-beda: kalimat syahadat diucapkan paling sedikit 9 kali sehari semalam  (pada saat shalat); shalat 17 rakaat sehari-semalam (shalat wajib); puasa 30/29 hari dalam setahun (puasa ramadhan); zakat (zakat fitrah) sekali dalam setahun; dan haji minimal sekali seumur hidup. Jika memerhatikan angka-angka atau jumlah yang ada, yang terinspirasi dari ESQ Model Ary Ginanjar, shalat yang paling banyak dilakukan.

***

Shalat dan pilar Islam lainnya harus mampu―dan saya memiliki ketertarikan dalam hal ini―menerjemahkan ke dalam dimensi historisitas, yang merupakan implementasi dari dimensi normativitasnya. Meminjam pandangan M. Amin Abdullah yang menegaskan bahwa sesungguhnya agama memiliki dua dimensi yang tidak pernah bisa dipisahkan: normativitas dan historisitas.

Pandangan Amin Abdullah ini, dalam radius pemahaman saya memiliki kesamaan dengan apa yang oleh Nasaruddin Umar Islam Fungsional, yakni upaya merevitalisasi dan mereaktualiasi nilai-nilai keislaman. Sebelum mereka berdua ini, ada Kuntowijoyo yang memiliki hal yang sama, seperti bagaimana memaknai secara progresif QS. Ali-Imran [3] ayat 104 dan 110 yang dijadikan basis dan spirit berdirinya Muhammadiyah oleh KHA. Dahlan.

Bahasa sederhananya, kita bisa meminjam dari istilah M. Quraish Shihab, “Membumikan Al-Qur’an”.  Tulisan ini substansinya sama dengan apa yang dimaknai oleh Quraish Shihab, bahkan tiga pemikir di atas, bawah saya bermaksud bagaimana shalat secara fungsional bukan hanya berorientasi akhirat dan surga, tetapi fungsi, nilai, dan efeknya sudah dirasakan manfaat besarnya dalam kehidupan duniawi terutama dalam menggapai impian-impian.

Sunnatullah atau law of attraction yang telah Allah tetapkan dalam makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (diri manusia), salah satunya bahwa sesuatu yang mengalami repetition (pengulangan atau diulang-ulang) akan memberikan jejak atau dampak yang dahsyat. Dalam forum-forum perkaderan dan/atau LDK, pada saat diundang berbagi ilmu membahas hal ini, saya sering mengajukan pertanyaan kepada peserta sebagai pemantik pemantik.

Kepada peserta saya bertanya, “siapa yang pernah masuk kebun?” Maka seringkali semua mengangkat tangan bahwa dirinya pernah. Lalu saya lanjutkan pertanyaan berikutnya, “apa yang ditandai sehingga bisa pulang kembali ke rumah? Seringkali mereka menjawab serentak “jalanan”. Kemudiaan saya melanjutkan pertanyaan berikutnya, “apakah orang tua, bapak, ibu, kakek, nenek, paman, dan/atau tante pernah secara sengaja membuat jalanan itu?” jawabannya mereka “tidak”. Lalu saya menegaskan bahwa apa pun yang sering diulang-ulang, bukan hanya tanah yang sering dilalui lalu membentuk secara otomatis sebuah jalanan.

Shalat yang dilaksanakan 5 kali sehari-semalam, sebanyak 17 rakaat, idealnya meninggalkan bekas, jejak dan pengaruh dalam kehidupan. Yang saya maksud bukan hanya dalam bentuk “jidat hitam” yang dimaknai sebagai representasi dari pemahaman QS. Al-Fath [48]: 29, “….Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud….”

Idealnya bukan hanya “jidat hitam” yang menjadi kebanggaannya sebagai simbol ketekunan shalat. Dalam shalat ada aktivitas fisik dalam bentuk gerakan shalat, sehingga bisa saja, meskipun ini salah satunya dan tidak selamanya dalam bentuk “jidat hitam”. Selain gerakan shalat sebagai aktivitas fisik, di dalamnya pun mengandung hal yang bersifat psikologis, laku jiwa, hal yang bersifat non-fisik. Dan ini pun harusnya meninggalkan jejak yang sama. Jadi bukan cuma secara kuantitatif tetapi termasuk kualitatif.

Adalah Asep Zaenal Ausop dalam karyanya Islamic Character Building, dan termasuk Ary Ginanjar dalam beberapa karyanya, terkait konsepsi ESQ, pada dasarnya bisa dipahami bahwa shalat idealnya mampu berperan sebagai character building. Terbentuknya karakter atau pun istilah lainnya adalah akhlak. Jadi shalat bukan hanya kunci surga tetapi termasuk kunci dan pemantik lahir atau terbangunnya karakter akhlak mulia.

Hal ini relevan dengan firman Allah Swt., Al-Ankabut [29]: 45, “…dirikanlah Shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain)….” Frasa “mencegah dari keji dan mungkar” sudah pasti itu adalah sesuatu yang berdimensi duniawi, bukan akhirat. Jadi ini pun menegaskan bahwa shalat bukan hanya untuk kunci surga. Dan bahkan di dunia inilah tujuan utama shalat.

Ketika saya membaca buku karya Andri Hakim, Dahsyatnya Pikiran Bawah Sadar, ada hal menarik dan sangat bermanfaat dalam kehidupan. Pertama, aktivasi dan kedahsyatan alam bawah sadar. Bahkan hampir semua pakar psikologi dan pengembangan diri, bersepakat bahwa pengaruh alam bawah sadar 88% terhadap kesuksesan. Kedua, pengaruh alam bawah sadar yang dimaksud adalah adanya sesuatu, bisa berupa pengetahuan, sikap, pikiran, dan hasil pengalaman empirik yang tersimpan di dalamnya. Ketiga. sesuatu tersimpan di alam bawah sadar adalah salah satu kuncinya adalah, repetition (pengulangan atau sesuatu diulang-ulang).

Shalat, lengkap dengan bacaan-bacaannya tanpa kecuali nilai dan makna yang ada di dalamnya, idealnya karena dalam sehari-semalam dilakukan sebanyak 17 kali minimal untuk 5 kali shalat wajib, tersimpan di alam bawah sadar. Jika awal memulai shalat setelah niat, kita takbir “Allahu Akbar”. Idealnya ini sudah meresap dalam jiwa kita, tersimpan di alam bawah sadar dan memberikan manfaat besar dalam kehidupan.

Nyatanya, dan seringkali hal tersebut yang membuat saya sedih, ketika ada seseorang dalam mengawali perjuangan hidupnya, seringkali dihantui berbagai kekhawatiran bahkan ketakutan dari sesuatu yang bisa dimaknai sebagai strategi orang lain, baik yang bersifat positif tanpa kecuali yang negatif. Menemukan sikap orang yang seperti ini, saya seringkali meresponnya, “untuk apa kita shalat, jika kita terkesan dihantui rasa takut yang berlebihan? Di mana nilai dan makna takbir yang sering kita ucapkan minimal pada saat kita shalat?”

Sama halnya, jika memperhatikan kehidupan ini, terutama dalam kehidupan bernegara, ketika masih ada oknum yang melakukan korupsi, padahal nampaknya diri seringkali kita saksi melaksanakan shalat. Lalu di mana nilai, makna, manfaat dan output shalatnya selama ini? Padahal setiap shalat membaca membaca QS. Al-Fatihah [1] tanpa kecuali ayat 6 “tunjukilah kami jalan yang lurus”.

***

Apakah perintah shalat yang tidak efektif lagi (yang disalahkan), karena tidak berfungsi dan menjadi kunci sebagaimana yang dijelaskan di atas? Saya menegaskan bukan shalat dan perintah shalatnya yang keliru, janji Allah selalu benar. Hanya saja kita perlu introspeksi diri terkait cara kita melaksanakan shalat, jangan sampai hanya maksimal pada gerakan semata, sehingga meninggalkan bekas “jidat hitam”, pada sikap dan perilakunya sangat buruk, sering merugikan orang lain.

Jika shalat diderivasi dalam makna yang lebih progresif lagi, sebagaimana cara pandang yang dimiliki oleh Ary Ginanjar, shalat berfungsi sebagai “relaksasi”. Dalam kehidupan ini, kita senantiasa membutuhkan apa yang dimaknai sebagai “relaksasi”, istirahat sejenak untuk me-refressh otak atau menjernihkan kembali pikiran.

Sebagai relaksasi, shalat sangat efektif, bukan hanya mengistiratkan badan, dan menyegarkan kembali pikiran, tetapi Allah pun menegaskan melalui QS. Ar-Ra’d [13]: 28, “….Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram”. Bukankah dalam shalat kita, mulai dari takbir sampai salam, ingat kita tertuju kepada Allah?

Meskipun demikian, ada juga dan itu diketahui dengan baik dalam agama Islam, bahwa ada pula orang tertentu, yang shalatnya hanya sebatas gerakan, pikirannya tidak tertuju kepada Allah. Pada saat shalat pikirannya fokus kepada yang lain, bukan Allah. padahal kita pun pahami bersama, sebagaimana telah pernah pula saya tuliskan terkait “fokus”, bahwa diri dan hasilnya yang kita peroleh termasuk tergantung dari ke arah mana titik fokus kita.

Relaksasi, yang dalam tradisi agama lain, mungkin ada yang dikenal dengan meditasi, dan ada pula latihan yoga. Di antara yang dua yang terakhir ini, bagi umat Islam, tentunya akan bersepakat bahwa shalat jauh melampaui daripada sekadar meditasi atau apa yang didapatkan (manfaatnya) dari latihan yoga.

Dalam kehidupan, terutama dalam mencapai kesuksesan, dibutuhkan kekuatan afirmasi. Ary Ginanjar menegaskan “Shalat merupakan suatu kekuatan afirmasi atau “penegasan” kembali yang dapat membantu seseorang untuk lebih menyelaraskan nilai-nilai keimanan dengan realitas kehidupan.

Pandangan Stephen R. Covey bahwa afirmasi itu memiliki lima dasar yaitu: pribadi, positif, masa kini, visual, dan emosi. Jika saya mencoba merenungkan dasar afirmasi menurut Covey ini, ternyata ada pada saat kita sedang shalat. Covey menegaskan, meskipun masih kesulitan menemukan metodenya, bahwa afirmasi ini perlu diulang-ulang. Ternyata dalam shalat itu harapan Covey bisa terwujud.

Ketika Ary Ginanjar menerjemahkan dalam afirmasi dalam shalat, “ kekuatan afirmasi shalat adalah sangat membahagiakan dan menentramkan (emosi) bahwa saya (pribadi) berespon (masa sekarang) dengan sikap Rahman-rahim, adil dan bijaksana (Asmaul Hisna) serta melaksanakan sunnah-sunnah Rasul dengan mengendalikan diri melalui puasa (positif).

Shalat mampu pula menjaga diri kita untuk senantiasa tetap berada dalam radius kecerdasan emosinal dan spiritual yang baik. Shalat menyeimbangkan energi batiniah. Dalam shalat pun ikrar kalimat syahadat diucapkan paling kurang Sembilan kali dalam sehari-semalam.

Ketika di Jepang, dan beberapa negara maju lainnya, ada pola yang diterapkan oleh para instruktur yaitu mewajibkan para siswa eksekutifnya untuk mengucapkan kalimat “Saya juara! Sebanyak seratus kali dalam sehari-semalam selama masa latihan, dan teorinya ini disebut sebagai Repetitive Magic Power.

Ternyata dalam shalat, menurut Ary Ginanjar, dan tentunya kita sepakat dengan hal itu, kita akan melakukan repetitive magic power yang lebih dahsyat. Yaitu mengucapkan kalimat syahadat secara berulang-ulang. Ini menjadi doktrin maha dahsyat dan bahkan deklarasi kemerdekaan di atas segala-galanya. Dan repetitive magic power ini melalui shalat diucapkan sebanyak 270 kali dalam sebulan (9 x 30), atau 3.240 kali dama setahun (270 x 12 bulan). Jadi ketika sudah melaksanakan shalat 10 tahun saja, kita sudah melakukan repetitive magic power 32.400 kali.

***

Jadi sesungguhnya shalat bisa pula menjadi kunci untuk menjadi pribadi dengan karakter yang dahsyat, mungkin kekuatan inilah yang dimiliki umat Islam pada masa awal pada saat mampu menguasa dan menjadi kiblat peradaban dunia, karena shalatnya dan hal lainnya, bukan hanya mampu diraih dimensi eksoteriknya tetapi termasuk esoteriknya, yang kemudian diterjemahkan atau terjemahkan dalam kerangka operasional, menjadi nilai, spirit yang menggerakkan penuh makna.

Jika umat Islam sekarang tertinggal, mungkin kita perlu memeriksa masing-masing diri kita, bagaimana shalat kita, bagaimana cara shalat kita. Apakah tidak hanya fokus pada gerakan dimensi aktivitas fisik belaka. Bagaimana nilai dan makna yang terkandung di dalamnya. Padahal berbagai teori, sudah bisa membuktikan tanpa kecuali dalam kerangka ilmiah dan rasionalitas bahwa shalat itu bisa melahirkan output yang luar biasa.

Belum lagi jika kita hubungkan dengan teori otak, terutama dalam pencapaian kuantum dalam belajar, shalat bisa menjadi pemantik lahirnya fungsi otak yang dahsyat. Karena sesungguhnya cara membangkitkan fungsi otak secara baik, efektif dan efesien harus ditunjang dengan suasana hati. Yang paling menjanjikan untuk pencapaian suasa hati yang tenteram adalah ingat Allah. Shalat adalah cara terbaik ingat Allah.

Termasuk teori mekanisme on/off DNA, salah satu yang bisa meng-off-kan sel negatif dan bisa meng-on-kan kembali sel positif, tanpa kecuali menunjang pencapaian bakat, dll adalah lingkungan dan pikiran yang baik. Shalat bisa menjadi tempat terbaik untuk mendapatkan pikiran positif. Sehingga semakin kita sering shalat idealnya itu mempengaruhi mekanisme on/off DNA yang ada.

Ada banyak yang bisa diuraikan lebih jauh dan mendalam, namun Insya Allah pada kesempatan lain, tulisan-tulisan berikutnya harapan itu akan terpenuhi.  Intinya Shalat bukan hanya kunci surga atau dalam arti lainnya untuk masuk surga, tetapi shalat bisa untuk mencapai ketentraman jiwa, ketenangan, kedahsyatan pikiran, pencapaian kesuksesan dan kebahagiaan di dunia.

* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply