Oleh: Agusliadi Massere*
Saya, dan mungkin yang lainnya sepakat dengan perasaan dan penilaian bahwa kita “lahir” dari “hati yang tulus, pikiran cemerlang, tangan kreatif, dan langkah yang penuh semangat” dari seorang yang pada dirinya dilekatnya satu atribusi luar biasa jika diselami minimal secara filosifis, yaitu “Guru”.
Guru berasal dari bahasa Sansekerta. Secara etimologi berasal dari dua suku kata yaitu “Gu” yang berarti darkness, dan “Ru” yang artinya light. Guru berarti cahaya dalam kegelapan. Ada selaksa narasi tentang guru. Begitu pun sejumlah potensi dan karya yang kita miliki, apa pun profesi dan jabatan yang telah melekat, dalam perspektif “hulu” bisa ditarik sebuah tesis bahwa itu adalah “buah, hasil jerih payah, perjuangan dan didikan dari sosok yang padanya (bisa) dilekatkan kata “guru”.
Sosok guru idealnya harus mampu menjadi cahaya peradaban, dan pada dasarnya inilah karakter dan identitas yang melekat pada dirinya. Jika pun ada yang memiliki profesi sebagai guru yang menampakkan sikap dan perilaku yang justru dipandang menjerumuskan generasi atau anak bangsa ke dalam kegelapan, maka sesungguhnya dirinya sedang mengkhianati atribusi mulia yang telah melekat. Ini pun hanya segelintir oknum.
Jika ditarik garis relasi dengan teori “radiasi budaya” Arnold Toynbee, yang sampai pada tesis tentang yang menyebabkan sebuah peradaban bertahan atau tidak (hancur), termasuk berpengaruh atau tidak bagi peradaban lainnya, ada empat lapisan yang harus diperhatikan: Lapisan terdalam atau pertama, visi dan nilai spiritual; lapisan kedua, etika; lapisan ketiga, estetika; dan lapisan keempat atau yang paling luar, ilmu pengetahuan dan teknologi sains.
Penjelasan lebih lanjut sebagaimana yang dipaparkan Yudi Latif dalam satu kesempatan, “Pidato Kebangsaan”-nya—yang saya tonton via youtube dari detik pertama sampai terakhir dengan durasi kurang lebih dua jam—bahwa Toynbee menegaskan “peradaban yang bisa bertahan adalah yang pada jantung peradabannya masih tersimpan visi dan nilai spiritual. Dan peradaban yang bisa berpengaruh bagi yang lainnya, adalah yang mampu unggul pada lapisan keempat, lapisan terluar, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi sains”.
Peradaban yang maju adalah impian manusia baik secara personal maupun secara kolektif, meskipun dengan versi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Jika memperhatikan empat lapisan di atas sebagai sesuatu yang sangat urgen, memiliki signifikansi dan implikasi besar, maka bisa dipastikan bahwa untuk menumbuhkan/melahirkan, mempertahankan, dan meningkatkannya, menjadi fungsi dan peran strategis bagi seorang guru.
Guru dalam perspektif saya, mungkin ini juga merupakan perspektif ideal, bukan hanya mampu mentransfer ilmu, tetapi mampu melakukan transmisi nilai yang berdampak pada transformasi kehidupan. Transfer ilmu mungkin saja semakin mudah di tengah perkembangan pesat teknologi digital, tetapi transmisi nilai yang berdampak transformasi kehidupan, bukan hanya membutuhkan strategi atau metodologi yang bersifat prosedural dan operasionalistik. Dibutuhkan keteladanan.
Secara metodik saja, sebagaimana saya pahami dari Quantum Teaching karya Bobbi Deporter, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie, dalam mengorkestrasikan pembelajaran agar lahir simfoni yang harmonis dan menyenangkan, dituntut seorang guru mampu memahami bahwa dalam mengajar “semuanya berbicara”. Jadi pada saat mengajar, guru tidak hanya duduk dan berbicara, tetapi semua yang ada pada dirinya “berbicara”.
Apatah lagi dalam konteks mengorkestrasikan kehidupan, agar simfoni yang harmonis senantiasa hadir menjadi pemantik potensi-potensi cemerlang, maka saya sepakat dengan Yudi Latif, terkait urgensi “Keteladanan”. Guru sebagaimana secara etimologi telah diuraikan di atas, harus mampu menjadi teladan. Atau cahaya peradaban.
Dibalik keteladanan, terpancar ketulusan atau sesuatu yang oleh Max Weber menyebutnya “calling” (panggilan jiwa). Ini relevan dengan tema “Hari Guru Nasional Tahun 2021” yang penggalan diksinya “Bergerak dengan hati”. Tema tepatnya “Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan”.
Jika mencermati dan memetakan problem kebangsaan hari ini, dan ditarik garis kausalitasnya, salah satunya disebabkan bahkan muara besarnya adalah krisis keteladanan. Saya pun sepakat bahwa keteladanan bukan cuma urusan dan kewajiban guru, tetapi harus melekat dan menjadi ikhtiar bersama masing-masing setiap diri, terutama pemimpin dan/atau elit bangsa dan negara.
Terkait keteladanan jika mencermati perspektif Sulhan Yusuf (saya memanggilnya Kak Sulhan) tentang perbedaan mendalam dan mendasar antara “gugahan” dan “gugatan”, ada sejenis harapan yang terpancar dalam hati ini (mudah-mudahan termasuk yang lainnya, tanpa kecuali pembaca), bahwa seorang guru harus mampu “menggugah”, bukan “menggugat”. Apatah lagi jika memperhatikan perspektif Sulhan, gugatan kurang relevan dengan konteks zaman sekarang ini.
Poin utama yang harus ada dalam diri seorang guru adalah “keteladanan” atau “menjadi cahaya peradaban”. Apalagi di tengah kehidupan yang sedang krisis keteladanan. Jika kita mencermati, krisis keteladanan ini pulalah yang memantik kesadaran Yudi Latif sehingga melahirkan sebuah karya yang luar biasa “Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan”. Menurutnya, “kita telah gagal mentransmisikan kisah keteladanan para pahlawan bangsa, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup”, (Yudi Latif: 2016, XV).
Ternyata untuk kaitanya dengan “Pancasila”, kita, khsuusnya generasi milenial bukan hanya mengalami “kekosongan kognisi Pancasila” sebagaimana penegasan Mohd. Sabri AR (Direktur Pengkajian Materi BPIP RI), tetapi bisa kita renungkan bahwa kita kesulitan pula menemukan sosok teladan yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Pendiri Mazhab Frankfurt, Herbert Marcuse sebagaimana dikutip oleh Agus Suwigyo dalam bukunya, Dasar-Dasar Intelektualitas, dikatakan bahwa, “agenda-agenda perubahan sosial hanya mungkin terlaksana jika mengalami perubahan radikal dalam diri mereka”. Dan tambahan kutipan Agus Suwigyo dari Pedagog Paulo Freire, dan Mangunwijaya bahwa “pendidikan dapat menjadi suatu proses penyadaran atau pemerdekaan hanya jika para guru, dosen, dan pengelola institusi pendidikan telah mengalami penyadaran dan pemerdekaan terlebih dahulu”. Ini dalam interpretasi saya adalah diksi lain dari “keteladanan”, yang dalam konteks pemahaman Agus adalah “disposisi sikap” yang tinggi.
Sekali lagi saya tegaskan bahwa hal di atas mencerminkan dan mensyaratkan bahwa suri teladan itu penting karena keteladanan bukan hanya menunjukkan kemampuan berargumentasi, tetapi petuah dan nasihat yang disampaikan adalah cerminan sikap yang dimiliki. Sesuatu yang telah menjadi karakter pada dirinya. Keteladanan bukan hanya tentang sopan santun semata, tutur kata, persoalan makan minum dengan tangan kanan dan tidak berdiri, bukan hanya cara berpakaian, tetapi keteladanan yang melampaui dari hal tersebut. Jika disingkat keteladanan sikap dan tindakan termasuk apa yang dipandang dengan disposisi sikap yang tinggi (kesesuaian antara kata dan perbuatan), empati, kesadaran, dan kepekaan atas realitas kehidupan.
Guru adalah cahaya peradaban, dalam konteks kehidupan hari ini menuntut pemahaman dan pemaknaan yang utuh. Di era pra industri, industri, dan pasca industri, bisa dipasikan peran guru sebagai cahaya peradaban harus memiliki interpretasi dan representasi yang berbeda.
Hari ini, kita sedang berada di tengah peradaban digital. Sudah pasti, guru pun tetap harus mampu menjadi cahaya di tengah peradaban digital ini. Menuntut sikap, perilaku, dan keterladanan dengan versi dan porsi yang berbeda dengan peradaban sebelumnya.
Saya terkadang “sedih”—menyebutnya demikian karena sesungguhnya saya tidak sedang “membenci” tetapi ada harapan besar dan mungkin tidak apa-apa dinilai mulia—ketika ada seseorang yang berprofesi guru, lalu tulisan-tulisan atau status di beranda facebooknya, kurang, untuk tidak mengatakan tidak, mencerminkan nilai keteladanan, perilaku mendidik.
Padahal di tengah peradaban digital hari ini, bukan hanya ruang dan waktu ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik, sehingga dunia berada dalam genggaman, tetapi termasuk apa yang terjadi di media sosial itu mampu mempengaruhi nalar. Narasi, diskursus, opini, bahkan hoax, hate speech, dan fake news kini mampu mempengaruhi doing, meaning, relation, thinking, dan being. Inilah penegasan bahwa media sosial pun mempengaruhi nalar.
Hari ini guru sebagai cahaya peradaban, dalam harapan saya harus mampu menjadi suri teladan, bukan hanya di ruang kelas dan masyarakat, tetapi di media sosial pun. Di tengah peradaban digital seakan bergeser dan mengalami perubahan makna dari apa yang pernah dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa, “setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah”. Pergeseran yang saya maksud minimal adalah bahkan media sosial pun bisa menjadi “sekolah”. Dan semoga kita semua bisa berupaya menjadi “guru”.
Saya yang hanya pernah berperan sebagai “guru” di sekolah formal kurang lebih 5 tahun, meskipun bukan sebagai tugas utama saya, hanya sebagai tugas tambahan, merasa terpanggil untuk senantiasa berperan sebagai guru. Saya seakan ingin mengimplementasikan pesan Ki Hajar bahwa “setiap orang adalah guru”.
Saya pun harus menyadari bahwa menjadi “guru” atau pun hanya “berperan sebagai guru” hari ini harus memiliki kesungguhan, memiliki cara pandang baru yang sesuai konteks zamannya, dan pendekatan yang sangat maksimal. Mengapa?
Hari ini kita menghadapi banyak situasi yang bahkan bisa membuat kita tidak menyadari perubahan-perubahan realitas yang ada. Kehidupan fraktal/viral dalam pandangan Baudrillard yang menegaskan hilang titik referesi, membuat kita seakan memandang bahwa kebenaran, kebaikan, dan keindahan berdasarkan apa yang viral. Kepakaran telah mati, sang ulama pun se-akan sudah mati. Bagaimana dengan guru, apakah sudah mati?
Menjadi guru hari ini, harus mampu—jika menarik relasi dengan perspektif Rhenald Kasali—memiliki interpretasi baru terhadap defenisi etimologis dari kata guru yang berasal dari bahasa Sansekerta tersebut, sehingga selain keteladanan yang selama ini kita pahami, membutuhkan keteladanan dan berupa kemampuan membaca “where we are” dan “where we are going to”. Bagi saya bukan Cuma hanya mampu membaca tetapi kemampuan menjawab, dan yang pasti jawabannya tidak berorientasi “letak geografis”.
Rhenald menegaskan hari ini, di era disrupsi tidak hanya membutuhkan motivasi, tetapi dibutuhkan kemampuan membaca “where we are” dan “where we are going to”. Guru atau kita yang bisa berperan sebagai guru harus pula mampu menunjukkan cara terbaik membaca dan menjawab apa yang menjadi cara pandang Rhenald menghadapi era disrupsi.
Yang terakhir dan ini pula menjadi harapan besar, bahwa setiap guru atau kita yang berperan sebagai guru, di tengah kondisi apa pun harus selalu mengimplementasikan apa yang menjadi prinsip dalam Quantum Teaching, “Melihat bintang di kepala siswa/anak/generasi”. Artinya melihat dengan penuh optimis. Tidak boleh optimis apalagi memberikan justifikasi atau atribusi dalam bentuk kata “bodoh”.
Optimistik ini penting, bukan hanya sebagai bentuk pemahaman tentang pikiran yang bisa menjadi menara yang memancarkan frekuensi yang sama, tetapi kata memiliki kedahsyatan untuk menciptakan realitas.
Guru yang dijuluki sebagai “Pahlawan tanpa tanda jasa”, harus terus melekat dalam diri agar bisa senantiasa “bergerak dengan hati”. Hanya dengan “bergerak dengan hati”, kita bisa memulihkan pendidikan sebagai institusi strategis pembangun peradaban. Mungkin saja, atau minimal bagi saya pribadi, memahami, bahwa “Pahlawan tanpa tanda jasa” selain menjadi predikat mulia bagi seseorang yang memang berprofesi sebagai “guru”. Itu pun bisa menegaskan bahwa siapa saja bisa menjadi “guru” atau “berperan sebagai guru”. Dan ini relevan dengan perspektif Ki Hajar di atas.
Jika tidak Bisa Berprofesi sebagai Guru, Marilah Kita Berperan sebagai Guru. Secara pribadi semoga bisa senantiasa berperan sebagai guru, meskipun belum maksimal.
* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng.