Oleh: Apriliana Andin*
Muhammadiyah, pada awalnya didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan tujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, di mana kesejahteraan, kebaikan, dan kebahagian meluas secara merata. Tujuan tersebut bukanlah cita-cita di atas kertas saja, tetapi Muhammadiyah bertekad dengan sangat yakin bahwa akan mewujudkannya dalam kehidupan nyata.
Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang berkemajuan, yang ketika penggunaan bangku masih dianggap warisan Belanda yang notabene disebut kafir oleh ulama pada masa itu, Kiai Ahmad Dahlan membuat terobosan dengan pemakaian bangku di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Ketika khutbah jumat masih menggunakan bahasa Arab, Muhammadiyah berani menganjurkan penggunaan bahasa Indonesia dan tidak jarang menggunakan bahasa setempat agar isi khutbah tersebut bisa dipahami oleh masyarakat. KH. Ahmad Dahlan dikenal sebagai Kiai yang moderat dan cenderung melawan arus pada zamannya banyak mengkritik pemahaman masyarakat tentang Islam pada masa itu. Islam sering dituduh telah memberi legitimasi terhadap penyempitan peran perempuan hingga kekerasan terhadap perempuan.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang cukup mapan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Kiai Ahmad Dahlan dibantu Nyai Walidah menggerakkan perempuan untuk memperoleh ilmu, melakukan aksi sosial di luar rumah yang bisa disebut radikal dan revolusioner saat itu. Kaum perempuan didorong meningkatkan kecerdasan melalui pendidikan informal dan nonformal seperti pengajian dan kursus-kursus.
Muhammadiyah lewat organisasi sayapnya Aisyiyah merupakan organisasi perempuan yang didirikan sebagai jawaban atas pentingnya perempuan berkiprah di wilayah-wilayah sosial kemasyarakatan. Gerakan perempuan Muhammadiyah yaitu ‘Aisyiyah yang lahir tahun 1917 hadir pada situasi dan kondisi masyarakat dalam keterbelakangan, kemiskinan, tidak terdidik, awam dalam pemahaman keagamaan, dan berada dalam zaman penjajahan Belanda.
Kini gerakan perempuan Indonesia menghadapi masalah dan tantangan yang kompleks baik dalam aspek keagamaan, ekonomi, politik, maupun sosial-budaya. Untuk menghadapi tantangan kompleks tersebut, maka gerakan ‘Aisyiyah dituntut untuk melakukan revitalisasi baik dalam pemikiran maupun orientasi praksis yang mana gerakannya mengarah pada pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan menuju kemajuan yang utama, dan ini dinyatakan secara visioner.
Sebagai sebuah organisasi pergerakan ‘Aisyiyah telah meletakkan pijakan dasar tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan, bahkan sejak didirikan. Hal tersebut mencerminkan bahwa ‘Aisyiyah (Muhammadiyah) telah menempatkan perempuan dan laki-laki dalam peran kemasyarakatan yang setara. Oleh karena itu ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan dari Ortom Muhammadiyah perlu mempertegas visi dan misinya, bukan lagi sekedar organisasi perempuan yang melengkapi organisasi induknya yaitu Muhammadiyah.
Gerakan ini perlu menyelaraskan dan menegaskan perannya terkait dengan isu-isu perempuan kontemporer seperti; perdagangan perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap TKW, sampai soal kepemimpinan perempuan di sektor publik yang masih belum mendapatkan legitimasi penuh baik secara kultural maupun secara teologis, lengkapnya sebagaimana yang tercantum dalam MDGs (Millenium Development Goals), yang walaupun masa berlakunya sudah limit, akan tetapi program dunia ini masih akan dilanjutkan dalam Sustainability Development Goals (SDGs), dengan 12 program pokok gender, sebagaimana yang tertuang dalam Beijing Platform for Action.
Salah satu wujud nyata tercapainya cita-cita Aisyiyah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yaitu melalui berdirinya salah satu kampus yang bernama Universitas Aisyiyah Yogyakarta. Sebelum menjadi Universitas Aisyiyah memiliki riwayat pendidikan yang sangat panjang dalam bidang pendidikan, diawali dari berdirinya Sekolah Bidan ‘Aisyiyah Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta berdasarkan SK Menteri Kesehatan No 65 tanggal 10 Juli 1963.
Kemudian dibuka pula Sekolah Penjenang Kesehatan Tingkat C ‘Aisyiyah Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Tahun 2003 AKBID ‘Aisyiyah Yogyakarta ditingkatkan statusnya menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta sesuai dengan SK Mendiknas RI No 181/D/O/2003 tanggal 14 Oktober 2003 dengan Program Studi S1 Ilmu Keperawatan, Profesi Ners (Keperawatan) dan D3 Kebidanan.
Pada tahun 2016, tepatnya pada tanggal 10 Maret 2016, Stikes ‘Aisyiyah Yogyakarta berubah bentuk menjadi Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta melalui Surat Keputusan (SK) Kemenristek Dikti nomor 109/KPT/I/2016. Kedepannya tentu akan semakin banyak universitas-universitas Aisyiyah lainya yang akan ikut serta dalam mencerahkan dan mencerdaskan umat serta bangsa menuju kehidupan yang berkemajuan berbasis Islam.
Dan pada tanggal 18 November 2021 Muhammadiyah memasuki usia ke-109 tahun. Milad ke- 109 Muhammadiyah mengusung tema ‘Optimis Hadapi Pandemi COVID-19: Menebar Nilai Utama’. Perayaan Milad Muhammadiyah ke 109 dilaksanakan secara luring dan daring melalui siaran langsung chanel youtube Muhammadiyah dan Muhammadiyah Tv.
Prof. Dr. Haedar Nashir, M. Si., sebelumnya, saya mengenalnya melalui referensi yang saya baca pada saat mata kuliah Kemuhammadiyahan dan Keaisyiyahan. Saya jadi mengetahui tentang profil ketua Muhammadiyah. Haedar adalah sosok yang sangat memotivasi dikarenakan sangat pintar dalam berorganisasi dan sangat memahami ideologi Muhammadiyah.
Pada pidatonya beliau menjelaskan mengenai nilai nilai utama, Salah satunya disebutkan Nilai kesungguhan berusaha. Usaha mengatasi pandemi merupakan komitmen dan tanggung jawab bersama. Konsistensi melaksanakan kebijakan oleh pemerintah, disiplin menjalankan protokol kesehatan, melakukan vaksinasi, dan berbagai langkah lainnya merupakan keniscayaan dalam mengatasi pandemi ini. Segala ikhtiar maksimal yang bersifat rasional-ilmiah dan spiritual-rohaniah harus terus dilakukan sebagai jalan jihād untuk mengakhirinya.
Dan dalam nilai tersebut ‘Aisyiyah berperan dalam mengatasi dampak pandemi tersebar di berbagai isu seperti bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, juga taawun sosial. Di bidang kesehatan begitu juga meluas hal-hal yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah baik sosialisai pencegahan pandemi, memutus rantai covid-19, protokol kesehatan, juga terkait kesehatan kelompok rentan seperti kesehatan lansia, ibu hamil, ibu menyusui. Sampai saat ini terdapat lebih dari 86 rumah sakit yang terlibat langsung dan banyak klinik Muhammadiyah ‘Aisyiyah yang terlibat dalam penanganan Covid-19 di bawah koordinasi MCCC.
Terkait kegiatan vaksinasi, Muhammadiyah ‘Aisyiyah menjadi yang pertama sebagai organisasi keagamaan turut menggerakkan dan mendorong kepercayaan masyarakat untuk bersedia divaksin. Walaupun pada saat ini menurut Noordjannah masih ada yang memiliki pandangan terkait tidak mau divaksin, tetapi Muhammadiyah sejak awal sudah menyatakan bahwa vaksin ini menjadi ikhtiar bersama. “Kata Allah kita berikhtiar dulu baru bertawakal, jangan pasrah tanpa sebuah ikhtiar termasuk terkait vaksinasi”.
‘Aisyiyah juga melakukan berbagai upaya agar keluarga sebagai entitas terkecil dari masyarakat mampu bertahan di masa pandemi ini. Berbagai kegiatan ekonomi serta ta’awun sosial, memberi kepada sesama yang membutuhkan terus di dorong oleh ‘Aisyiyah. Noordjannah menyebutkan gerakan seperti lumbung hidup, budikdamber, gerakan berbagi dengan cantelan, serta penguatan usaha keluarga serta UMKM melalui berbagai pendampingan yang dilakukan.
Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dalam menangani Covid-19 ini sejak awal tidak pasif, tidak pasrah, juga tidak menyerah, sebaliknya optimis, praktis, berbuat nyata melalui usaha keagamaan, kesehatan. “Artinya ikhtiar dilakukan secara rasioal ilmiah dan spiritualitas rohani yang harus maju selaras. Kalau kita mau berubah, maka ubahlah diri sendiri, itulah kewajiban kita dalam ‘Aisyiyah”. Hal tersebut sebagai contoh bahwa Muhammadiyah berhasil menggerakan perempuan untuk berkemajuan.
* Mahasiswa S1 Kebidanan Semester 3 Universitas Aisyiyah Yogyakarta