Oleh: Mila Aryani*
Tanggal 18 November 1912, 109 tahun yang lalu, persyarikatan bernama ‘Muhammadiyah’ berdiri dan dideklarasikan di muka bumi, membawa visi besar dan berupaya mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin. Konsistensi Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang membawa jargon ‘Islam berkemajuan’ rupanya dibuktikan sejarah, terlihat dari banyaknya kiprah yang dihasilkan. Banyaknya kiprah tersebut tak lantas menjadikan Muhammadiyah tak memiliki kekurangan, tentu ada hal yang harus terus dilakukan perbaikan guna tetap menjaga semangat ‘berkemajuan’.
Saya merasa sudah terlalu lama kita semua mengemban istilah “berkemajuan” di dalam persyarikatan Muhammadiyah, Istilah “berkemajuan” sudah menjadi basis ideologis dalam persyarikatan ini. Lalu apa itu Islam berkemajuan? Apakah Muhammadiyah masih relevan tuk disebut sebagai Islam berkemajuan? Saya mencoba mengkritisi kembali hal tersebut di dalam tulisan ini.
Sekertaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Abdul Mu’ti mendefinisikan Islam Berkemajuan lewat buku Kyai Syuja’, murid KH Ahmad Dahlan, beliau mengatakan bahwa ada 5 pondasi Islam Berkemajuan, yakni :
- Memahami Al-Qur’an dan sunnah secara mendalam
- Melembagakan amal saleh yang fungsional dan solutif
- Berorientasi kekinian dan masa depan
- Bersikap toleran
- Moderat dan suka bekerjasama
Beberapa pihak kurang setuju dengan istilah “Islam Berkemajuan” ini, Syaikh Abdulqadir As-sufi misalnya, beliau mengatakan bahwa para intelek seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Jamaluddin Afghani dan semacamnya, membuat reformasi keislaman dengan mengorbankan esensi dan substansi Islam sehingga tercampur oleh paradigma Kapitalisme.
Saya memilih jalur tengah di sini, dengan tetap mempertimbangkan perkataan Syaikh Abdulqadir As-sufi, juga memasukkan paradigma “Islam Berkemajuan”, Islam memang akan tetap memiliki relevansi dengan semua zaman, karena itulah istilah “berkemajuan” dalam agama Islam dibutuhkan sebagai premis kalau Islam memiliki relevansi dengan semua zaman. Tentunya dengan tetap memegang teguh asas fundamental Islam seperti yang dikatakan oleh Prof Abdul Mu’ti tadi.
Dalam pandangan saya, Muhammadiyah adalah persyarikatan yang amat sangat luar biasa, dengan puluhan ribu amal usaha, juga tak lupa kiprahnya dalam sejarah. Selain itu, Muhammadiyah telah menyentuh segala aspek kehidupan manusia, seperti kesehatan, kesejahteraan, pendidikan dan dan beberapa aspek lainnya. Selain itu dalam pandangan saya, warganya amat moderat, dengan memandang hal ini apakah Muhammadiyah tak dapat dikatakan sebagai “Islam yang tak berkemajuan?”.
Sepertinya aneh bahkan bisa disebut khayalan belaka, ketikan oleh banyak orang mengatakan “Muhammadiyah tak berkemajuan”. Pada realitasnya Muhammadiyah mungkin dapat dikatakan sangat berkemajuan, lalu apa sih yang membuat Muhammadiyah dikatakan sebagai Islam yang kurang berkemajuan?.
Haedar juga pernah menyinggung bahwasanya Muhammadiyah kurang kuat di dalam pembumian ideologinya, sehingga bisa disimpulkan masih sedikit orang yang benar-benar memahami apa itu Muhammadiyah. Hal tersebut menyebabkan Muhammadiyah masih berkemunduran dalam menanggapi modernitas dakwah, khususnya di sosial media, sangat jarang sekali ceramah para ulama’ Muhammadiyah terpublikasi, padahal fasilitas publikasi lebih mumpuni daripada yang lainnya.
Saya seringkali berdiskusi dengan kader-kader muda dari Muhammadiyah, banyak dari mereka yang bangga pada Muhammadiyah karena banyaknya amal usaha yang Muhammadiyah miliki, begitu diri saya pada awal mengenalnya. Amatlah kagum mata dan jiwa saya ketika melihat betapa luar biasanya Muhammadiyah dalam memegang teguh paradigma rahmatan lil ‘alamin di dalam Islam.
Kekaguman membawa kita pada kemapanan yang mengakibatkan kita tak menyadari kekurangan. Saya mencoba mengamati Muhammadiyah secara kritis, saya reduksi kembali pandangan keluarbiasaan saya pada Muhammadiyah, sebagaimana saya uraikan di atas. Betapa anehnya Muhammadiyah, ia memiliki puluhan ribu amal usaha, dengan para pakar dan ilmuwan yang amat luar biasa, juga betapa ngeri anak mudanya, ehh tapi kalah dakwah digitalnya.
Padahal kurang apa aset dakwah Muhammadiyah, Universitas dengan intelektual yang melimpah, alat-alat modern yang mumpuni dan amat canggih, para pakar yang banyak sekali jumlahnya, tetapi mengapa Muhammadiyah kalah dalam dakwah digitalnya? Saya pribadi telah menyurvei beberapa kalangan masyarakat, dengan tujuan ingin mengetahui pandangan lain terhadap Muhammadiyah.
Kebanyakan dari mereka yang berbincang dengan saya, mengatakan bahwa Muhammadiyah hari ini bisa disimpulkan kalah dalam globalisasi ideologi, karena Muhammadiyah masih amat kaku dalam dakwahnya, baik dalam sosialisasi maupun digitalisasi. Sangat disayangkan kalau substansi ideologis Muhammadiyah tak terpublikasi secara luas, bahkan soal fatwa terkait hal baru, Muhammadiyah sering terlambat dalam menunjukkan/mempublikasikan fatwanya. Maka dari itu, Muhammadiyah harus menjadi “berkemajuan” secara kaffah, bukan hanya lewat amal usaha dalam dunia realita, tapi juga lewat dakwah dalam sosial media.
* Mahasiswa S1 Kebidanan Semester 3 Universitas Aisyiyah Yogyakarta